Catatan ini adalah sebuah ‘cerita ulang’ bagian kedua (masih) atas tayangan video kekerasan kelompok baju loreng (aparat Negara) terhadap warga Papua Barat yang pernah menyentakkan ruang sadar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila.

Namun dalam bagian kedua ini, ‘Cerita ulang’ atas video itu saya sebut sebagai ‘‘Menyoal Pelayanan Negara’’. Menyoal sebuah model pelayanan yang tidak hanya keluar dari definisi pelayanan politik Negara, tetapi juga mencederai hakikat pelayanan itu sendiri.

***

Tendangan, jambakan, injakan dan ancaman verbal hampir menjadi adegan utama dalam video yang berdurasi tiga menit lebih itu. Bagi yang menonton, apalagi yang mengalami penyiksaan adalah sebuah tiga menit yang menyakitkan.

Seperti yang saya lukiskan sebelumnya kematian tampak begitu dekat mengintai mereka. Sungguh sangat dekat, suluk dalam suara-suara yang lepas penuh paksa. Tampak pada bedil-bedil yang melintang dan menenteng. Tampak pula pada tinju-tinju yang mengepal dan rentangan jari-jari yang siap menampar. Pun tampak pada sepatu-sepatu beralas tendang-injak.

Saya menarasikannya. Sebuah suara meluncur bersama dengan satu tendangan pada bagian punggung “Kalian kalau tidak ngomong sampai besok buat kayak gini, saya tungguin di sini kalian..heh” diikuti dengan sebuah tendangan. Ditimpal lagi sebuah suara yang lain, yang terdengar lebih jelas (suara si tukang syuting) “Kami siap melayani sampai kapan pun” kemudian tayangan video itu ditutup dengan komando “Semuanya…semuanya…”. Tampak sekelompok warga diminta mengikuti komando seperti yang dicontohkan seseorang yang bernama Joko “Joko, kau kasih contoh di sini ko”.

***

“Kami siap melayani sampai kapan pun”. Titik. Pertanyaan kunci atas pernyataan ini adalah siapakah kami dan bagaimanakah ‘kami’ melayani. Sebuah pernyataan lain masih dalam video tersebut (pada ada adegan sebelumnya) tampak menegaskan siapa ‘kami’ dan siapa yang mengutus ‘kami’ yakni ‘‘kami di sini melaksanakan perintah Negara”.

NEGARA. Serupa itukah Negara melayani warganya? Serupa itukah Negara mengutus aparatnya untuk melayani warganya? Bagi saya fakta ini adalah sebuah ironi politik pelayanan Negara terhadap warganya. Mengapa? Karena dua hal yakni pertama, alasan moral social bahwa hakikat pelayanan adalah kasih. Siapa pun yang melayani adalah pengabdi. Dan mereka yang mengabdi harus menjunjung tinggi pengabdian. Lantaran itu, siapa pun dan atas dasar apa pun dalam pelayanan yang mengabaikan keutamaan yang bernama kasih, sudah barang tentu adalah sebuah dosa sosial.

Kedua adalah alasan moral politik, bahwa hakikat pelayanan politik Negara adalah pengabdian untuk menciptakan ruang komunikasi politik yang jujur, terbuka dan transparan agar relasi dan komunikasi tercipta. Yang dijunjung tinggi dalam pelayanan politik Negara adalah ‘keadilan social bagi seluruh rakyat’. Lantaran itu, siapa pun dan atas dasar apa pun pelayanan yang mengabaikan keutamaan yang bernama keadilan, sudah barang tentu adalah sebuah dosa politik.

Berangkat dari dua alasan di atas sudah cukup jelas bagi saya bahwa Negara telah melakukan kesalahan besar dalam melayani warganya sendiri. Negara dalam hal ini dalam dan melalui aparatnya sudah sangat jelas terjerumus dosa social dan dosa politik pelayanan.

Dosa-dosa itu jelas terbaca-dengar tidak hanya dalam kalimat yang terujar “Kami siap melayani sampai kapan pun” dan atau kalimat yang menunjukkan pengorbanan dalam pelayanan yang semu “Kalian kalau tidak ngomong sampai besok buat kayak gini, saya tungguin di sini kalian..heh”. Tetapi juga dalam sikap dan perilaku pemaksaan dan kekerasan. Bagaimana kekerasan itu tampak dalam ‘main hakim sendiri’ dalam dan melalui  tendangan, injakan dan jambakan.

***

Mengerikan memang, membaca dan menonton bagaimana Negara melayani warganya. Tapi mau apa dikata, dalam sumpah atas nama Negara kebejatan dan kebiadaan menjadi keutamaan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tinggal jadi kaca buram yang tidak lagi menjadi cermin korektif kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menciptakan ‘Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia’.

Tulisan Terkait:

* Narasi Kekerasan Aparat Terhadap Warga Papua (1)