kawan saya Leonardus Depa Dey, foto di ambil di pantai Sama Tiga Aceh Barat

Siapakah yang membuat Aceh diam berperang dan menyudahi air mata? Siapakah yang menyeret Hamid Awaludin dan Malik Mahmud pergi jauh ke Helsinki untuk menandatangani MoU perdamaian? Siapakah yang dapat disebut sebagai pahlawan di Nanggroe Aceh Darussalam sejak itu?

 Di tepi nisan tak bernama, Ainom merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu. Hatinya gundah. Wangi Jeumpa terasa hingga ke dalam dada, suluk dalam rasa. Ujung jilbabnya basah karena air mata. Ia terus menyekanya. Wala sampai melangkahkan kakinya, air mata itu terus menetas tetes jadi jejak yang sulit lupa.

 Setibanya di rumah dalam kamarnya yang senyap, meletup-letup aneka tanya. Dada Ainom berontak. Mungkin sebagian orang sepakat bahwa mantan presiden Finlandia, Marti Ahatisari, sebagai pahlawan sehingga tak pelak mendapat Nobel Perdamaian. Sebagian lagi pasti mengangguk jika Teungku Hasan Tiro. Sebagian lagi mengatakan Susilo Bambang Yudoyono, Yusuf Kalla, Malik Mahmud, Muzakir Manaf atau Hamid Awaludin dan atau tokoh-tokoh yang lain.

 Tapi bagi Ainom, dari hati kecilnya yang paling dalam sesungguhnya bukan mereka pahlawan perdamaian Aceh. Bagi Ainom yang disebut sebagai pahlawan adalah ribuan korban gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Titik. Di antara mereka itu ada ayah dan ibunya, ada pula kakak dan adiknya. Air mata Ainom pun jatuh.

 Terlepas dari kepergian mereka direlakan atau tidak. Di medan laga kehidupan Nanggroe Aceh Darusallam, kepergian mereka dan orang-orang tercinta adalah anugerah yang tak terkira. Mungkin Tuhan pun meneteskan air mata ketika harus mengambil mereka dengan paksa.

 Dari balik dadanya sesekali Ainom mengumpat kepada Tuhan, bahwa Tuhan itu kejam. “Ya Allah…Ya Allah” Dalam kesedihan yang mendalam terbalut dendam. Tapi dari balik kesedihan yang sama menganga misteri Tuhan, yang sesekali pula mendesak Ainom untuk menumpahkan iman. Bahwa di balik peristiwa ada makna. Dan di setiap peristiwa harus ada kalah. Dan tidak semua kekalahan adalah penghabisan. “Allahu akbar..allahu akbar” tangannya menengadah.

Ainom perlahan menyudahi sedihnya. Ia seperti menemukan kekuatan. Ketika ia sadar bahwa segalanya adalah dari Allah. Bagi Ainom, mereka yang disebut sebagai pahlawan adalah mereka yang ‘tewas’ dengan segenap jiwa dan raga dalam sebuah peristiwa. Dan karena harus ada yang ‘ditewaskan’ dalam peristiwa maka sadar itu membucah jadi pertobatan dan perubahan. Manusia, siapa pun dia, baru menyadari pentingnya perdamaian ketika para pahlawan itu berujar ‘selesailah sudah’ persis ketika mereka bergulat dengan maut.

 “Inalilahi wainalilahi rojiun”  terpanjat dalam doa yang khusyuk. Ainom memanjatkan maaf. Mungkin ia khilaf. Ia telah mengatakan dengan agak lancang bahwa ribuan korban tsunami, termasuk orang-orang yang dicintainya sebagai pahlawan, dan lebih lancang lagi jika Ainom menyebutnya sebagai pahlawan kehidupan. Tetapi sebutan, gelar dan juga pengakuan itu bukan lahir tanpa latar. Latar itu adalah perjumpaan dengan rasa, sehingga pengakuan itu mucul sebagai yang amat personal. Ainom menyadari itu sungguh.

***

Perjumpaan itu terjadi pada malam Lebaran kedua, 22 September 2009. Ketika itu, kebisingan Meulaboh menyeret Ainom untuk mengungsi ke arah kuburan massal di Ujung Karang Meulaboh Aceh Barat.

 Ainom tiba di halaman pekuburan kira-kira selepas Magrib, sama sekali tidak ada seorang pun di sana. Tapi entah mengapa Ainom tidak merasa takut sedikitpun. Yang justru muncul dalam ruang rasanya adalah perasaan malu. Karena toh….ia tidak mempersiapkan diri untuk menjumpai mereka… Ainom tidak membawa karangan bunga, ia hanya hendak menenangkan diri. Itu saja.

 Dari kuburan massal, sesekali terdengar letusan petasan yang dilemparkan anak-anak ke udara. Langit Meulaboh pun bercahaya. Hati Ainom gundah. Ia membenci keramaian seperti itu. Dari pesisir karang, deburan gelombang bertubi menampar malam. Malam pun bersuara. Ainom pun benci suara itu.

 Tapi di tengah kuburan malam itu, hanya ada senyap yang tenteram. Bathin yang damai. Tiba-tiba dalam ruang rasa berkelebat sekumpulan tanya yang memaksakan Ainom untuk menjumpai sesuatu. Dan malam itu Ainom menjumpai kepasrahaan yang total, kepergian yang tulus, kehilangan yang ikhlas.

 Ia menemukan pribadi-pribadi yang sudah dengan tulus menerima peristiwa dan mau melebur di dalamnya. Bahwa mereka memang sudah ditakdirkan untuk pergi menemukan kehidupan yang baru bagi Nanggroe Aceh ke depan.

 Ainom meneteskan air mata. Air mata kepasrahan dan kegembiraan. Sungguh tak tertahankan. Dalam hatinya Ainom hanya bisa berpasrah “Mengapa yang hidup harus mati, hanya untuk sebuah kehidupan yang lain. Padahal kehidupan yang sedang dijalani begitu sebentar” Ainom merenung dan menjawab sendiri.

 Dari tepi nisan tak bernama, dada Ainom memberontak. Ia larut dalam kebencian. Ia benci suara petasan apalagi deru ombak. Bunyi petasan itu mengingatkannya pada bunyi mesiu perang yang sekian lama mengoyakkan Aceh tanah tumpah darahnya. Dan deru ombak mengenangkan akan dasyatnya gempa dan tsunami. Dan karena dua hal itu ada kehidupan yang harus mati, dan kematian yang menghidupkan.

 Ainom seperti harus menerima air mata dan senyum. Sesekali air mata, sesekali senyum. Sesakli pula serentak. Walau sesungguhnya di balik dada perawannya. Ia mengucapkan syukur kepada Allah, bahwa semuanya sudah selesai hanya karena sebuah pengorbanan yang tulus. 

***

Peristiwa gempa dan tsunami 26 Desember 2004 yang menelan ribuan jiwa di Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah peristiwa kehidupan. Mereka yang meninggal dunia adalah korban yang sesungguhnya dari konflik berkepanjangan. Mereka adalah pejuang kehidupan. Mereka juga adalah bagian dari harta Allah yang sesungguhnya, yang harus diselamatkan dari segala situasi yang terjadi. Mereka adalah para syuhada. Ainom akhirnya menemukan jawabannya.

 Tapi sayang tidak ada satu pun dari sahabat dan kenalannya yang menyadari keberadaan mereka sebagai pahlawan. Apalagi menyadari kejadian itu sebagai peristiwa kehidupan. Sahabat dan kenalannya terjebak dalam pandangan bahwa ribuan orang itu adalah ‘korban’, dan kepergian mereka sebagai ‘kematian’. Sungguh sangat disayangkan.

 Di tengah malam itu Ainom temukan sederetan kehidupan yang akan selalu hidup yakni ketulusan, keikhlasan, dan totalitas kepergian mereka. Ainom menemukan sebuah peristiwa kehidupan. Sesuatu yang sulit diterima dengan akal sehat, tetapi dimaklumi oleh hati. Hanya hati yang bisa menerima dan memahami peristiwa itu. Inilah rahasia peristiwa. Di tepi nisan tak bernama itu Ainom tertidur hingga fajar membangunkannya***

 sudah dimuat di http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsSastra.aspx?id=15899