Jejak Kata, Monolog dalam Renungan adalah buku-ku yang pertama. Buku itu kutulis di sela-sela saat kebisingan kerja mendera, ketidakmenentuan cinta menerjang dan ketika sembahyang dan doa  menjadi tindakan dan kebiasaan yang tidak bernyawa. Dua tahun aku berkutat dengan diriku sendiri, sampai tiba sebuah hari, aku menerbitkan keyakinan itu untuk dapat berbagi.

Aku yakin sungguh, bahwa karyaku itu akan melahirkan kisah sendiri dalam kehidupannya. Ia adalah anak yang selanjutnya dibesarkan puluhan dan bahkan ratusan tafsiran. Di antara puluhan dan ratusan itu, aku adalah yang seorang. Aku bukan lagi ibu dan atau ayah, tetapi aku adalah pembaca. Seseorang yang tidak hanya melejitkan tanya ke setiap halaman sebuah karya, tetapi juga yang melumatnya dengan umpatan dan makian. Sedikit pujian mungkin sudah lumayan.

Menelusuri kembali jejak kata, aku menemukan kehausan yang mendalam pada kenangan masa silam. Tentang cinta, kehidupan, kematian dan Tuhan. Tentang cinta aku bernostalgia dengan diriku sendiri, agar semakin aku mencintai kehidupan aku semakin menjadi diri sendiri. Tentang kehidupan aku bernostalgia dengan serentetan perjumpaan yang berkelimpahan makna. Tentang kematian aku berkutat dengan diriku sendiri yang kecil dan tidak berdaya. Tentang Tuhan, aku menunjuk jariku dan bertanya ‘Tuhan, Engkau begitu kuat, hingga aku tidak lelah berdoa’.

Semuanya adalah kisah yang sudah. Tidak seorang pun yang akan menarik peristiwa dan fakta yang sama ke hari-hari hidupnya di masa depan. Melukiskan semua peristiwa  dan fakta itu mungkin saja lebih elok dari yang dialami, tetapi menjadikannya seperti sediakala adalah perbuatan yang bukan hanya sia-sia, tetapi sebuah ketololan yang besar.

Lantaran itu, aku menemukan kehausan yang mendalam. Di atas kisah-kisah tentang semua, tentang segala, aku ayunkan jejak dengan tegar. Aku, kendati harus menyangsikan semua, segala, tetapi bukan aku menampiknya sebagai yang tidak benar atau salah. Semuanya, pada tempat dan masa adalah benar dan tepat. Menafsirkan semuanya dengan terang dan terpilah-pilah adalah kekuatan seorang pengembara kata; manusia pengelana kata.

Aku adalah yang seorang dari sekian pengembara dan atau pengelana kata. Dalam pengembaraan yang panjang aku selalu berjumpa dengan makna.  Setiap makna yang tersibak peristiwa dan fakta selalu pula membantaiku dengan kejam. Di tengah kehidupan aku terlunta. Hanya satu yang mampu menyelamatkanku, yakni keyakinanku yang sungguh pada Sang Kata. Bahwa serupa Dia yang tewas untuk sebuah pembebasan, aku pun tidak gentar mengarungi semuanya. Sebab sekali pun aku tewas, maka aku akan tetap ada. Itulah buah dari pengembaraan kata.