kris bhedaSabtu sore hari itu, pertengahan Mei 2009, pasantren Babul Mukarammah Beutung Ateuh ramai dikunjungi para santri dan santriwati, walau cuaca tidak bersahabat. Kabut tipis menelusup masuk hingga ke ruang utama, membalut-balut pilar-pilar penopang. Menampar-nampar ari hingga menggigil. Tapi anak-anak yang berusia antara lima sampai sepuluh tahun itu tetap tampak riang.  

 Seperti sore-sore hari sebelumnya Tengku Basyarullah mengajarkan sejarah dan agama. Lima belas menit pertama, Teungku menjelaskan materinya. Empat puluh lima menit berikutnya satu persatu, santri dan santriwati disuruh maju ke depan, menjelaskan kepada kawan-kawannya tentang apa itu ”apa itu mengaji dan bagaimana mengaji”. Mereka patuh walau malu-malu melepaskan kata.

 Mata saya melekat ke setiap wajah satu persatu. Saya menyaksikan keseriusan, keuletan dan kemauan yang kuat yang melampaui dari sekedar melaksanakan rutinitas belajar. Ada kesan di balik keluguan mereka tentang masa depan, tentang sebuah perubahan. Mereka memang pantas besyukur, karena sudah sejak dini ditanamkan nilai-nilai moral agama, tata krama dan sopan santun. Ini adalah wujud dari kesadaran manusia, apa pun agamanya akan situasi sosial dan masyarakat yang lebih baik, damai dan tenteram di kemudian hari.

 Memang harus sejak dini belajar agama, agar kelak tidak salah menghadap kiblat. Kata saya dalam hati. Empat belas anak-anak itu tampak semangat. Sesekali melempar tanya, sesekali menyanggah. Teungku Basyarullah membiarkan proses itu berjalan. Dan untuk itu Teungku punya alasan yang masuk akal yakni ”sekaligus membantu mereka untuk belajar tampil di depan umum” katanya sambil melepas senyum. ”Setiap hari saya selalu mengajarkan tentang agama agar anak-anak paham tentang itu sejak usia dini” kata Teungku lebih lanjut.  

 Mendengar pengakuan itu saya lantas teringat dengan Tuntut Elemee (Tuntut Ilmu) salah satu pantun dalam kumpulan Panton Aneuk Miet (Pantun anak-anak) yang disusun Abdullah Arif (Lontar-Matsushita Gobel, 2006). Demikian bunyinya :

 Tuntut eleumee

Beuna tathee peureulee’in

Tuntut saudara

Bandum rata beutayakin

 Tuntutlah ilmu

Ketahuilah, itu fardhu’ain

Tuntutlah saudara

Semuanya harap yakin

 

Aneuk geutanyoe

Umu tujoh thon tajok bat beuet

Tajok bak teungku

Meungnyo maku jih hana jeuet

 Anak-anak kita

Umur tujuh tahun antarlah mengaji

Antarkan pada teungku

Jika ayah bunda tak mampu mengajar

 

Meungnyo hansoe tem

Wajeb teungku tabri upah

Hadih peureuman

Nyang kheun meunan kon beurakah

 Jika tak ada yang berkenan

Wajiblah teungku diberi imbalan

Hadis dan Firman

Yang bilang demikian, bukan gurauan

 

Othee ka rayek

Tajok bak beuet tanle lagee

Miseue keubeue kleuet

Jipok taloe nibak ulee

 Jika telah besar

Baru mengaji amat sengsara

Bagai kerbau liar

Menyeruduk tali di kepalanya

 

Bek jeuet ibarat

Pula lada othroh kapai

Pane na hase

Meungkon jinoe yoh na awai

 Jangan jadi tamsil

Baru tanam lada saat datangnya kapal

Mana pula akan berhasil

Kalau bukan sekarang, sedari awal

 

Beudoh he teungku

Jinoe laju ka troih masa

Bandum aneuk cut

Euntat bak beutet, jak sikula

 Bangun hai teungku

Sekarang tiba masanya

Semua anak-anak antar mengaji

Antar mengaji pergi sekolah

 Jelas bahwa tujuannya adalah anak-anak mengenal agama sejak dini, agar besok lusa dapat menjadi pribadi yang berakhlak baik. “Kalau mereka menjadi pemimpin di kemudiaan hari, mereka menjadi panutan karena moral dan akhlaknya yang baik, bukan provokator di tengah masyarakat” kata Teungku. Sebab zaman sekarang sulit menemukan pemimpin yang demikian karena fondasi agamanya tidak kuat. Kata Teungku lebih lanjut.

 

Empat puluh lima menit berlalu, para santri dan santriwati mulai berkemas-kemas. Dari wajah-wajah mereka terpancar kehendak dan kemauan untuk belajar. ”Besok kami datang lagi Teungku?” tanya salah seorang santri. ”Ya, besok datang lagi, tapi ingat jangan lupa, belajar yang rajin di sekolah”. Pesan Teungku menutut proses belajar sore hari itu.