Ketika aku hendak menuliskan kata tentang sebuah peristiwa yang paling menyentuh rasa, yakni ulang tahun ibuku tercinta, ketika itu aku mengalami peristiwa paling menyiksa seumur hidupku. Semakin besar hasratku untuk menuliskan sesuatu tentang Ibuku, semakin sulitlah aku menuliskannya dalam kata.

Namun, jika mau jujur, sebenarnya ibuku pasti bangga jika aku dapat mengucapkan salam selamat ulang tahun walau hanya sebatas kata. Sebab, ketika aku menjadi besar dan menjadi penyair hebat, tak pernah kutulis sekuplet sajak pun tentang ibuku sendiri.

Aku terlalu larut dengan duniaku sendiri. Tentang kesejatian seorang penyair. Bahwa aku harus tewas dalam setiap peristiwa jika hendak mengguncangkan dunia. Sudah kutulis ratusan puisi tentang perempuan, kegetiran dan juga kengerian mereka. Tetapi tidak sekali pun aku menuiskan tentang ibu yang selalu setia menjadi pelita.

Ketika kenangan memintaku mengucapkan salam untuk ibu, dalam dadaku bagai ada genderang yang meledak-ledak, ada orang yang meronta-ronta, ada kesangsian yang meletup-letup tanya ’apa yang dapat kau katakan tentang ibumu? ’Apakah ibumu akan menerima ucapan salam darimu?”

Ketika itu aku diam. Semakin aku kembali ke masa silam bersama ibuku tercinta, semakin aku kehilangan kata. Satu jam yang menyiksa. Satu jam aku berperang melawan ingat. Aku ingin lupa. Semakin aku mencoba untuk melupakan apa yang diingat, semakin terang benderang masa lalu itu terkuak. Tubuhku bergetar. Dadaku berdetak keras. Kepalaku panas.

Aku mengepal tanganku erat-erat. Aku tersiksa. Aku berada pada tahap di mana hanya peluh dan air mata yang dapat melukiskannya. Sengsara. Papa. Menderita. Tersayat. Akhir kata. Mengapa tidak? Ketika aku membayangi bagaimana ketika ibu berkisah tentang kelahiranku, yang aku temukan justru seorang balita dan janda malang ditinggal ayah dan suami. Senyum ibu ketika bercerita penuh semangat seperti tergerus oleh kebejatan ayah yang pergi ke mana entah. Ibu sepi dan aku sendiri.

Ketika aku membayangi bagaimana ibu membesarkan aku, yang justru aku temukan adalah seorang bocah nakal kehilangan jejak. Seorang anak mencoba memberontak terhadap keadaan. Seorang anak yang menghalalkan segala cara hanya untuk menunjukkan bahwa dia ada di antara kawan-kawannya. Seorang anak bengal dalam genggaman kasih ibu yang lemah.

Ketika aku membayangkan bagaimana pengalaman hendak melanjutkan ke sekolah menengah atas, yang aku temukan adalah keluh ibu yang terluka. Ketika aku hendak berubah dan mau meneruskan jejak kebahagiaan, justru yang aku alami adalah ibuku yang tersiksa. Ibuku yang pincang karena lumpuh tanpa sebab. Ketika itu aku menyadari bahwa aku adalah manusia paling berdosa.

Dan ketika aku membayangi bagaimana ibuku meneteskan air mata ketika aku pergi ke perantauan, yang justru kutemukan adalah pribadi ibu yang tegar, sabar dan berharap akan ada perjumpaan. Ibuku meneteskan air mata bukan sebagai penyesalan, tetapi sebagai sebuah restu dan persetujuan juga pengakuan bahwa aku adalah anakknya. Lantaran itu aku pantas pergi, walau sebenarnya adalah sebuah upaya untuk kembali ke pangkuannya.

Sampai ketika aku hendak menuliskan ucapan selamat ulang tahun untuk ibuku tercinta, yang justru aku terima adalah sebaris kata ’Ibu sudah meninggal dunia’. Aku menangis, meronta. Kata-kata lenyap entah ke mana, pena itu pun patah. Aku lunglai tak berdaya. Dalam dadaku bagai ada genderang meledak-ledak, ada orang meronta-ronta, ada kesangsian yang meletup-letup tanya ’Apa yang dapat kau katakan tentang ibumu?’ ’Apakah ibumu akan menerima ucapan salam darimu?”

(Sumber tulisan: Kris Bheda Somerpes, Jejak Kata, Monolog dalam Renungan, SUNSPIRIT 2010, hal. 71)