Tentang kata aku tak pernah sudah untuk merenungkannya. Kehadirannya dalam ruang rasa, gerak tubuh, relasi perjumpaan, dan kesaksian-kesaksian serta (bahkan sampai kepada) sesuatu yang tak terkatakan tentanganya, membuatku harus bergulat sungguh. Aku disandera olehnya, karena pada malam-malam senyap, pun siang-siang berisik, aku selalu hadir dan ada bersama dalam dia. Aku tersiksa.

Tetapi keter-siksa-an itu bukan membuatku menjadi kian terhempas dan terbuang dalam derita dan beban lantas berontak. Justru sebaliknya, aku menemukan kebahagiaan yang meluap-luap. Cambukannya merayuku. Sengatannya menyejukkanku. Tamparannya melegahkanku. Murkanya membuaiku. Senyumnya pelitaku. Kelembutannya menghidupkannku. Kehadirannya dalam segala rupa rasa bagiku adalah jalan.

Semakin aku suluk dalam kehadirannya dan bergulat dengannya, semakin aku menemukan keindahan kuntum dan aroma wanginya. Semakin aku berusaha untuk menjadi satu dengannya, sesuatu yang nyata seperti hadir di hadapanku.

Dialah Sang Kata. Dia hadir dalam bentuk pribadi, warna rasa dan makna. Dia memaklumkan dirinya sebagai ‘jalan kebenaran dan hidup’. Dan melalui jalan itu aku mengikutinya, berziarah bersamanya untuk menuju keabadian.

Dalam ziarahku, ia mengajariku tentang apa artinya hidup dan kehidupan. Bahwa dalam kehidupan tidak ada kekalahan dan juga tidak ada kemenangan. Hakikat kehidupan sejatinya adalah perubahan secara terus menerus, perbaikan yang tidak tuntas. Hidup dan kehidupan adalah proses menjadi dan terus menjadi. Hanya dalam kabadian aku dipastikan sebagai yang menang atau kalah.

Ia mengajariku arti kegembiraan, bahwa kegembiraan bukan kepuasan. Kegembiraan adalah gambaran kehidupan di keabadian. Mengalami kegembiraan haruslah menyelami arti kebahagiaan, bukan sebaliknya menunjukkan kepuasan-kepuasan. Demikian pula dengan derita. Ia mengajariku bahwa derita selalu berjalan bersanding dengan kegembiraan. Penderitaan adalah momen refleksi yang diberikan untuk dan dalam kehidupan untuk dimaknai sebagai titik-titik pemurnian diri.

Ia mengariku tentang bagaimana sejatinya mengajarkan kebenaran-kebenaran dalam kehidupan. Kebenaran-kebenaran itu adalah cinta. Cinta yang hadir secara tulus dalam segala rupa dan bentuk, tidak hanya dalam kata, tetapi dalam kesaksian-kesaksian. Dalam dan melaluinya kata-kata cinta terungkap pada setiap gerak tubuhnya, kebenaran-kebenaran terwujud dalam kesaksian-kesaksiannya.

Ia mengajariku tentang kematian. Sesuatu yang ‘ngeri’ dalam hidup dan kehidupan, namun harus dilalui oleh setiap dan segala yang hidup. ‘Selesailah sudah’ dia memaklumkan kata-kata ini tentang kematian.  Kata-kata yang tidak mengatakan apa-apa tentang kematian. Tetapi sejatinya disinilah letak hakikat kematian sebagai ‘selesai’.

Sampai pada tahap ini aku berhenti menafsirkan tentangnya. Aku bergulat sungguh. Aku tidak hanya terhempas dan terbuang pada kebimbangan yang mendalam, tetapi juga pada penampikan atas kebenaran-kebenaran yang sudah sedang kuziarahi bersamanya. Aku bagai menjadi pribadi yag terlempar ke dalam kehidupan tanpa pegangan.

Namun, semuanya menjadi berubah, ketika aku tidak menemukan tubuh terkafan pada kubur batu. Raga kematian itu yang tiba-tiba raib. Aku menjadi yakin pada kebenaran-kebenaran yang dimaklumkan Sang Kata, ketika jari-jariku menusuk masuk pada luka-luka tapak tangan dan kakinya. Dalam luka jantungnya kurasakan kesejukan yang mendalam. Kata itu ternyata kembali hadir dan ada dalam ketiadaannya.

“Di atas batu karang ini akan kuwujudkan kata-kataku” demikian kata Sang Kata sebelum pergi ke keabadiaan. Ia mengatakan itu kepadaku. Dan sudah sejak itu, aku selalu bergulat dengan kata-kata itu. Aku disandera oleh kata-kata itu. Dari keabadian kata-kata itu hadir, mengingkarnasi dalam tubuh, berperistiwa dalam kisah-kisah memaklumkan kebenaran-kebenaran, kemudian tewas dalam peristiwa itu sendiri, sebelum akhirnya kebenaran itu membuktikan kebenarannya dalam dan melaluinya. Sang Kata akhirnya menjadi tetap Ada.