Nusa Tenggara Timur

Bekerja sebagai seorang pengelana, musafir dan perantau membuat saya harus terlibat dalam setiap peristiwa. Peristiwa yang saya maksudkan di sini adalah relasi atau pertemanan dengan siapa saja dan dari mana saja dalam konteks apa pun dan di mana saja.

Namun kadang saya kelabakan, juga sedikit ‘sakit hati’ ketika ada yang menanyakan di manakah Flores?. Saya ‘sakit hati’ bukan karena tidak mampu dan atau malu untuk memperkenalkan Flores, tetapi lebih karena mendengar dan harus menjawab ‘mengapa mereka tidak tahu di mana letak Flores? Ketika berhadapan dengan orang bule, mereka dengan antusias mengangguk dan mengatakan ‘Oh ya ya, Flores itu indah’ Itu artinya mereka lebih kurang tahu di mana letak Flores. Dan di hadapan mereka saya kadang bangga. Tetapi hati saya ‘sakit’ ketika berhadapan dengan orang Indonesia sendiri.

Hampir sebagian besar orang yang saya temui dalam setiap peristiwa nyaris tidak mengetahui di mana letak Flores. Flores seakan-akan hilang dari peta Indonesia. Saya mencoba untuk memberikan jawaban dengan pertanyaan ‘Tahukah di mana danau Kelimutu, danau Triwarna yang dulu pernah ada di lembaran uang lima ribuan? Sering nonton Jejak Petuangan yang berkisah tentang perburuan Ikan Paus dan Blue Marlin, tentang biawak raksasa yang disebut Komodo? Atau tahukah anda tentang tarian Ja’i yang populer dan dinasionalkan itu? Tahukah di mana Soekarno pernah dibuang pada zaman Belanda? Tahukah nama penerbit Nusa Indah, salah satu penerbit tua di Indonesia? Tahukah di mana Liang Bua, dimana fosil manusia kate ditemukan? Tahukah di mana Frans Seda, ekonom kondang itu dilahirkan? Tahukah di mana peristiwa gempa dan tsunami terjadi pada tahun 1992?

Hampir semua geleng kepala. Lebih-lebih orang Indonesia di belahan bagian Barat terhitung Jawa, Sumatera dan sedikit Kalimantan. Busyet….Indonesia; Nusantara. Indonesia, dimanakah ke-indonesia-an orang Indonesia? Nusantara, dimanakah ke-nusantara-an orang nusantara? Sampai-sampai ke mana pun saya pergi saya harus menyisihkan sedikit energi untuk membuat peta dalam kepala dan mempresentasikan apa pun tentang Flores. Tapi sayang kesimpulan orang ‘Indoensia’ itu hanya ‘Wah…jauh sekali ya, koq bisa sampai di sini?‘ Pertanyaan yang membuat saya tambah ‘sakit hati’ Atau “wah..ternyata Flores itu dekat Australia ya” Mereka menyangka seperti antara Batam dan Singapura atau Jawa dan Madura.

Dan yang membuat saya lebih ‘sakit hati’ adalah pertanyaan “di Flores pesawat bisa mendarat nggak” atau “Flores itu indah banget, soalnya saya sudah pernah nonton film Denias” Mendengar komentar, jawaban dan pernyataan di atas dalam hati kecil saya kadang memohon dan bertanya dengan sedikit mengeluh kepada Tuhan “Ya Tuhan, beginilah kami orang Indonesia…dulu waktu sekolah dasar kami belajar tentang peta buta sampai disuruh menjawab dimana letak Buton, Singkep, Seumelu, naik sampai ke Monas, masuk ke Lubang Buaya, melewati selat Karimata hingga tercebur ke kepundan Krakatau, tetapi apa yang terjadi dengan mereka.

Mereka mengira pulau Flores hanya sebesar telur ayam sampai pesawat ‘bingung’ mendarat. Oh Tuhan, bolehkah saya menamparnya?” Pertanyaan lain yang kadang saya tanyakan sendiri dalam hati – tentu saja bukan untuk Tuhan – adalah apakah yang kurang dalam pendidikan kita, khsususnya pendidikan sejarah, pendidikan ilmu pengetahuan sosial atau antropologi di Indonesia ini? Indonesia rupa-rupanya telah kehilangan peta dalam proses pencerdasan bangsa. Ada yang timpang dalam pendidikan kita? atau …???

Ini ‘dosa’ siapa? Tidak. Tidak seluruhnya salah mereka. Rupa-rupanya salah kita juga, salah orang Flores sendiri. Kita punya banyak penulis, tetapi jarang kita menuliskan tentang diri kita sendiri. Tentang Flores. Tentang apa saja-nya Flores. Kita punya banyak aset wisata, budaya dan sumber daya alam tetapi tidak sistematis digarap, dikemas dan dipublikasikan. Ego sektoral/daerah begitu menguat, sampai-sampai lupa apa yang prioritas.

Lagu-lagu daerah diubah ke dalam Madah Bakti yang hanya bergema di ruang-ruang kapela yang terbatas kalangan. Secara pribadi saya pun turut ambil bagian dalam ‘dosa’ itu. Tapi saya punya solusi, semacam ‘penitensi’ atas ‘dosa’ itu, yang akhirnya sedikit mampu mengubah ‘sakit hati’ menjadi semacam ‘senyum’.

Merefleksikan semuanya itu, saya menyimpulkan momen/pengalaman ini sebagai pembelajaran yang menarik. Saya harus MENULIS, titik. Menulis tentang diri saya sendiri, tentang FLORES. Karena menurut saya menulis adalah media yang paling efektif untuk memperkenalkan sesuatu. Sesuatu Flores.

sumber gambar:  alutsista.blogspot.com/2007/08/tni-sudah-prog…