Apakah akan segera lahir paham dan aliran politik atau sebut saja semacam pilar gerakan di negeri ini yang memalumkan dirinya, kelompok dan atau organisasinya dengan mengusung sondangisme, lantas mereka yang mengusung sondangisme disebut kaum Sondang atau Sondangis.

Akan atau tidak akan, saya pikir waktu yang akan membuktikan, namun yang pasti bahwa ketika segenap warga bangsa benar-benar frustasi, mentok-mampet mencari alternative menghadapi situasi social politik yang tidak sudah mendera tanah airnya, maka mereka yang disebut sebagai kaum Sondang atau Sondangis akan tampil memaklumkan diri dalam aksi dan demontrasi entah lewat aksi bakar diri, penggal kepala sendiri, atau menghujam dirinya sendiri dengan belati hingga mati.

Peletak dasar sondangisme jelas Sondang Hutagalung, mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, yang nekat bakar diri di depan Istana Negara pada 7 Desember 2011, dan tiga hari kemudian menghembuskan napasnya yang terakhir karena luka bakar yang ngeri. Aksi bakar dirinya menjadi bukti bukan hanya karena mentok-mampet mencari alternative menghadapi situasi social politik yang tak pernah tuntas, tetapi juga sekaligus sebagai tamparan bagi elite politik bangsanya agar sudi dengar dan peduli pada tangisan anak-anak negeri yang secara social-ekonomi kian terjepit.

Pilar perjuangan sondangisme adalah revolusi sampai mati. Mati bunuh diri secara sadar, tahu dan mau. Kaum Sondang atau Sondangis beraksi bukan untuk mempopulerkan diri dan apalagi cari sensasi. Tetapi untuk memaklumkan kepada publik, secara khusus kepada elite politik negeri, perihal perjuangan merebut keadilan dan kebenaran.

Lantaran itu pilar penting Sondangisme mengandaikan ada nyali yang kuat, melampaui dari sekedar berani. Karena kaum Sondang dan Sondangis dalam aksinya memaklumkan kepada kaumnya agar juga rela mati, tanpa harus melukai orang lain. Mereka rela mati demi sebuah komunitas bangsa, entah warga bangsa menerimanya sebagai ‘martir’ atau tidak. Perihal itu kaum Sondang atau Sondangis rupa-rupanya tidak peduli.

Sondangisme lahir dari sebuah refleksi yang panjang atas pengalaman kekalahan, kepahitan, derita dan bahkan penindasan-penindasan baik fisik maupun politis. Jika mau jujur, rupa-rupanya Sondangisme lahir karena sebuah memoria passionis, dan dalam melalui aksi bakar diri menjadi puncak dari perjuangan sekaligus melepaskan diri dari kenenangan-kenangan menyakitkan yang direfleksikan secara matang dan mendalam.

Berangkat dari perjalanan refleksi yang panjang dan mendalam itu, Sondangisme sudah barang tentu diusung oleh mereka yang cerdas, karena tidak hanya mencoba mengendap setiap kenangan secara bijak, tetapi juga berani mengambil resiko atas akhir dari perjuangannya yakni kematian. Jadi kaum Sondangi atau Sondangis bukan orang bodoh, tetapi mereka bisa aja lahir dari kalangan mahasiswa, akademisi, para aktivis dan pegiat gerakan social.

Selanjutnya, pada akhirnya Sondangisme tidak mementingkan kedudukan secara politik dan social dalam perjuangannya. Sondangis dan kaum Sondang tidak berambisi merebut tampuk politik tertentu apalagi berjuang untuk meraih kursi kekuasaan. Sondangis hanya hadir dan memaklumkan diri untuk dijadikan sebagai suara bagi segenap kaum tak bersuara supaya didengar, dilihat, dimengerti dan dipahami, singkatnya disadarkan bahwa sebuah bangsa dalam segala sendi kehidupan sudah sedang digerogoti sakit yang akut, rapuh dan goyah.

Sondangisme, dalam dan melalui aksi kaum Sondang atau Sondangis tampaknya memang hadir sangat ekstrem. Tetapi akan lahir atau tidak aliran dan gerakan semacam itu, akan terbukti atau tidak, dalam perjalanan waktu selanjutnya kehadiran mereka sudah cukup memberi tanda bahwa sesungguhnya sebagian dari warga bangsa ini sudah sedang frustasi, mentok-mampet mencari alternative menghadapi situasi social politik yang tidak sudah/tuntas mendera.

Catatan: Sebelumnya tulisan ini sudah dimuat di Kompasiana