“Aku masuk ke relung kata, mau bertemu dengan bermacam-macam arwah kata, malah harimau kata yang kujumpa. Kuasah pena, kutikam lehernya, harimauku terluka parah, penaku nyaris patah” (Harimau/2006/Joko Pinurbo)
Pengantar
Akhir Juli 2012, saya mendapat tiga buah buku bagus kiriman sahabat dari Jakarta. Buku pertama berjudul ‘Kepada Cium’, Kumpulan Puisi Joko Pinurbo (Gramedia 2007), buku kedua berjudul ‘Mengenal dan Belajar dari Pemimpin Besar’ karya Yakobus Odiyaipai Dumupa (LPP 2012) dan buku terakhir karya Pieter Sambut yang berjudul ‘Pater John Djonga, Pr, Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua’ (Yayasan Teratai Papua, 2012).
Tiga buah buku bagus itu sepintas tak berkait-ikat satu dengan yang lainnya. Masing masing menyoal tentang ‘kemasing-masingan’ ide dan gagasan. Walaupun dua buku terakhir mengisahkan tentang tokoh dan gagasan mereka, namun sebenarnya tidak saling terkait. Dumipa mengangkat tokoh dan mengedepankan gagasan sedangkan Pieter Sambut mengangkat tokohnya, lebih tepat disebut seagai sebuah biografi dengan gagasan mengendap di dalamnya.
Joko Pinurbo lain lagi. Pinurbo justru jauh lebih komprehensif. Tidak hanya tokoh dan gagasan, tetapi juga termasuk tentang yang remeh-temeh seperti ‘pantat kiri dan pantat kanan, celana dalam ungu, pun minyak tanah dan harga beras’. Namun perlu dicatat, mencerna apa kata Pinurbo, jauh lebih mudah membaca Dumupa dan Sambut. Karena cara Pinurbo meramu kata, meminjam catatan penerbit, sering membawa kita ke batas yang kabur antara yang getir dan jenaka.
Lalu pertanyaannya, megapa tiga buku bagus itu dengan sengaja disatu-tuliskan. Alasannya adalah ini: Tiga buku itu mengedepankan tentang pembebasan, kehendak diri untuk menjadi manusia bebas. Manusia yang hidup tanpa intimidasi, tanpa tekanan, sebaliknya kehendak diri yang bebas menarasikan tentang dirinya sendiri sebagai manusia merdeka dalam kehidupan.
Tentang ‘satu pesan’ di atas akan saya cairkan dalam cacatan kecil ini yang akan saya pilah pisah ke dalam tiga bagian berdasarkan judul-judul buku.
Joko Pinurbo: ‘Memerdakan Tubuh’
“Anda boleh menulis puisi, untuk atau kepada siapa saja, asal jangan lupa, menulis untuk atau kepada saya. Siapakah saya? Saya adalah kata. (Kepada Saya/2006/Joko Pinurbo)
Buku pertama adalah kumpulan tiga puluh puisi. Mayoritas puisi itu, yang terentang dari ‘Malam Isomnia’ sampai ‘Sedang Apa’ menarasikan tentang tubuh/badan dan segala sesuatu seputar tubuh/badan. Saya mengutip sekuplet dari Winternachen, 2002-nya“Menggigil adalah manghafal rute/menuju ibukota tubuhmu’’. Sekuplet lagi dari Magrib “Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh”. Dan sekuplet lagi dari Kepada Cium “Malam ini aku mau minum dari bibirmu”.
Mengapa Pinurbo suka mengutak-atik tubuh dalam kata-kata sajaknya. Lantaran saya tidak cukup pintar dalam hal ini, rupanya jawaban Ignas Kleden dalam ‘Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan’ (Freedom Institute, 2004) mungkin bisa membantu kita (saya dan anda) bahwa badan manusia bukanlah sekedar perlengkapan yang memungkinkan manusia berada di dunia dan memasuki eksistensinya, tetapi, demikian penyair kita (Joko Pinurbo), badan itu sendiri menjadi suatu dunia: suatu alam, suatu geografi, dan bahan lanskap. Suatu pandangan filosofis, yang kadang eksistensial dan kadang ontologis pula sifatnya. Demikian kata Kleden.
Sebagai sebuah miniatur dunia yang sesungguhnya, Pinurbo seperti sudah sedang mengeluarkan kita dari cara berpikir terpenggal-pilah tentang hakikat kehidupan. Bahwa sesungguhnya sebagaimana kita memandang tubuh/badan manusiawi manusia, serupa itulah kita memandang dunia yang hadir ada di hadapan kita. Kita diajak untuk membongkar tidak hanya cara berpikir dan bertindak, tetapi juga lebih jauh dari itu membongkar cara berada tubuh/badan dalam dunia dan kehidupan. Bahwa kehidupan satu dan utuh.
Pada sekuplet dari Sehabis Sakit-nya, Pinurbo melukiskan pengutuhan itu “Tubuhku pohon ranggas, yang bertunas kembali, sejak cinta yang ditulis ulang oleh tangan tersembunyi”. Kata-kata kunci dalam puisi ini: tubuh, pohon, ranggas, tunas, cinta dan tangan tersembunyi menarasikan tidak hanya tentang kesalingtergantungan kehidupan, tetapi symbol bahwa sepeerti tubuh itu hidup demikian juga pohon itu bertunas, walau keduanya sama-sama rapuh-ranggas. Namun tidak mengapa, bahwa ada Yang Maha Tinggi, ada Tuhan sebagai ‘tangan yang tersembunyi’ yang dalam dan melalui cinta memberi kehidupan.
Ringkas kisah, Pinurbo dalam dan melalui puisi-puisinya mengedepankan tantang tubuh manusia dan pun tubuh alam menyatu dalam cinta. Yang dalam dan melalui cinta itu Tuhan berkarya. Tujuannya adalah pengutuhan. Dan pengutuhan itu sendiri adalah pembebasan. Dan hakikat kehidupan sejatinya adalah pengutuhan yang membebaskan.
Dumupa: ‘Belajar dari Mereka Tentang Merdeka’
“Kisahku adalah cerita tentang semua kaum miskin Guatemala. Pengalaman pribadiku adalah kenyataan dari keseluruhan pengalaman masyarakat” (Rigoberta Menchu Tum)
Buku kedua adalah kumpulan dua belas pemimpin besar dunia, mereka adalah Gandhi, Mandela, Fidel Castro, Che Guevara, Martin Luther King, Oscar Romero, Paulo Freire, Menchu Tum, Hugo Chavez, Evo Morales, Ahmadinejab, dan Subcomandante Marcos. Dari sederetan nama besar ini kita (saya dan anda) sudah bisa menilai bahwa yang dipilih sang penulis, Dumupa, adalah pemimpin-pemimpin ‘‘pemberontak alias revolusioner’’ dan mereka adalah ‘orang-orang kiri’ dalam kadar dan kapasitasnya masing-masing.
Catatan saya, menariknya buku ini adalah karena dua hal: pertama ditulis oleh seorang Dumupa, dan kedua adalah bagaimana Dumupa memilih tokoh yang hendak ditampil-tonjolkan dalam bukunya. Seperti yang kita (saya dan anda) ketahui Dumupa adalah seorang warga Papua. Kemeleut situasi dan latar social Papua yang pelik dan selalu ‘dihantam perang’ kurang lebih mendorongnya untuk membuahkan karya ini. Sebuah karya yang meminta kita untuk bukan hanya menyudahi perselisihan, tetapi juga belajar bagaimana membangun iklim demokrastis, persaudaraan dan damai.
Sisi menarik yang kedua adalah bagaimana Dumupa memilih para tokohnya. Mayoritas tokoh yang disebut pemimpin besar itu adalah ‘orang-orang kiri’ yang dalam kapasitasnya masing-masing pernah memenangkan pergulatan revolusi. Sebut saja misalnya Che Guevara dan sahabatnya Fidel Castro, Hugo Chavez dan Evo Morales tak ketinggalan Subcomandante Marcos dan Romero. Sederetan nama-nama ini adalah ‘para pemberontak’ dari Amerika Latin. Belum lagi, Ahmadinejab yang secara terang-terangan membenci Amerika dan imperialismnya.
Dalam kadar dan kapasitas mereka masing-masing, para tokoh-tokoh besar ini telah menunjukkan jalan kepada kita semua bahwa penindasan dan penderitaan tiak akan pernah menyudahi semangat perjuangan. Sebaliknya, semakin didera sengsa, tubuh yang gontai, alam yang rapuh akan keluar menunjukkan dirinya, bukan hanya dengan senjata tetapi juga dengan gagasan. Pada saatnya memang lelah, tetapi revolusi dan semangat perjuangan tidak pernah padam. Karena hakikat kehidupan itu sendiri sejatinya adalah pengutuhan yang membebaskan. Siapa pun ia, pasti hendak akan ke sana, sekalipun diburu mesiu dan diancam senjata, pun sekalian dijemput ajal.
Perihal semangat itu, saya mengutip sepenggal dari kata-kata Ahmadinejab seperti ditulis Dumupa dalam bukunya “Perang kita sesungguhnya belum lagi dimulai bahkan jika seandainya amunisi kita telah habis, kita akan tetap membela tanah air dan revolusi kita dengan kuku-kuku dan gigi-gigi kita” (hal. 187). Sepenggal dari Marcos jauh lebih keras walau agak diplomatic “Kata adalah senjata” karena menurutnya “Kami tak mau mendapatkan solusi melalui kekerasan. Kami justru ingin menciptakan kondisi demokratis. Bagi kami, perlawanan bersenjata bukanlah satu-satunya cara”.
Sambut: “Semangat Merdeka John Djonga”
“Tuhan…Kau sudah tahu tooh….saya duduk, berdiri, berjalan, di atas lumuran darah dan serakan tulang-belulang tete-nenek leluhur bangsa ini” (Doa Anak Telanjang/Pater John Djonga, Pr)
Dan buku terakhir “Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua” menampilkan tokoh tunggal yakni seorang imam praja asal Flores Nusa Tenggara Timur yang lama melayani ummat/jemaat di tanah Papua, yakni Pastor John Djonga, Pr. Beliau menurut Muridan S. Widjojo, penelitisi senior bidang Politik LIPI dalam kata pengantar menamai Pastor Djonga sebagai pastor ‘Ipoleksosbudhankam” bagi masyarakat yang dilayaninya.
Disebut Pastor ‘Ipoleksosbudhankam’ lantaran “tidak hanya yang beragama katolik atau Papua saja yang dilayaninya. Tidak hanya kerabatnya yang dari Flores saja. Tidak hanya urusan pastoral dan gerejawi saja. Tetapi apa saja dan siapa saja yang masuk dalam radar perhatian dan kekuatannya. Dia urus semua aspek dalam masyarakat yang sedang dilayaninya: mulai dari ideology, politik, social budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Dia adalah seorang pater multidimensional” demikian kata Muridan.
Perihal itu kita (saya dan anda) dapat merunut dalam tiga puluh tiga (33) kisah yang dirangkul dalam enam bagian utama, yang ditampil-tonjolkan Sambut mulai dari ketika Djonga kecil, remaja sampai pada ketika Djonga menjadi seorang pastor yang berani terlibat dan melibatkan diri dalam pelayanannya sebagai gembala Tuhan dalam medan ‘bara’.
Jejak langkah Djonga dikisahkan secara gamblang sebagai sosok yang konsisten dan telaten dalam mempertahankan visi dan misi pribadi. Dalam dan melalui kisah-kisah yang ditampilkan itu, kita menemukan bukan hanya metode dan gaya pelayanan seorang Djonga yang terlibat dan melibatkan diri tetapi juga bagaimana kompleksitas soal dan masalah Papua dihadapinya dengan ‘santai’ dan ‘riang’. Sampai-sampai kita menjadi percaya dan yakin bahwa dalam dan melalui Djonga kita menemukan medan pelayanan seorang imam Tuhan yang sesungguhnya. Sebuah sakramen kehidupan yang hadir dan ada, yang nyata.
Sebagai sakramen kehidupan, John Djonga dalam dan melalui karya-karya-nya pendarkan visi pembebasan dan pemerdekaan. Pembebasan dan pemerdekaan yang dimaksud bukan lepas bebas dan merdeka menjadi sebuah negara papua otonom, tetapi pertama dan utama adalah merdeka untuk menjadi diri sendiri, bebas untuk menunjukkan identitas diri sebagai warga Papua. Lantaran itu, negara Republik Indonesia harus memberi ruang untuk proses pembebasan itu. Setiap elemen masyarakat yang bertikai harus urungkan waktu dalam persteruan yang panjang.
Sekuplet dari Doa Anak Telanjang, syair satir Djonga di bawah ini rupa-rupanya tepat untuk melukiskan bagaimana nestapa-sengsaranya warga Papua, yang dalam ke-nestapa-sengsara-an itu berharap berharap dalam doa.
“Tuhan sumber dan tujuan hidup kami……Kini anak telanjang duduk seorang diri, kayu perahu sudah ditebang, dusun sagu telah dibabat jadi lokasi transmigrasi dan kelapa sawit, burung kuning sudah mulai punah. Laut, sungai kini telah tercemar. Rahim bumi kami dikuras demi segelintir orang rakus. Tanah adat kami dicaplok oleh pemerintah, militer, pedagang, pengusaha, gereja dan barisan panjag amber-amber dorang”
Dalam sajak satir-nya Djonga bukan hanya mau memberontak terhadap situasi yang sedang dihadapi, tetapi juga berharap bukan hanya kepada sesama manusia (Indonesia) tetapi juga kepada Tuhan untuk mendengar kemudian memberikan perubahan “Tuhan apakah mereka juga anak-anak-Mu” sebuah pertanyaan retorik yang mengedap sinis pedas. Sampai-sampai Tuhan pun tetaskan air mata.
Namun sayang, sebagai sesama manusia, kita tidak pernah sadar bahwa pembebasan manusiawi manusia adalah hakikat dari segala perubahan. Manusia yang merdeka dan bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan, intimidasi dan apalagi diskriminasi akan menjadi manusia yang utuh dalam kehidupan. Dan tujuan akan itulah yang sementara ini sudah sedang diperjuangkan oleh seorang John Djonga, yang oleh Muridan disebut sebagai seorang amber (pendatang) teladan bagi Papua.
Penutup
Menutup catatan ‘sembarang’ ini saya mengutip sekuplet dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita? Dalam sajaknya Pinurbo sendiri menjawab “Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkeraman luka”. Tak harus ditafsirkan lebih lanjut, karena kita (saya dan anda) semua tahu bahwa. Perjuangan demi pengutuhan yang membebaskan adalah sebuah proses yang panjang dan menyakitkan. Tidak sedikit kita tewas dalam peristiwa, tewas dalam pandangan dan gagasan, pun tewas yang sesungguhnya dalam linangan air mata dan darah. Namun perihal itu, kita harus tempuh-lalui, jika tidak, perjuangan kita tidak akan pernah berhasil. Sebab sejatinya hakikat kehidupan adalah sebuah proses perjuangan, menjadi diri sendiri, menjadi tubuh yang bebas dan badan yang merdeka (Pinurbo) pun juga membebaskan sesama manusia, alam dan keutuhannya dengan Tuhan (Dumupa dan Sambut). Merdeka………!!!!
-8.657382
121.079370
Bagikan artikel di atas melalui: