roseTerang bulan jatuh, tempias biasnya membasuh senyap malam itu. Di beranda rumahnya, dia telah menunggu. Matanya bagai purnama, menatap langkah-langkahku. Sinar matanya menjemputku. Hatiku bergetar, murkanya pasti menerjangku, tapi tiba-tiba seperti embun suara meluncur “Aku tidak marah, tetapi aku mau kamu menjelaskan mengapa kamu mengabaikanku” itu saja, lalu senyap seketika.

 Aku terpana, tersintak. Antara benar dan tidak, tetapi itulah fakta. Jarak yang terbentang jauh antara Aceh dan Jakarta telah menjadi jurang yang tak tergapai. Kisah-kisah hanya dipenuhi curiga. Cerita-cerita menjadi hambar.

 “Sayang, cinta yang gugur bisa jadi luka. Setia dicabik bisa jadi belati. Di tepi malam ini belati itu tidak memenggal putus cinta kita, kau dan aku terlalu kuat bagai sumpah” aku mendekat. Ingin aku mengecup keningnya. Tapi seriusnya menamparku. Kata-kataku pun ditampik.

 “Kamu telah melupakan sumpah, jangan belajar melupakan itu. Jika bukan sekarang kamu harus berubah, tidak ada waktu untuk berbenah. Jarum waktu tidak mengubahmu, hanya kamu yang bisa mengubah dirimu sendiri” kata menyengat menusuk rasa.

 Aku terjerembab. Lututku melepuh. Bibirku jatuh pada debu. Hampa. “Ciuman kita adalah doa. Di khayangan bidadari menari mengitari cinta yang pernah kita jalin. Sesekali mereka memandikan cinta kita. Mereka senang, serentak terbersit cemberu yang lama memendam” Matanya redup. Ia tersenyum. Lagi aku berujar “Mereka mengejar-ngejar cinta kita. Pada malam-malam panjang, mereka mengusik dengan mimpi-mimpi buruk. Mereka menodai jalinan kita dengan cemburu dan prasangka. Tapi serupa sumpah, cinta kita begitu kuat”

 Senyumnya berhenti. “Merelalah aku bertumpu di atas lepuh lutut untuk sebuah maaf. Aku mau berjaga hingga fajar cerah. Juga, berkacalah pada setiap jejak yang sudah kau perbuat, mungkin juga punya salah. Kekasihku, tidurlah. Di sini, di hatiku” kami pun bersanding.