Aku sedang sendiri. Terpekur dalam kesendirian. Namun itu bukan sepi. Karena di balik dadaku berkecamuk tanya. Tanya-tanya itu berlari-lari. Kejar-mengejar. Tindih menindih.  Tanya-tanya itu bagai sinis, mereka berbagia. Kian hari kian seru, hingga dadaku benar-benar tak terbendung. Aku sakit.

Tanya-tanya itu adalah ini: aku punya mimpi, tetapi bagai sulit ditepi. Aku punya karya, tetapi bagai sulit dinyata. Aku punya cinta, tetapi  bagai sulit dikata. Aku punya  keluarga, tetapi sulit untuk dimengerti. Tentang semua tanya-tanya itu, aku bagai terenjara. Ragaku yang kian hari kian rapuh, seperti sudah sedang diambang patah asa.

Tentang semua gundah itu aku mencoba untuk tegar. Senyum selalu kulepas. Tawa selalu kuumbar.  Semua  penopang raga itu bagai ilusi. Sejujurnya aku tidak punya apa-apa, selain seoongok daging mentah yang masih bernapas.

“Maha Baik Kau Tuhan…Jika  Kau adalah aku, sudah kucabut nyawa itu”

Tapi Tuhan dalah Tuhan. Ia selalu memberi kemudahan-kemudahan dalam kesulitan-kesulitan. Selalu memberi jalan keluar dalam keputusasaan.  Hinga tiba suatu ketika, dari hati kecilku yang paling dalam, aku berdoa kepada Tuhan.

“Tuhan, mengapa Engkau datang seperti maling, padahal Engkau tak pernah mengajariku menjadi pencuri. Engkau mengajariku untuk selalu melewati pintu. Tetapi mengapa Engkau menjumpaiku melalui jendela. Engkau mengajariku supaya membalas dengan kapas ketika pipiku ditampar, tetapi mengapa Engkau menghantamku dengan godam.  Engkau mengajariku supaya aku membuka pintu, masuk ke dalam kamar dan berdoa. Tetapi mengapa dalam kamar ini aku seperti membenci-Mu”

“Seperti  itukah Engkau Tuhan…seperti  itukah rupa wajah-Mu. Dalam kelembutan-Mu kitemukan kesangaran-Mu. Dalam senyum-Mu aku temukan sinis. Dalam kebaikan-Mu kutemukan keburukan. Dalam keahagiaan-Mu kutemukan duka. Dalam tawa-Mu aku temukan air mata. Dalam ke-Tuhan-Mu aku temukan Kau bagai hantu”