Bagai menonton bocah main petasan, kita hanya mengusir ‘Main jauh-jauh, jangan di sini. Ganggu saja orang tidur’. Ketika petasan itu meledak dan mengenai jari-jari si bocah, kita lalu mengingatkan ‘Kan, sudah dibilang, kalau main petasan mesti hati-hati’. Tiga hari kemudian si bocah sudah sembuh dari sakit dan terdengar petasan bunyi kembali. Tetapi, kita bagai tidak peduli, masih tidur seperti orang mati. Setiap bunyi besar kecil selanjutnya dimengerti sebagai petasan lagi dan lagi.

Kita baru terperanjat dan pasang aksi siaga-buru-sergap ketika ‘petasan’ yang sesungguhnya meledak dan memenggal tubuh sebagian kita yang lain. Ketika itu tahun 2002, dimana tiga ledakan mengguncang Bali. Sejumlah 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Selanjutnya, susul menyusul berbagai ledakan dalam skala besar dan kecil di berbagai tempat dan daerah. Kemudian siklus itu kembali ke Bali pada 2005. Tercatat 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.

Sudah sejak itu, kita baru benar terjaga. Pelaku teror tak lelah dikejar, terorisme pun tak tandas dibahas. Pasukan siaga pasang kuda-kuda, Undang-Undang pun tak tunda ditanda-tangan. Namun, bagai bermain petak umpet dengan siluman, kita tak hanya kelabakan tapi nyaris tak mengendus bau badan teroris itu serupa apa. Mereka, bagai berkelebat dalam bayang. Tampaknya seperti sudah habis dimampus senjata, tetapi masih berkecambah dan bergentayangan. Tampaknya, mereka seperti sangat jauh, tetapi ‘ternyata’ ada dan dekat di sekitar kita.

Kehadiran siluman serupa itu mestinya membuat kita awas. Satu dekade ke depan Labuan Bajo, Manggarai Barat Flores Nusa Tenggara Timur bukan tidak mungkin akan menjadi salah satu pintu gerbang Nusa Tenggara Timur tersibuk.

Tiga catatan mentah yang bisa diangkat adalah pertama, jumlah arus perahu nelayan, kapal laut dan pinisi, pesawat, termasuk orang dan barang nyaris hilir mudik hampir dua puluh empat jam (siang malam), dengan aneka kepentingan dan agenda. Apalagi jika melihat gerbang pelabuhan yang nayris bisa dibuka entah siapa dan mana sempat.

Penulis kadang ciut sendiri. Dan perihal itu memang harus hati-hati, sebab tanpa kita sadari, bom rakitan bisa saja menyelinap dalam semangka dan atau dirakit semirip buah apel yang entah datang dari mana rimba. Belum juga buah semangka itu pajang-mejeng di pasar Cewondereng tiba-tiba saja sudah meledak dan memakan korban jiwa.

Lalu kita ternganga-nganga. “Wah hebat juga ya para teroris, bisa masukan amunisi ke dalam semangka”. Kekaguman yang terlambat, dan lebih sial adalah kekaguman itu muncul pada saat korban sudah berjatuhan. Ngeri….

Kedua, terpilihnya taman nasional komodo dengan komodo-nya sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia telah menarik minat wisatawan baik domestik maupun manca Negara. Sepanjang Juli sampai (mungkin) Oktober setiap tahunya, pesisir Labuan Bajo ‘penuh sesak’ dengan para turis. Sebagai misal, jalur jalan paling ramai di Labuan Bajo yang terentang antara Kampung Ujung sampai café dan resto Tree Top bahkan sampai simpang Pede dipadati tidak hanya kendaraan tetapi juga para turis domestic dan manca negara.

Amatan mata penulis jadi merinding. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi ini fakta. Membayangkan Bali yang dalam sekejap luluh lantak lantaran diledak bom rakitan, membuat penulis ciut. Apalagi ketika dalam bayang itu, amatan mata penulis menyapu wajah para wisatawan dan warga pesisir Labuan Bajo yang tampaknya tidak terusik dengan trauma itu pada siang-siang yang riang dan malam-malam yang panjang. Dalam riang dan santai, senda gurau dan cerah-ceria, semuanya larut dalam canda dan suara masing-masing.

Dengan agak nakal, penulis membayangkan, kematian tidak mengenal untung dan malang. Dia datang dengan begitu tiba-tiba. Dan apalagi jika kematian itu dibuat dengan sengaja oleh mereka yang ‘tak berperikemanusiaan’, maka betapa kejamnya kesenangan, kebahagiaan dan keriangan. Padahal sejatinya, segala kebahagiaan seharusnya hidup jauh lebih lama sebelum dijemput ajal, bukan penyesalan apalagi trauma.

Namun, semua kecemasan yang tidak beralasan di atas sudah barang tentu adalah buah dari ketakutan yang berlebihan. Padahal sesungguhnya tidak apa-apa. Sebab sebagian besar warga Labuan Bajo yakin bahwa aparat telah bekerja dalam ‘senyap’ demi menjaga kemanan dan ketenteraman warganya.

Namun sekedar sebuah anjuran yang tidak mengada-ada, penulis mohon diri untuk mengatakan ini: menyambut Sail Komodo 2013, perihal masalah keamanan dan ketentaraman public bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat keamanan, tetapi siapa pun dan apa pun hidup. Lantaran itu mari kita bahu membahu, menjaga entah dengan cara apa pun yang penting sesuai aturan hukum, plus peace.