Posts from the ‘Jejak Album’ Category

Une semaine indonésienne dans la Sarthe

Kisah Dari Garis Zonasi

 

gabar zonasiHari itu, Selasa 20 November 2012.  Tidak seperti biasanya, para nelayan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) tiba-tiba saja berhenti melaut. Padahal, seharusnya deru diesel perahu motor tempel mereka sudah melampaui tapal batas perairan TNK yang melintang antara 119o09’00’’ – 119o55’00” Bujur Timur dan 8o20’00” – 8o53’00” Lintang Selatan.

Seharusnya sebagian dari mereka berlayar ke selatan mengarungi laut Sawu membelah selat Sumba, sebagian menyeberang hingga Sape menyisiri pulau Banta,  atau yang lain melingkar ke utara melabuh sauh buji di laut Flores.

Namun tidak pada hari itu. Arah kemudi mereka pada pagi hari itu tiba-tiba berubah arah menuju satu tujuan yang sama, ke  timur darat. Mereka yang berjumlah ratusan itu, melewati pulau Bajo melintas selat Monyet lantas menepi di pelabuhan laut Filemon Labuan Bajo Manggarai Barat.

Ketika itu, hari sudah beranjak siang. Dengan segera mereka tambatkan tali perahu. Di bawah sengat matahari terik mereka berapat-rapat menuju halaman Kantor Balai Taman Nasional Komodo sambil melepas kata dengan teriak ‘’tinjau kembali system zonasi’’.

Di bawah pendaman amarah yang tidak terurai dan desakan untuk pembenahan yang bagai tidak dipeduli, sumpah serapah dilepas bagai petasan, pagar tinggi pun diloncati. Kemudian susul-menyusul potongan kayu dan batu layang melayang runtuhkan kaca.

Bagai sudah, seperti puas semuanya, tiba-tiba menjadi tidak berkutik ketika sekelompok pengaman menengahi mereka dengan paksa. Sebagian dari mereka diborgol ke kantor polisi untuk diinterogasi.

Bercermin pada pecahan kaca yang menyebar di bawah lantai pintu dan jendela, yang tidak dapat merefleksikan apa pun objek selain serpih-serpih realitas, siapa pun yang melihatnya menjadi sadar bahwa serupa itulah sejatinya kemelut realitas social, politik, budaya dan ekonomi yang dialami masyarakat kawasan TNK.

Cerminan kehidupan masyarakat kawasan yang terpancar dalam bentuk hak-hak hidup mereka dipecah-pecah jadi serpih yang tidak mudah untuk dirangkai menjadi objek refleksi tunggal. Kehidupan mereka tercerabut dari akar keberaadaannya. Seperti sudah menjadi manusia yang teralienasi dari diri sendiri, akar social dan budaya, maka mereka pun datang menggugat negara.

Dengan tanpa takut mereka pecahkan kaca-kaca jendela, meruntuhkannya agar semua mata dengan sadar memandang, bahwa seperti itulah kemelut kehidupan mereka jika bercermin di serpih beling. Ketenteraman identitas mereka retak, selanjutnya pecah dan kemudian teralienasi dari diri sendiri, pun dari realitas yang sesungguhnya.

Identitas mereka sudah mulai diretaki mula-mula pada 1980, pada ketika itu negara merangsek ruang kehidupan mereka dengan undang-undang. Yakni pada ketika Kawasan TNK ditetapkan melalui pengumuman Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tanggal 6 Maret 1980 dan kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 306/Kpts-II/1992 tanggal 29 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Suaka Margasatwa Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar seluas 40.728 ha serta Penunjukan Perairan Laut di Sekitarnya seluas 132.572 ha menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Komodo yang ditetapkan sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 172/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penetapan KPA Perairan TNK.

Undang-undang penetapan kawasan TNK adalah bentuk pembatasan ruang gerak, ruang kehidupan mula-mula masyarakat Komodo. Kehidupan mereka secara perlahan mulai dikawal pasal-pasal. Ruang gerak ekonomi, social, politik dan budaya dikontrol secara ketat oleh pihak pengelolah kawasan TNK. Dalam dunia yang dibatasi itulah apa pun perihal kehidupan orang-orang Komodo dan sekitarnya secara perlahan dibonsai.

Selanjutnya adalah munculnya sistem zonasi. Sistem zonasi TNK yang ditetapkan sesuai dengan SK Dirjen PHKA No. 65/Kpts/DJ-V/2001 tertanggal 30 Mei 2001 tentang Zonasi TNK yang kemudian mengalami perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Ditjen PHKA Nomor : SK.21/IV-SET/2012 tanggal 24 Februari 2012 tidak hanya secara geografis mempersempit ruang gerak masyarakat kawasan, tetapi juga secara social, ekonomi dan budaya dipenggal-penggal.

Zonasi TNK terdiri dari 9 tipe zonasi yang meliputi daratan dan perairan. Zona-zona yang meliputi kawasan darat dan laut memiliki peraturan khusus sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemya (KSDAE). Penentuan zonasi yang ada di Taman Nasional didasarkan atas hasil pengkajian secara teknis konservasi, bukan berdasarkan aspek kepentingan ekonomis semata (BTNK 2012a). Demikian rasionalisasi negara.

Namun, mau apa dikata. Entah sadar atau tidak negara sudah sedang meruntuhkan kaca harapan, refleksi akan masa depan masyarakat kawasan TNK jadi serpih-serpih yang tidak mudah lagi untuk dimakna. Dapatkah mereka bercermin diri pada serpihan ke-ada-an mereka yang kini. Tentu saja tidak mudah untuk dijawab. Jika hendak, seharusnya kita lebih-lebih Negara dan ‘kaki tangannya’ hadir pada siang hari itu, Selasa 20 November 2012 di kantor BTNK di antara reruntuhan kaca pintu dan jendela, sambil merangkai wajah kita masing-masing.

Sambil Menunggu Ciuman Casillas Terulang (Foto-Foto)

“Jika saya memenangkan kejuaraan Eropa, hal pertama yang akan saya lakukan adalah mencari anda dan memberikan anda sebuah ciuman,” demikian  janji Iker Casillas, yang juga kapten kesebelasan Spanyol kepada reporter Jose Ramon De la Morena yang menanyakan perihal akan terulang kembali atau tidak peristiwa ciuman Iker kepada kekasihnya yang juga seorang reporter televisi olahraga Sara Carbonero pada 2010 ketika Spanyol meraih trophy piala dunia di Afrika Selatan. Apa jawaban Ramon De la Morena atas janji Casillas? Jawabannya menggemaskan “Anda harus melihat apakah anda dapat menangkap saya”.

 Sambil menunggu, apakah janji itu ditepati. (Dan itu terjadi jika dan hanya jika Spanyol mempertahankan gelar sepak bola bergensi daratan benua biru pada 2008 itu. Namun jika tidak, De la Morena akan mencibir “dan engkau (Casillas) tidak dapat menangkap saya”). Lantaran sambil menunggu kisah itu terjadi, mengisi ruang inspirasi kita dengan sengaja saya mempblikasikan sederetan foto aksi ciuman para supporter kesebelasan sepak bola yang berlaga pada Euro 2012. Foto ini saya ambil dari galeri foto catatanbola.com.

Dengan sengaja foto-foto ini diangkat untuk menunjukkan kepada kita perihal euphoria riang. Bahwa sepak bola sebagai ajang olahraga termegah sejagad menjunjung tinggi sportifitas yang ditampil-tunjukkan dalam dan melalui kegembiraan cinta. Terlepas dari kekalahan dan kemenangan yang dilalui dan diperjuangkan, perjumpaan rasa, solidaritas dan cinta kasih adalah yang pertama dan utama.

Saya menduga, apa yang dijanjikan Casillas kepada De la Morena dan selanjutnya jawaban De la Morena atas permintaan Casillas adalah sebuah lelucon. Jauh di balik maksud yang sesungguhnya, yang sudah sedang ditampilkan adalah kegembiraan dan kebersamaan. Bahwa sepak bola adalah medium terakbar untuk semua perjumpaan yang mendamaikan.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Wellcome To Labuan Bajo (Foto-Foto)

Catatan kecil ini adalah kumpulan foto perjalanan antara Labuan Bajo, tepi barat Pulau Flores menuju Pulau Rinca, salah satu pulau di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang menurut data terakhir terdapat 1.100 ekor biawak purba komodo. Dengan sengaja foto-foto ini dipublikasikan untuk menunjukkan keindahannya. Sungguh, tak ada yang lebih meng-asyik-an selain perjalanan ‘meliuk’ di antara puluhan pulau. Mengapa tidak, selama kurang lebih dua jam perjalanan, mata kita dimanjakan dengan keelokannya.

Paduan warna alam yang tak sanggup dilukiskan dengan kata membentang di hadapan kita. Sedikit yang bisa dikatakan: selat yang tenang menepi di bibir pantai berpasir putih, pulau dan bukit sembul menyembul serupa gundukan cokelat, rinbunan bakau, puluhan pinisi dan kapal motor pesiar merendah-mengapung, dan nun jauh di sana (di luar kawasan Taman Nasional Komodo) para nelayan bentangkan jala. Dari atas perahu dayung kita menyaksikan nasib, perjuangan dan hidup itu sendiri. Semuanya terlukis-saji di bawah langit biru, di bawah bergumpal-gumpal awan yang seperti kejar mengejar. Kita menyaksikan semuanya, memandang segalanya.

Gagahnya Tarian Caci (Foto-Foto), Catatan Perjalanan 2

Kata seorang kawan, tarian perang apa pun gerak dan karakternya merupakan kekerasan yang terstruktur-kemas dalam dan mengatasnamakan seni. Hal itu bisa dimaklumi jika dilihat dari resiko fisik yang diderita oleh para penari. Para penari tidak hanya terluka atau tersayat karena disabet ujung tali pelecut atau karena dilempar tombak bambu dan beling yang ditinju, tetapi juga lantaran resiko itu dirayakan sebagai yang baik.

Jika ditelisik dari sisi itu, tidak hanya akan melahirkan debat panjang, tetapi juga terlalu dangkal untuk dimaklumi. Sebab, sebagai sebuah produk budi dan daya manusia, tarian perang merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang yang dalam perkembangannya tidak hanya sekedar mengenang kegagahannya, tetapi juga mengedepankan perayaan perjuangan dan kemenangan (social politik) solidaritas dan kebersamaan (moral sosial), serta puji dan syukur kepada yang Mahakuasa (teologis).

Di belahan Nusa Tenggara Timur tarian perang yang mengedepankan unsur-unsur di atas muncul dalam berbagai bentuk dan ragam. Di Sumba ada Pasola, di Nagekeo ada Tarian Etu dan di Manggarai Raya Caci.  Namun pada kesempatan ini saya hanya hendak menampilkan beberapa foto yang menunjukkan keelokan tarian perang yang bernama Caci dari Manggarai Raya. Dari gambar-gambar ini pembaca bisa menafsirkannya sendiri sesungguhnya seperti apa budaya itu diwariskan dan dihargai.

PARA PETARUNG.Sejarah tarian Caci adalah sebuah bentuk tarian perang yang dibawakan oleh dua orang penari laki-laki. Secara etimologi tarian caci berasal dari dua suku kata ‘ca’ berarti satu dan ‘ci’ berarti uji.

Mempersiapkan diri, memasang atribut 'perang' sebelum 'berangkat ke medan laga'

Sebagian atribut kostum pada pinggang dan kepala

Atribut atau peralatan 'perang' terdapat perisai dan 'senjata'

Resiko dari sebuah perjuangan, pertarungan. Kegagahannya terletak di sini.

Di-laga-kan di depan Rumah Adat, antara Mbaru Gendang dan Compang

Diringi musik dari Gong dan Gendang, dalam foto ini tampak sebagian besar pemusiknya adalah kaum hawa

Seklompok orang memainkan DANDING, mereka bukan sembarang kelompok tetapi mereka adalah paduan penyemangat yang melejitkan syair-syair heroik

Penonton yang menyaksikan Tarian Caci pun kadang larut dalam tarian, tidak hanya penonton lokal, wisatawan asing pun 'berjingkrak'

Belajar Mewarisi Tradisi. Di luar arena, sekelompok bocah memeragakan Caci. Mereka tidak sedang mewarisi kekerasan, tetapi menanamkan tradisi dalam ingatan mereka.