Semuanya bermula dari perjumpaannya dengan Azam dalam mimpi yang meneguhkan. Mimpi itulah yang membayanginya. Yang membuatnya berubah begitu cepat. Dukacitanya memancarkan kegembiraan. Derai air mata menyemburkan senyum dan tawa.

Mimpi itulah yang menerbitkan keyakinan akan pilihan yang segera ia putuskan. Ke mana ia harus melangkah.

“Besok, Jumad, sehari sebelum 1 Syahwal 1431 Hijriah”

Keputusan Sarah sudah bulat. Ia telah melewati pergulatan yang panjang. Bukan tentang resiko baik atau buruk yang secara jasmani akan diterimanya. Tetapi kebahagiaan yang nantinya akan diraihnya secara rohani.

“Mimpi itu akan menjadi nyata esok hari tepat pukul 10 pagi”

Sarah merebahkan raganya yang lelah di atas kasur yang berantakan. Kesadarannya untuk menjadikannya perempuan yang tegar, telah memberikannya kepuasan tersendiri. Kegundahannya melayang, kecemasannya terbang, yang tertinggal adalah dinya yang diliputi kebahagiaan.

“Ya Allah…ini ridho-Mu’

Ia mengambil ponselnya. Mengirimkan pesan singkat untuk Dewi dan Dinda agar datang menjumpainya. Ia menarik napas panjang kemudian membanting tubuhnya, di antara boneka-boneka. Tubuhnya jatuh telentang.

Matanya kemudian menerawang menatap langit-langit kamar. Menyapu dinding-dinding yang bertaburan bunga dan pigura. Kemudian ke kiri dan kanan, pada sisi-sisi tubuhnya. Boneka-boneka pun tertidur jenaka. Sarah tersenyum.

Pandangannya pun membentur meja belajar di mana foto Azam bersamanya terpajang dalam bingkai perak. Sarah mengenang kisah itu, ketika sedang merindu di bawah purnama. Dia tersenyum.

Perlahan pandanganya bergerak ke sisi sebelah kanan. Matanya menumbuk lemari kaca. Di balik pintu kaca tergantung sepasang cheongsam ukuran kecil pemberian orang tuanya sebagai kado ulang tahunnya yang ke-10.

Cheongsam yang cantik. Lehernya tinggi, lengkung leher baju tertutup, dan lengannya yang panjang. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar, selayak di pinggang, dan dibelah dari sisi, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita yang mengenakannya. Termasuk Sarah.

Hanya sekali itu ia mengenakan cheongsam itu, persis ketika hari ulang tahunnya yang ke-10, kemudian ia menggantungnya sebagai kenangan terindah. Itu, kado terindah yang diberikan orang tuanya sebelum ia pindah ke Malabiah beberapa tahun silam mengikuti kakek dan neneknya.

“Papa…Mama…andai papa dan mama tahu isi hatiku yang paling dalam…” Sarah tak kuasa menahan haru. Membyangkan wajah ayah dan ibunya. Ayahnya yang pengertian dan ibunya yang penyayang. Ayah dan ibunya mencurahkan segala untuknya, karena dia adalah putri semata wayang di antara dua sadara laki-lakinya.

“Bukan aku hendak meninggalkan papa dan mama. Bukan pula aku mengkhianati kasih sayang dan perhatian. Tetapi ini adalah pilihan hidup. Dan tentang semuanya itu hanya aku yang tahu…” Sarah seperti mengadu. Matanya terus melekat menatap cheongsam itu. Seperti sebuah pengakuan di hadapan ayah dan ibunya.

“Sarah, ini adalah Cheongsam. Kado dari papa dan mama buatmu” Sarah mengenang kata-kata ayahnya. Ketika itu ayahnya memberikan dengan senyum disaksikan ibunya.

“Nak…ini salah satu jati diri kita bangsa Tionghoa. Pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh wanita bangsa Tionghoa. Semoga dengan ini, kamu tetap menjaga kesederhanaan dan keanggunan, juga kemewahan dan kerapian…kami mencintaimu nak!!” Mengenang itu Sarah menitihkan air mata.

Matanya kembali menerawang. Sarah menyapu air matanya dengan tepi seprei marun.

“Papa…mama…maafkan aku, bukan aku yang memilih jalan ini, tetapi Allah yang memberikan aku jalan…aku temukan hidayahnya…di sini..di Malabiah”