Purung yang berputar  perlahan searah jarum jam tiba-tiba saja berhenti. Gadis kecil, Mai, tanpa sengaja menyenggol salah satu sisinya sehingga membuat alat penggulung benang itu terjungkal. Benang-benangnya terburai. Lawe kongko pun terpental dari genggaman tangan Lopo Ana. Benang yang sudah digulung sebesar kepalan itu kemudian menggelinding menjauh ke bawah kolong tempat tidur bambu.

‘Mori somba’ hanya sepatah kata itu yang melesat keluar dari mulut Lopo Ana sambil menepuk kedua belah tangannya. Hendak nenek usia enam puluhan tahun itu tumpahkan marah, tetapi ia tak kuasa melihat cucunya menampakkan wajah setengah terperanjat dan merasa bersalah. Mata Mai berkaca-kaca.

Beberapa saat keduanya terdiam. Keduanya saling menatap, seperti sedang menanti siapa yang akan segera memulai tumpahkan rasa. Maaf dan atau marah. Namun itu hanya sebentar. Kemudian, Lopo Ana  merapikan purung sebelum menarik lawe kongko di bawah kolong dengan sebilah hum.

Di depannya, Mai masih berdiri mematung. Mata beningnya menyapu purung yang kembali dirakit ende lopo-nya. Sesekali melihat wajah tua caung yang ada di hadapannya itu, seperti berharap pada maaf dan kasih sayang.

Purung kembali berputar, sesekali mengeluarkan suara berderak. “Mai, mari duduk dekat ende lopo”. Akirnya Lopo Ana memulai. Penuh harap ia memanggil empo-nya. Tetapi Mai menggelengkan kepala. ”Mai, mari. Ende lopo tidak marah” Selangkah Mai mendekat kemudian berhenti. Kerutan dahinya masih tampak cemas. “O…empo daku, molas tu’ung” Lopo Ana mendekat dan menggendong empo-nya. “Ende lopo tidak marah. Ende lopo sayang Mai” Air mata Mai pun jatuh.

“Mau dengar Ende Lopo cerita?” Pinta Ende Lopo berharap jawaban. Mai mengangguk sambil menghapus air matanya. Lopo Anna pun turut menyisihkan ujung  songke usangnya sambil perlahan mengusap pipi bening Mai. ”Jangan menangis lagi o…” sambil beranjak menghadap ke sudut kiri ruangan empat kali empat berdinding papan itu.

Di sana menumpuk tak tertata ewang dedang yang tidak pernah terpakai lagi. Nyaris dua puluh tahun lebih perlengkapan tenun songke tradisional Cibal Manggarai itu tidak tersentuh lagi. Lopo Ana sudah terlalu tua, dan Mai pun masih terlalu kecil untuk belajar menenun.

Tampak di sudut ruangan itu, sebuah janta tua patah terkulai dihimpit tiga batang pesa tanga. Seikat keliri tergeletak di kanannya, tindis menindis dengan beberapa bilah helung dan perempak. “Ende Lopo mau cerita tentang ini semua supaya Mai tau” ia menunduk sambil menunjukkan ewang dedang satu-satu.

Namun, belum juga ia memulai bercerita, air matanya tiba-tiba saja jatuh. Ujung songkenya merapat ke pipi. Mai yang membisu dalam dekapannya hanya menunggu, dengan kerutan dahinya menyembul bingung. “Mai” hanya sepatah kata itu yang sempat terucap dari mulut Lopo Ana, selebihnya air mata berderai. Mai akhirnya turut tumpahkan rasa. Mai pun menangis. Keduanya menangis.

Lopo Ana tidak kuasa lanjutkan kisah. Terlalu sulit untuk diutarakan. Rupa-rupanya, belum saatnya untuk menghadirkan kisah yang terpendam lama ke hadapan Mai. Mai masih terlalu kecil, masih terlalu dini untuk mengerti dan memahami hal-hal besar. Jika Mai mau mendengar, sudah barang tentu tidak ada rasa yang tersimpan, tidak ada kisah yang terekam.

“Nanti saja Mai, suatu saat nanti akan lopo Ana cerita”. Sambil beranjak dari setumpukan ewang dedang yang tidak tertata. “sekarang Mai pergi main dulu”. Mai pun pergi akhirnya menghilang dari balik pintu bambu. Lopo Ana terdiam beberapa saat. Ia merapatkan ikatan songkenya. Kembali duduk dan melanjutkan menggulung benang.

Purung berputar lagi. Perlahan namun pasti. Sesekali berhenti, ketika tangan tua itu mengurai benang yang hilang ujung. Namun sesungguhnya bayangnya tidak tertuju pada segenggam benang itu. Bayangnya kembali jauh menyapa waktu, ketika ia masih menjadi gadis dua puluhan tahun. Pada ketika ia dipuja karena kecantikan, tetapi senyum dan gembiranya dipenggal oleh cibiran.

Daftar Istilah

Ewang dedang: Peralatan tenun

Purung Lawe: Alat penggulung benang yang terbuat dari kayu dan bambu.

Lawe kongko: Benang yang sudah digulung dan berbentuk bulatan (bola)

Hum: Hum adalah sebuah batangan kayu yang biasanya dari bulu. Dalam perlengkatan tenun Manggarai terdapat dua buah Hum yakni Hum Songke dan Hum Ine. Hum Songke digunakan untuk membentuk motif atau warna pada tenun, sedang Hum Ine untuk merajut benang-benang hitam.

Helung: Memiliki arti dan fungsi yang sama seperti Hum. Tetapi Helung adalah sebilah kayu sebesar pensil yang panjangnya bisa satu meter (sepanjang Hum)

Songke: Arti asali adalah motif-motif tenun, namun dalam keseharian orang-orang Manggarai lebih sering untuk menyebut sarung tenun yang sudah jadi.

Janta: Alat pemintal kapas yang terbuat dari kayu.

Perempak: Sebilah kayu berbentuk datar yang digunakan untuk mengencangkan benang pada saat menenun.

Pesa tanga: Salah satu alat tenun yang digunakan untuk menggulung tenunan yang sudah jadi, fungsi lainnya adalah sebagai pengencang dan penyeimbang pada saat menenun.

Keliri: Potongan-potongan bambu sebesar pensil yang digunakan untuk menggulung benang.

Kropong: Tabung kecil yang terbuat dari bulu yang digunakan untuk mengisi benang yang sudah digulung pada keliri.

Ende Lopo: Nenek

Empo: Cucu

Molas: Anak gadis, cantik