Aku baru menikah. Menikah seminggu yang lalu. Aku punya kisah, tetapi tidak akan kuceritakan kepada siapa pun. Titik. Ini adalah masalahku. Kepada keluarga, sahabat dekat, teman kantor, mantan teman sekolah, bekas teman kuliah, guru-guruku, dosen, pembimbing, bahkan sampai ke ruang pengakuan dosa pun aku tidak akan mengatakannya. Sekali kubilang tidak, ya tidak.

Tetapi “Off the record ya, jangan katakan ke siapa pun. Saya hanya mengatakan ini kepadamu sebagai sahabatku”. Tiba-tiba dalam suasana yang entah, kepada sahabat kumenceritakan kisah itu. Sebuah kisah aib, kuceritakan tanpa malu, tanpa takut. Bebanku bagai terbang melayang. Sahabatku mengangguk. “Ya, ya, saya janji. Saya tidak akan menceritakan kepada siapa pun. Hanya kita berdua yang tahu”.

Sahabatku itu mungkin merenung, dalam hatinya ia berkata, tidak baik masalah itu di simpan sendiri. Setiap soal harus dibagi agar mudah mencari solusi. Apalagi soal serupa itu rumit dan pelik. Semakin banyak yang tahu semakin baik. Solusinya pasti akan terang benderang.

Lalu, demi alasan moral, pada situasi yang entah “Ada problem besar nih, tapi kamu harus janji jangan mengatakan kepada siapa-siapa ya, soalnya kalau sampai orang tahu kasihan dia. Dia pasti malu”. Kata sahabatku. “Sumpah demi Tuhan, demi nama baik kamu dan sahabatmu, saya tidak akan menceritakan kepada siapa-siapa” sahut sahabat dari sahabatku.

Sahabat dari sahabatku membawa pulang kisah jujur yang perlahan menjadi garing, sudah menjadi lucu kering. Bahkan tidak menjadi berarti. Sehingga dengan tanpa beban apa pun, walau tetap ‘demi menjaga rahasia’ sahabat dari sahabatku itu bercerita kepada emaknya “Ma, tapi ini rahasia ya, jangan bilang ke siapa-siapa, ma janji ya” si emak hanya mengangguk sambil mencatat saldo akhir iuran arisan. Tetapi telinga si emak lekat menangkap kisah baru itu sambil senyum-senyum.

Dua hari kemudian si Emak hadir di acara arisan. Di sela acara, ketika rehat, si Emak berbagi cerita. Sepuluh ibu pasang telinga “Tapi jangan cerita kepada siapa-siapa ya, ini rahasia, cukup kita kelompok ibu-ibu di sini saja yang tahu” sepuluh ibu itu mengangguk, sambil yang seorang ‘’ya, kita harus jaga rahasia” ibu yang lain “masalah apa?” dan ibu yang lain lagi “apa masalahnya”

Cerita rahasia itu akhirnya menyebar ke sepuluh pasang telinga. Ke telinga-telinga ibu-ibu arisan. Ada yang janda, ada yang sudah bersuami, ada yang minta cerai, ada yang kawin lagi, ada yang sudah punya cucu, ada yang genit, ada yang banyak bicara, ada yang setengah pendiam, dan ada yang lain lagi. Tapi mereka satu dalam suara ‘suka bagi-bagi cerita’.

Pulang arisan, sebagian dari ibu-ibu itu ada yang ke pasar, katanya mau belanja sayuran. Sebagian ada yang mengunjungi sanak saudara, kata silaturahim. Seorang ke salon, katanya suntik silikon. Seorang yang lain ke tempat pesta, katanya mau berdansa. Dalam katanya-katanya itu, cerita baru itu pasti tersebar walau ‘’ini rahasia, yang penting kita berdua saja yang tahu”.

Dan satu dari ibu arisan itu punya cucu. Setelah pulang petik sayur di kebun belakang rumah ia mempersiapkan masakan untuk malam hari. Sedikit lodeh, ikan asin, sambal terasi, dan tentu saja seperiuk nasi. Setelah masak, si nenek merehat di serambi, persis ketika itu si cucu baru pulang main boa kasti.

“Nenek punya cerita, tapi janji dulu jangan bilang ke siapa-siapa ya”. Si cucu yang belum benar-benar tenang karena masih kelelahan, mengangguk perlahan. “Cerita apa nek”. Si cucu pun pasang kuping. Sesekali ia menggeleng-geleng kepala, mengangguk-angguk. Sejenak ia merenung kemudian pergi membasuh diri.

Esok hari di sekolah. Kebetulan, di kelas enam, kelasnya Si cucu kebagian tugas bahasa Indonesia dengan topik pembahasan ‘Latihan Mengarang Cerita”. Dan kebetulan pula si cucu baru mendapatkan cerita segar dari neneknya kemarin sore. Tanpa membuang-buang waktu, si cucu menumpahkan semuanya ke dalam kertas. Di akhir cerita, si cucu menulis, “Ibu guru, jangan bilang ke siapa-siapa ya. Cerita ini cukup saya dan ibu saja yang tahu”.

Di rumah. Sang ibu muda yang cantik, guru bahasa Indonesia si cucu sudah selesai mandi. Tapi sampai setengah jam sesudahnya suaminya belum juga tampak batang hidungnya. Sambil menunggu suaminya pulang, di beranda rumah sang ibu guru membaca cerita-cerita karangan muridnya.

Tiba di lembaran cerita si cucu, sang ibu guru mengangguk-angguk “Kisah ini sangat menyentuh. Alurnya mengalir, tokoh-tokohnya jelas, isinya jujur dan polos”. Kata sang ibu guru. Tidak berapa lama, sang suami pun tiba. Baru saja sang suami menaiki anak tangga. Sang ibu guru muda itu berteriak “Pa, sini”.

Sang suami mendekat “Ada satu anak di sekolah mama, sangat cerdas, dia bisa melukiskan kisah dengan sangat menarik, mama kasih dia nilai 10”. Jelas sang ibu guru, suaminya mengangguk-angguk. “Bagus ma, anak-anak yang cerdas harus diberi nilai yang bagus” timpal suaminya “tapi ceritanya tentang apa ma, jangan-jangan…” lanjutnya. “Ssttt….jangan ribut-ribut. Ini cerita rahasia, hanya kita berdua yang tahu”. Potong sang istri.

Sang suami penasaran. Ia mengambil kertas cerita itu dan membacanya. Sepintas membaca, belum juga tuntas, sang suami berkomentar “Oh my God, ini benar-benar cerita yang sangat rahasia. Tolong ma, jangan ceritakan ke siapa-siapa ya, pleaseeeeeeeeeee, cukup kita berdua yang tahu”. Kemudian menghilang ke balik pintu.

Dalam kamar tidur, sambil melepaskan pakaian kerjanya satu-satu, sang suami tak lelah memohon “Tuhan, hamba-Mu memohon ampun, aku menyesal atas dosaku ini, dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tuhan, ini rahasiaku, semoga hanya Engkau yang tahu” dalam bingung yang sungguh, sang suami seperti mendengar suara Tuhan yang lembut “Jangan takut, rahasia ini hanya kita berdua yang tahu”. Jawab istrinya dari balik pintu.

Di surga Tuhan geleng-geleng kepala.