Diogenes dan anjing-anjingnya....nggong...nggong...nggong

Hari minggu itu, selepas tengah hari, seorang laki-laki tua menarik sebuah troli kecil melintas di pinggiran jalan proklamasi. Rambutnya sudah beruban. Tapi, dari booth-nya ia masih tampak kokoh, pakaiannya memberi warna seorang petualang dan wajahnya tampak tidak peduli. Mungkin hanya dirinya sendiri sebuah pengecualian. Tapi rupa-rupanya tidak, tiba-tiba dari dalam sangkar kardus di atas troli terdengar suara mengejutkan. Seekor anjing menggonggong. Anjing hitam itu, mungkin perpanjangan diri empunya untuk mengatakan segala kehendak.

Ketika itu saya tersintak, pikiran saya melesat melayang hingga ke ribuan tahun silam. Saya terdampar di Sinope berjumpa Diogenes dan kyon-nya. Sambil melihat-lihat badan sepeda ontel yang saya kendarai, saya menuliskan tulisan ini.

***

Dalam sejarah filsafat barat Sokrates (470-399 SM) merupakan filsuf yang berpengaruh. Ajarannya yang terkenal adalah tentang pengenalan akan eudaimonia atau akan ‘yang baik’ yang bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan. Dan ini merupakan sebuah keutamaan. Meskipun Sokrates tidak mendirikan sekolah dan menciptakan mazhab, dalam perkembangan filsafat Yunani selanjutnya muncul dua kelompok yang mengaku mengikuti ajarannya. Dua kelompok tersebut adalah mazhab hedonis yang terkenal dengan ajaran hedonisme-nya, dan mazhab sinis yang terkenal dengan sinisme-nya.

Hedonisme dengan tokohnya yang terkenal Aristippos (435-355 SM) menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari ‘yang baik’ atau kebahagiaan dengan kesenangan (hedone). Maksudnya kesenangan badani dan bukan saja kesenangan rohani. Jadi anjuran untuk hidup ‘yang baik’ berkaitan rat dengan suatu kerangka pengertian rasional tentang kenikmatan baik secara emosional maupun badaniah.

Sementara itu, Sinisme beranggapan bahwa manusia memiliki keutamaan bila rela melepaskan diri dari kesenangan duniawi. Diogenes dari Sinope (412-323 SM) misalnya rela hidup di dalam gentong (kolong jembatan) untuk menunjukkan sikap radikalnya melawan kenikmatan dan kehormatan. Simbol filsafat Diogenes adalah seekor anjing, yang dalam bahasa Yunani disebut Kyon. Dari kata ‘kyon’ kemudian di-Inggriskan menjadi cynic (sinis) atau cynicism (sinisme). Jadi secara etimologi (berdasarkan asal usul katanya) anjing sama dengan sinis sama dengan kyon.

Menurut Diogenes anjing sangat tepat untuk dijadikan simbol filsafatnya, karena sangat dekat dengan hidup masyarakat sebagai hewan peliharaan. Kendati demikian keberadaan anjing bisa saja ‘menggonggong’ bahkan ‘menggigit’ siapapun. Hal yang sama dimaksudkan untuk sinismenya yang kadang tidak hanya menegur atau mengoreksi realitas, tapi bahkan lebih dari itu membongkar sebuah kemapanan.

***

Lelaki tua, petualang dengan sebuah troli sangkar anjing, seperti yang dikisahkan di atas, bisa pula merupakan ‘penjelmaan’ sinisme Diogenes. Ajarannya adalah kesaksian hidupnya yang hendak mengatakan kepada kita pentingnya ugahari. Tapi itu mungkin terlalu radikal, sehingga sinisme kadang dipandang sebagai gila.

Ada wujud sinisme yang lebih lembut dan terkesan romantik. Teman-teman mahasiswa di kampus saya dulu (STF Driyarkara) kebanyakan menggunakan sepeda ontel sebagai kendaraan utama. Boleh dibilang bahwa hanya di kampus saya saja yang masih mewariskan tradisi sehat itu. Ini juga bisa ditafsirkan sebagai simbol filsafat. Ke mana-mana sepeda ontel menjadi teman seperjalanan. Suatu ketika seluruh mahasiswa dengan sepeda ontelnya pergi membagi-bagikan sembako untuk korban banjir di Kampung Melayu dan wilayah sekitar Pedongkelan. Sepeda ontel masuk lebih jauh manyapa derita dan kesengsaraan ketimbang Avanza atau Soluna yang enggan menyentuh tanah basah. Pernah pula suatu ketika kami berkampanye hidup sehat dengan bersepeda mengelilingi kota Jakarta. Sebuah ‘sinis’ untuk realitas yang tidak ramah lingkungan, karena terjadi pencemaran di mana-mana yang dampaknya sangat serius.

Inilah filsafat, dan beginilah berfilsafat. Ketika gagasan dan seabrek argumentasi tidak mampu menghantam ketimpangan dan pembiasaannya, maka kesaksian hidup bisa hadir menyapa dengan lebih mengena. Diogenes sudah berfilsafat dengan kyion, saya mencoba dengan sepeda ontel, atau barangkali ada yang lain?