Ribuan buku betumpuk-tumpuk di atas meja panjang setinggi lutut. Tingginya membuatku ngeri, karena bagai gundukan kuburan mentah. Di antara gundukan itu menyembul sebatang tiang dengan papan nama ‘Diskon’ pada sisi yang lain bertulis ‘Obral’.

Seperti batu nisan, papan nama itu seakan memberi tanda akan kematian, bahwa buku-buku itu adalah korban pembantaian pasar: tidak laku atau tidak habis terjual. Papan nama itu seakan memberi komando agar cukup dengan lima sampai dua puluh lima ribu rupiah, kita dipanggil ‘ayo-ayo’ untuk kuburkan buku.

Aku menyaksikan korban pembantaian terbanyak bervarian komik, teenlit, kuliner, serta berbagai tips trik design dan tetek bengeknya. Aku saksikan juga korban lain bervarian filsafat, politik, ekonomi, sastra, sosial, bahasa dan budaya. Walau tidak banyak, tetapi itu sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa refleksi politik, sosial, ekonomi, dan budaya seperti tak lagi mendalam. Demikian juga bahasa, sastra dan filsafat seperti tak lagi bermakna dan agung.

Dalam pusaran pasar semuanya terbantai: ‘diskon’ atau ‘obral’. Komik kehilangan jurus karate-nya. Pesan-pesan agung Budha dalam tumpukan seri Tapak Budha, bagai tak berarti. Teenlit kehilangan erotiknya. Sekarang pasar sedang memburu teenlit bergenre ‘alay’. Demikian juga dengan refleksi politik, sejarah dan budaya yang terekam dalam pisau analisisnya yang tajam seketika itu juga tumpul, pun mungkin (pula) dipandang karatan.

Sementara sastra, bahasa dan filsafat bagai tak bernyawa. Tidak se-agung sediakala, dimana ketika sastra dan filsafat lahir sejatinya sebagai media pencerah rasa. Bagai tak mencerdaskan semua karya intelektual itu terserak di bawah lantai  ubin tiga puluh kali tiga puluh senti meter.

“Seperti sampah”

‘Tapi, ah…di tangan pasar yang kejam, segala memoria adalah ‘tahi kucing’ alias tidak laku”

Sementara kesal itu memuncak, meledak-ledak dalam ruang dada, di sudut sebelah kanan, dekat kaca jendela, aku menyaksikan Les Mots-nya Jean Paul Sartre dipijak seorang perempuan bertubuh gempal.

“Oh Perempuan tambun, tidakkah kau tahu, yang sedang kau injak itu adalah kata-kata, yang direfleksikan dengan susah payah oleh seorang laki-laki sangar yang sangat mengagungkan buku?”

“Perempuan bongsor, tidakkah kau tahu, bagi pria yang kau injak itu, buku  adalah agamanya. Dan andai dia masih hidup dan sekarang hadir di Gramedia Matraman ini, maka dia akan menendangmu keluar jendela, karena kau telah menodai benda sucinya”

“Oh, ibu gendut, andai kau tahu itu’

Ingin aku melabraknya, tapi aku cukup tahu diri. Aku pasti terlempar ke luar jendela jika hendak macam-macam. Tebal tapak tangannya yang setebal Les Mots, jika diayunkan ke rusukku sudah cukup membuatku terpental ke lantai dasar.

“Ibu bongsor…kau persis seperti pasar. Tapak tanganmu menerima dan menelan apa saja yang kau mau, sejauh perutmu masih kosong. Tidak melihat itu bergizi dan bernutrisi atau tidak. Dan karena kau adalah pasar, maka aku yakin, perutmu tak akan pernah kosong. Dan yang kau pentingkan bukan isinya tapi banyaknya”