Rambutnya jatuh. Masih basah. Wajahnya berbinar. Seperti pagi. Bibirnya merekah. Bagai kembang. Di balik meja belajarnya, Sarah melepas senyum. Wangi rasanya terbang keluar melalui celah jendela dilepas kibasan furing putih kapas. Bulan setengah merekah menyambut senyum itu dalam paduan malam.

Walau malam akan larut, Sarah tampak lebih cerah dari biasanya. Segala keluh dan kesah bagai lupa lalu. Sarah hendak bercerita, meminta kejujuran bulan. Semuanya tertumpah ke dalam catatan hariannya. Ia bentangkan lembar demi lembar catatan cokelat tuanya, dan ujung penanya pun menetaskan kisah.

Malam hari itu Sarah kisahkan tentang ‘Bunga-Bunga Impian’ seperti yang disyairkan May Ziadah, wanita cantik dan cerdas, sastrawati Lebanon yang menjadi besar di Kairo. Seorang wanita yang berharap pada cinta dan Tuhan sebagai muara. Kepada Tuhan ia selalu pinta kekuatan. Kepada cinta ia berpasrah.

Tentang cinta yang membuatnya berpasrah. Sarah menjadi seperti May Ziadah, mempelai kekasih di ruang jiwa yang tidak terjumpa. Namun demikian, Sarah menjadi perempuan kuat dan berdaya, karena cinta. Seperti May Ziadah yang mengharapkan cinta Kahlil Gibran, walau dalam sebatas surat yang menggambarkan ketegaran, demikian pula Sarah berpinta cinta Azam pada catatan harian.

Pada selembar catatan harian, pada malam hari itu, Sarah menetaskan sebuah rasa. Bukan tentang sakit yang derita. Bukan tentang air mata-air mata. Tetapi tentang dirinya sendiri yang tegar. Tentang kekuatan-kekuatan jiwa. Tentang optimisme jejak-jekaknya.

“Mulanya aku berada pada garis yang tak tersentuh oleh rasa” Demikian Sarah menuliskan kisah pada catatan hariannya. “Jika ada, aku hanya berada pada lingkaran  rasa yang hambar” Demikian Sarah melanjutkan.

“Namun, ketika aku berjumpa Azam segalanya menjadi berubah. Aku berlari mendekat pada garis cinta. Hidupku jadi penuh warna bagai bunga. Kakiku menjadi tegar melangkah. Jari-jariku menjadi tak lelah mengisahkan kata. Senyumku menjadi selalu merekah. Aku menjadi berbahagia”

“Ya…aku menemukan cintaku yang sesungguhnya. Pada wajahnya yang teduh aku temukan kesejukan. Pada senyumnya yang menawan, aku temukan keelokan. Pada tuturnya yang terukur aku temukan kebijaksanaan. Pada dadanya aku temukan kenyamanan. Pada lengan dan tangannya aku temukan lindungan. Pada kakinya aku temukan kekuatan”

“Azam, menjadikan hidupku hari kian hari jadi sempurna. Kecerdasan dan kesantunannya membuatku menjadi wanita yang sangat berbahagia untuk bersanding dengannya. Pada dan melalui Azam, aku menemukan sejatinya cinta. Cinta yang tak pudar dan hambar”

Tiba-tiba, air mata Sarah jatuh. Menetas bagai tinta pena membasahi catatan hariannya. Penanya tergeletak di samping catatan cokelat tua itu yang kian lama kian jadi genangan air mata. Celah jendela melebar, langit tampak pekat. Tiada berbintang, bulan pun tenggelam.

Pekat, gulita. Hawa dingin malam itu menampar-nampar wajahnya. Sebelum menutup cerah lembabnya malam hari itu, kembali Sarah bangkitkan pena. Pada catatan cokelat tua yang nyaris tak terbaca, Sarah menuliskan kembali kisah May Ziadah dalam tanya “Apakah ini bunga-bunga impian?….ya hanya alam dan Tuhan yang tahu”.