Publication1

Bocah tetangga sebelah rumah tiba-tiba mendekat, sepedanya didiamkan kemudian bertanya “Om, kapan Pemilu gubernur tahap dua?” si Om ternganga-nganga. Mimpi apa si bocah tetangga yang siang malam main sepeda ini tiba-tiba tanya tentang Pemilu gubernur. Koq jadi tiba-tiba sadar politik. Koq tiba-tiba jadi demos yang peduli. Koq seperti sudah berumur cukup untuk coblos? Bingung, lantaran dari sekian bocah yang si Om kenal, bocah yang satu ini bisanya paling emoh yang begini-begini termasuk omong tentang sekolah.  

Kalau pun ke sekolah, si bocah tidak pernah bawa buku. Seragam sekolah atur sendiri. Jika diminta memilih baca buku atau kerja pekerjaan rumah, dia tidak memilih keduanya karena dia lebih tertarik main sepeda. Semua berlomba mengejar juara pertama, si bocah yang satu ini tidak berambisi untuk beranjak dari posisi degradasi.

Lantaran semua latar belakang itu, yang ketika dihadap-hadapkan dengan pertanyaan yang dianggap di luar batas biasa, maka si om jadi bingung. Sekali lagi si Om hanya bisa ternganga. Mengapa tidak, sebab jika ada pertanyaan yang dilontarkan si bocah, pertanyaan paling berat dan sulit dijawab si om adalah ‘’om ada uang seribu kah?’’ atau bertanya walau sebenarnya memaksa “Om tidak beli pisang goreng kah?” atau bertanya walau sebenarnya pengen “Om pepaya sudah matang tuh, koq tidak dipetik, awas dimakan kelelawar loh”. Dan seterusnya.

Tetapi sore hari itu menjadi pengecualian. Si bocah iba-tiba saja terhipnotis oleh aura-nuansa politik. Seperti sudah sedang menjadi demos yang sadar untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga dan merawat demokrasi, si bocah mencoba untuk mengambil bagian walau hanya dengan sebatas tanya.  Seolah-olah bukan hendak menjadi demos kebanyakan yang pasif, diam dan bahkan tidak peduli, si bocah hadir tunjukkan diri.

Dan ah… daripada menganga terlalu lama, si om bicara “Tidak tahu, memangnya kenapa?”  jawab si Om dengan tanya. Si bocah merespon dengan senyum-senyum. Menahan beberapa detik, seperti sedang memberi waktu untuk berpikir. Berpikir tentang pilihan ideal (walaupun dalam politik perihal serupa itu sebenarnya sulit)  “Tidak ada apa-apa sih om, tetapi kalau om ikut pemilu, om harus pilih Jokowi ya!”

Jakowi? Astaga. Hendak si Om jitak kepala si bocah, andai saja si bocah tidak segera mengayuh sepedanya. Bayangkan, si bocah kelas tiga Sekolah Dasar di Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur, yang usianya belum cukup untuk tusuk kertas pemilu meminta, lebih tepat memaksa si Om untuk mencoblos Jokowi ketika pemilu gubernur putaran kedua digelar bulan Mei nanti.

Sederetan pertanyaan kemudian muncul: Siapa dan mengapa Jakowi sampai seorang bocah kampung ini menyebut namanya? Seberapa hebatkah dia sehingga si om harus memilihnya? Bukankah yang sudah sedang bertarung kemudian akan dipilih pada pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Timur pada  putaran kedua nanti tidak ada yang bernama Jokowi? Bukankah hanya Eston Foenay-Paul Tallo yang diusung Gerindra dan PDS dan pasangan Frans Lebu Raya-Beni Litelnoni yang diusung PDIP? Tapi apakah karena Jokowi populis maka dia harus dipilih si Om walau si Om tinggal jauh di Nusa Tenggara Timur?

Penasaran. Si om putar-balik ambil langkah cepat mengejar si bocah. Tampak, si bocah merinding. “Om, jangan jitak om, jangan om” rengek si bocah ketakutan. Sambil tersenyum, si om mendekat ingin tahu “Tidak, om hanya mau tanya. Tadi kenapa minta om pilih Jokowi?”. Si bocah menarik napas panjang, kemudian melepasnya dengan tergesa. “Om” ia mengatur napasnya lagi. Berhenti sejenak. Si om mulai kesal, jari-jari si Om secara perlahan melegkung ke dalam membentuk kepalan setengah jadi. “Jakowi itu pilihanku”.

Ughfff…..bocah sialan. “Ei kamu tau atau tidak siapa calon gubernur kita sekarang?” tanya si Om. Seperti filsuf si bocah merenung sambil seperti pencuri si bocah tengok kiri kanan. Dahinya mengerut kemudian menjawab “Jokowi”.

Maaf beribu maaf. Si om akhirnya tidak sanggup menahan diri. Kepala si bocah akhirnya di-toki juga. “Ehm…kau punya Jokowi tuh”. Dalam hati kecil dan dari lubuk hati yang paling dalam. Si Om bertanya sendiri “Ya Tuhan, si bocah kemanakan Eston Foenay-Paul Tallo dan Frans Lebu Raya-Beni Litelnoni?”

“Ya Tuhan, begitu mahalnya ongkos politik di negeri ini. Semakin populernya seorang Jokowi, semakin dikaguminya dia, semakin tidak berdayanya figure yang lain. Yang seorang menjadi begitu berharga dan bermartabat selanjutnya layak untuk dikenal-kenang, sementara yang lain tidak lebih hanya seperti produk lokal yang tidak laku-laku. Atau jangan-jangan, perihal apa yang dilontar-tanyakan bocah ini mewakili ‘kecerdasan’ (sebenarnya kepolosan) pendangan  politik di negeri ini. Bahwa figure politik ideal sudah sedang diburu untuk dipeluk-pilih.