Posts from the ‘Jejak Resensi’ Category

MULTATULI, Menggugat Diam Kaum Borjuasi

 multatuli

Ketika ‘Pena lebih tajam daripada pedang’

Voltaire. Pujangga besar Perancis, suatu ketika pernah melepas sekuplet catatan, bahwa ‘pena lebih tajam dari pedang’. Catatan itu bukan tanpa latar. Itu adalah quotasi, sebuah salakan yang persis menyasar jantung hegemoni Dinasti Bourbon yang menguasai Perancis penuh angkuh dan loba. Cengkaraman ancienne regime, yang dikomando Bourbon terperanjat. Adakah tembok yang lebih tebal untuk menghalau kata? jawabannya tidak. Kedigdayaan kaum borjuasi Perancis pun ambruk.

Perancis masih hanya satu contoh. Sederet fakta lain dapat disebutkan di sini. Comandante di Amerika Latin, memborbardir rezim otoriter dengan puisi dan cerpen. Pramoedya Anata Toer mengoyak-ngoyak Pemerintahan Kolonial dan Orde Baru dengan roman-roman kemanusiaannya. Menyusul di jagat kata kita  Seno Gumira Adjidarma yang menggugat kepongahan Orde Baru dengan sastra ketika reportasenya dibungkam.

‘Pena lebih tajam dari pedang’? dengan demikian tak kuasa disangkal oleh siapa pun. Bahkan telah hadir menjadi senjata paling mematikan. Mampu merangsek kemudian menebas ketangguhan arogansi kekuasaan. Untuk mengangkat fakta perihal itu, walau tidak sama persis, saya memulai catatan ini dengan menghadirkan seorang Max Havelaar karya Multatuli sebagai catatan mula-mula di awal seri menulis untuk perubahan ini.

***

Max Havelaar adalah sebuah novel karya Multatuli (nama pena yang digunakan penulis Belanda Eduard Douwes Dekker. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru. Roman ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli “Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij” (bahasa Indonesia: “Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda”)

Roman ini hanya ditulis oleh Multatuli dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya. Karya monumental yang dihadirkan Multatuli adalah sebuah kritik atas praktek tanam paksa yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Hadirnya Multatuli ternyata mampu membuka kesadaran para borjuasi Eropa (terutama Belanda), bahwa kekayaan dan kemakmuran yang dinikmati selama ratusan tahun merupakan hasil dari darah dan keringat yang diperas di negara jajahan, yakni Indonesia.

Buku tersebut tidak hanya menggugat diam kaum borjuasi, tetapi juga mampu menginspirasi para politisi Belanda untuk menggulirkan pendidikan di Indonesia, supaya lulusan institusi pendidikan tersebut dapat menjadi pegawai kolonial, namun sayangnya para pegawai tersebut digaji secara murah. Ada hal yang dilakukan pihak kolonial dengan politik etisnya ini, misalnya, lulusan STOVIA (Sekolah kedokteran Jawa), dilarang praktek kedokteran di Belanda, hanya boleh di Indonesia.

Namun, ironisnya, akses pendidikan tersebut justru dimanfaatkan oleh bapak bangsa kita, diantaranya Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dan lainnya, sebagai bekal intelektual untuk melawan imperialisme Belanda. Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 adalah merupakan hasil politik etis, yang menjadi bumerang bagi pihak kolonial.

Menariknya lagi, buku tersebut, juga menginspirasi gerakan dekolonialisasi di tempat lain, misalnya di Afrika. Menurut Pramoedya Ananta Toer, Max Havelaar adalah buku yang berhasil menghancurkan politik etis, dimana dilakukan semacam ‘balas jasa’ terhadap Indonesia, atas penjajahan yang mereka lalukan selama ini. Balas jasa tersebut, diantaranya adalah akses terhadap pendidikan.

Sebenarnya, balas jasa tersebut bukannya tanpa reserve. Belanda menyediakan akses Buku ‘Max Havelaar’ karangan Multatuli sebagai salah satu karya klasik dalam kesusastraan Indonesia. Semenjak HB Jassin menterjemahkannya dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia, karya tersebut menjadi salah satu  bacaan wajib pada masa kolonial di sekolah-sekolah yang dipayungi Belanda.

***

Demikianlah kata. Kita masih punya sempat untuk menderet fakta perihal kedigdayaan kata. Sekali lagi, Multatuli dengan Max Havelaar-nya baru satu penulis dari sekian banyak penulis yang karena karyanya mampu mengubah dunia. Walau dunia yang dimaksud tidak lebih luas dari Indonesia dan Afrika.

Namun demikian kita perlu belajar dari dari seorang Multatuli. Kita tidak hanya belajar bagaimana melihat soal dan problem sosial secara terang, tetapi berani melakukan outo-kritik terhadap orang dan tanah kelahirannya sendiri. Dan menjadi lebih mencengangkan, Multatuli melakukan itu dalam dan melalui kata.

Goresan penanya mampu membelah kesadaran kaum borjuasi dan pemerintahan kolononial untuk ‘berbaik hati’, padahal ratusan tahun pejuang kita melakukan hal yang sama secara berulang dengan pedang dan bambu runcing. Mengapa tak juga mempan? jawabannya adalah karena pena jauh lebih tajam dari pedang. Begitu bung! (Kris da Somerpes)

Tiga Buku Satu Pesan : MERDEKA

“Aku masuk ke relung kata, mau bertemu dengan bermacam-macam arwah kata, malah harimau kata yang kujumpa. Kuasah pena, kutikam lehernya, harimauku terluka parah, penaku nyaris patah” (Harimau/2006/Joko Pinurbo)

Pengantar

Akhir Juli 2012, saya mendapat tiga buah buku bagus kiriman sahabat dari Jakarta. Buku pertama berjudul ‘Kepada Cium’, Kumpulan Puisi Joko Pinurbo (Gramedia 2007), buku kedua berjudul ‘Mengenal dan Belajar dari Pemimpin Besar’ karya Yakobus Odiyaipai Dumupa (LPP 2012) dan buku terakhir karya Pieter Sambut yang berjudul  ‘Pater John Djonga, Pr,  Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua’ (Yayasan Teratai Papua, 2012).

Tiga buah buku bagus itu sepintas tak berkait-ikat satu dengan yang lainnya. Masing masing menyoal tentang ‘kemasing-masingan’ ide dan gagasan. Walaupun dua buku terakhir mengisahkan tentang tokoh dan gagasan mereka, namun sebenarnya tidak saling terkait. Dumipa mengangkat tokoh dan mengedepankan gagasan sedangkan Pieter Sambut mengangkat tokohnya, lebih tepat disebut seagai sebuah biografi dengan gagasan mengendap di dalamnya.

Joko Pinurbo lain lagi. Pinurbo justru jauh lebih komprehensif. Tidak hanya tokoh dan gagasan, tetapi juga termasuk tentang yang remeh-temeh seperti ‘pantat kiri dan pantat kanan, celana dalam ungu, pun minyak tanah dan harga beras’. Namun perlu dicatat, mencerna apa kata Pinurbo, jauh lebih mudah membaca Dumupa dan Sambut. Karena cara Pinurbo meramu kata, meminjam catatan penerbit, sering membawa kita ke batas yang kabur antara yang getir dan jenaka.

Lalu pertanyaannya, megapa tiga buku bagus itu dengan sengaja disatu-tuliskan. Alasannya adalah ini: Tiga buku itu mengedepankan tentang pembebasan, kehendak diri untuk menjadi manusia bebas. Manusia yang hidup tanpa intimidasi, tanpa tekanan, sebaliknya kehendak diri yang bebas menarasikan tentang dirinya sendiri sebagai manusia merdeka dalam kehidupan.

Tentang ‘satu pesan’ di atas akan saya cairkan dalam cacatan kecil ini yang akan saya pilah pisah ke dalam tiga bagian berdasarkan judul-judul buku.

Joko Pinurbo: ‘Memerdakan Tubuh’

“Anda boleh menulis puisi, untuk atau kepada siapa saja, asal jangan lupa, menulis untuk atau kepada saya. Siapakah saya? Saya adalah kata. (Kepada Saya/2006/Joko Pinurbo)

Buku pertama adalah kumpulan tiga puluh puisi. Mayoritas puisi itu, yang terentang dari ‘Malam Isomnia’ sampai ‘Sedang Apa’ menarasikan tentang tubuh/badan dan segala sesuatu seputar tubuh/badan. Saya mengutip sekuplet dari Winternachen, 2002-nya“Menggigil adalah manghafal rute/menuju ibukota tubuhmu’’.  Sekuplet lagi dari Magrib “Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh”. Dan sekuplet lagi dari Kepada Cium “Malam ini aku mau minum dari bibirmu”.

Mengapa Pinurbo suka mengutak-atik tubuh dalam kata-kata sajaknya. Lantaran saya tidak cukup pintar dalam hal ini, rupanya jawaban Ignas Kleden dalam ‘Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan’ (Freedom Institute, 2004) mungkin bisa membantu kita (saya dan anda) bahwa badan manusia bukanlah sekedar perlengkapan yang memungkinkan manusia berada di dunia dan memasuki eksistensinya, tetapi, demikian penyair kita (Joko Pinurbo), badan itu sendiri menjadi suatu dunia: suatu alam, suatu geografi, dan bahan lanskap. Suatu pandangan filosofis, yang kadang eksistensial dan kadang ontologis pula sifatnya. Demikian kata Kleden.

Sebagai sebuah miniatur dunia yang sesungguhnya, Pinurbo seperti sudah sedang mengeluarkan kita dari cara berpikir terpenggal-pilah tentang hakikat kehidupan. Bahwa sesungguhnya sebagaimana kita memandang tubuh/badan manusiawi manusia, serupa itulah kita memandang dunia yang hadir ada di hadapan kita. Kita diajak untuk membongkar tidak hanya cara berpikir dan bertindak, tetapi juga lebih jauh dari itu membongkar cara berada tubuh/badan dalam dunia dan kehidupan. Bahwa kehidupan satu dan utuh.

Pada sekuplet dari Sehabis Sakit-nya, Pinurbo melukiskan pengutuhan itu “Tubuhku pohon ranggas, yang bertunas kembali, sejak cinta yang ditulis ulang oleh tangan tersembunyi”. Kata-kata kunci dalam puisi ini: tubuh, pohon, ranggas, tunas, cinta dan tangan tersembunyi menarasikan tidak hanya tentang kesalingtergantungan kehidupan, tetapi symbol bahwa sepeerti tubuh itu hidup demikian juga pohon itu bertunas, walau keduanya sama-sama rapuh-ranggas. Namun tidak mengapa, bahwa ada Yang Maha Tinggi, ada Tuhan sebagai ‘tangan yang tersembunyi’ yang dalam dan melalui cinta memberi kehidupan.

Ringkas kisah, Pinurbo dalam dan melalui puisi-puisinya mengedepankan tantang tubuh manusia dan pun tubuh alam menyatu dalam cinta. Yang dalam dan melalui cinta itu Tuhan berkarya. Tujuannya adalah pengutuhan. Dan pengutuhan itu sendiri adalah pembebasan. Dan hakikat kehidupan sejatinya adalah pengutuhan yang membebaskan.

Dumupa: ‘Belajar dari Mereka Tentang Merdeka’

“Kisahku adalah cerita tentang semua kaum miskin Guatemala. Pengalaman pribadiku adalah kenyataan dari keseluruhan pengalaman masyarakat” (Rigoberta Menchu Tum)

Buku kedua adalah kumpulan dua belas pemimpin besar dunia, mereka adalah Gandhi, Mandela, Fidel Castro, Che Guevara, Martin Luther King, Oscar Romero, Paulo Freire, Menchu Tum, Hugo Chavez, Evo Morales, Ahmadinejab, dan Subcomandante Marcos. Dari sederetan nama besar ini kita (saya dan anda) sudah bisa menilai bahwa yang dipilih sang penulis, Dumupa, adalah pemimpin-pemimpin ‘‘pemberontak alias revolusioner’’ dan mereka adalah ‘orang-orang kiri’ dalam kadar dan kapasitasnya masing-masing.

Catatan saya, menariknya buku ini adalah karena dua hal: pertama ditulis oleh seorang Dumupa, dan kedua adalah bagaimana Dumupa memilih tokoh yang hendak ditampil-tonjolkan dalam bukunya. Seperti yang kita (saya dan anda) ketahui Dumupa adalah seorang warga Papua. Kemeleut situasi dan latar social Papua yang pelik dan selalu ‘dihantam perang’ kurang lebih mendorongnya untuk membuahkan karya ini. Sebuah karya yang meminta kita untuk bukan hanya menyudahi perselisihan, tetapi juga belajar bagaimana membangun iklim demokrastis, persaudaraan dan damai.

Sisi menarik yang kedua adalah bagaimana Dumupa memilih para tokohnya. Mayoritas tokoh yang disebut pemimpin besar itu adalah ‘orang-orang kiri’ yang dalam kapasitasnya masing-masing pernah memenangkan pergulatan revolusi. Sebut saja misalnya Che Guevara dan sahabatnya Fidel Castro, Hugo Chavez dan Evo Morales tak ketinggalan Subcomandante Marcos dan Romero. Sederetan nama-nama ini adalah ‘para pemberontak’ dari Amerika Latin. Belum lagi, Ahmadinejab yang secara terang-terangan membenci Amerika dan imperialismnya.

Dalam kadar dan kapasitas mereka masing-masing, para tokoh-tokoh besar ini telah menunjukkan jalan kepada kita semua bahwa penindasan dan penderitaan tiak akan pernah menyudahi semangat perjuangan. Sebaliknya, semakin didera sengsa, tubuh yang gontai, alam yang rapuh akan keluar menunjukkan dirinya, bukan hanya dengan senjata tetapi juga dengan gagasan. Pada saatnya memang lelah, tetapi revolusi dan semangat perjuangan tidak pernah padam. Karena hakikat kehidupan itu sendiri sejatinya adalah pengutuhan yang membebaskan. Siapa pun ia, pasti hendak akan ke sana, sekalipun diburu mesiu dan diancam senjata, pun sekalian dijemput ajal.

Perihal semangat itu, saya mengutip sepenggal dari kata-kata Ahmadinejab seperti ditulis Dumupa dalam bukunya “Perang kita sesungguhnya belum lagi dimulai bahkan jika seandainya amunisi kita telah habis, kita akan tetap membela tanah air dan revolusi kita dengan kuku-kuku dan gigi-gigi kita” (hal. 187). Sepenggal dari Marcos jauh lebih keras walau agak diplomatic “Kata adalah senjata” karena menurutnya “Kami tak mau mendapatkan solusi melalui kekerasan. Kami justru ingin menciptakan kondisi demokratis. Bagi kami, perlawanan bersenjata bukanlah satu-satunya cara”.

Sambut: “Semangat Merdeka John Djonga”

“Tuhan…Kau sudah tahu tooh….saya duduk, berdiri, berjalan, di atas lumuran darah dan serakan tulang-belulang tete-nenek leluhur bangsa ini” (Doa Anak Telanjang/Pater John Djonga, Pr)

Dan buku terakhir “Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua” menampilkan tokoh tunggal yakni seorang imam praja asal Flores Nusa Tenggara Timur yang lama melayani ummat/jemaat di tanah Papua, yakni Pastor John Djonga, Pr. Beliau menurut Muridan S. Widjojo, penelitisi senior bidang Politik LIPI dalam kata pengantar menamai Pastor Djonga sebagai pastor ‘Ipoleksosbudhankam” bagi masyarakat yang dilayaninya.

Disebut Pastor ‘Ipoleksosbudhankam’ lantaran “tidak hanya yang beragama katolik atau Papua saja yang dilayaninya. Tidak hanya kerabatnya yang dari Flores saja. Tidak hanya urusan pastoral dan gerejawi saja. Tetapi apa saja dan siapa saja yang masuk dalam radar perhatian dan kekuatannya. Dia urus semua aspek dalam masyarakat yang sedang dilayaninya: mulai dari ideology, politik, social budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Dia adalah seorang pater multidimensional” demikian kata Muridan.

Perihal itu kita (saya dan anda) dapat merunut dalam tiga puluh tiga (33) kisah yang dirangkul dalam enam bagian utama, yang ditampil-tonjolkan Sambut mulai dari ketika Djonga kecil, remaja sampai pada ketika Djonga menjadi seorang pastor yang berani terlibat dan melibatkan diri dalam pelayanannya sebagai gembala Tuhan dalam medan ‘bara’.

Jejak langkah Djonga dikisahkan secara gamblang sebagai sosok yang konsisten dan telaten dalam mempertahankan visi dan misi pribadi. Dalam dan melalui kisah-kisah yang ditampilkan itu, kita menemukan bukan hanya metode dan gaya pelayanan seorang Djonga yang terlibat dan melibatkan diri tetapi juga bagaimana kompleksitas soal dan masalah Papua dihadapinya dengan ‘santai’ dan ‘riang’. Sampai-sampai kita menjadi percaya dan yakin bahwa dalam dan melalui Djonga kita menemukan medan pelayanan seorang imam Tuhan yang sesungguhnya. Sebuah sakramen kehidupan yang hadir dan ada, yang nyata.

Sebagai sakramen kehidupan, John Djonga dalam dan melalui karya-karya-nya pendarkan visi pembebasan dan pemerdekaan. Pembebasan dan pemerdekaan yang dimaksud bukan lepas bebas dan merdeka menjadi sebuah negara papua otonom, tetapi pertama dan utama adalah merdeka untuk menjadi diri sendiri, bebas untuk menunjukkan identitas diri sebagai warga Papua. Lantaran itu, negara Republik Indonesia harus memberi ruang untuk proses pembebasan itu. Setiap elemen masyarakat yang bertikai harus urungkan waktu dalam persteruan yang panjang.

Sekuplet dari Doa Anak Telanjang, syair satir Djonga di bawah ini rupa-rupanya tepat untuk melukiskan bagaimana nestapa-sengsaranya warga Papua, yang dalam ke-nestapa-sengsara-an itu berharap berharap dalam doa.

“Tuhan sumber dan tujuan hidup kami……Kini anak telanjang duduk seorang diri, kayu perahu sudah ditebang, dusun sagu telah dibabat jadi lokasi transmigrasi dan kelapa sawit, burung kuning sudah mulai punah. Laut, sungai kini telah tercemar. Rahim bumi kami dikuras demi segelintir orang rakus. Tanah adat kami dicaplok oleh pemerintah, militer, pedagang, pengusaha, gereja dan barisan panjag amber-amber dorang”

Dalam sajak satir-nya Djonga bukan hanya mau memberontak terhadap situasi yang sedang dihadapi, tetapi juga berharap bukan hanya kepada sesama manusia (Indonesia) tetapi juga kepada Tuhan untuk mendengar kemudian memberikan perubahan “Tuhan apakah mereka juga anak-anak-Mu” sebuah pertanyaan retorik yang mengedap sinis pedas. Sampai-sampai Tuhan pun tetaskan air mata.

Namun sayang, sebagai sesama manusia, kita tidak pernah sadar bahwa pembebasan manusiawi manusia adalah hakikat dari segala perubahan. Manusia yang merdeka dan bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan, intimidasi dan apalagi diskriminasi akan menjadi manusia yang utuh dalam kehidupan. Dan tujuan akan itulah yang sementara ini sudah sedang diperjuangkan oleh seorang John Djonga, yang oleh Muridan disebut sebagai seorang amber (pendatang) teladan bagi Papua.

Penutup

Menutup catatan ‘sembarang’ ini saya mengutip sekuplet dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita? Dalam sajaknya Pinurbo sendiri menjawab “Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkeraman luka”. Tak harus ditafsirkan lebih lanjut, karena kita (saya dan anda) semua tahu bahwa. Perjuangan demi pengutuhan yang membebaskan adalah sebuah proses yang panjang dan menyakitkan. Tidak sedikit kita tewas dalam peristiwa, tewas dalam pandangan dan gagasan, pun tewas yang sesungguhnya dalam linangan air mata dan darah. Namun perihal itu, kita harus tempuh-lalui, jika tidak, perjuangan kita tidak akan pernah berhasil. Sebab sejatinya hakikat kehidupan adalah sebuah proses perjuangan, menjadi diri sendiri, menjadi tubuh yang bebas dan badan yang merdeka (Pinurbo) pun juga membebaskan sesama manusia, alam dan keutuhannya dengan Tuhan (Dumupa dan Sambut). Merdeka………!!!!

Kisah Dari Sudut Kamar (2), Bersama 4 dari 18 Perempuan Aceh

Semuanya berjilbab, anggun dan cantik. Delapan belas perempuan Aceh itu duduk berapat-rapat, mereka melepas kata tentang orang-orang, situasi-situasi, tempat-tempat, hasrat-hasrat, kehendak, kematian dan Tuhan. Di antara mereka, di sudut kamar itu, aku hadir mencoba menjadi seorang pendengar (red. Pembaca). Namun sebelumnya, aku bertanya sambil meminta izin, ‘’Boleh bergabung, mendengarkan semua kisah-kisah itu. Sebab aku ingin mengenal tempat-tempat di Aceh dari mulut perempuan?” pintaku. Seorang dari  delapan belas perempuan itu menjawab “Lampion ini cukup untuk menerangi kita semua, termasuk Cutbang”

“Di balik bola matamu yang bergerak sambil berlari//tersimpan sejemput asa dan kata bermakna//walau tak pernah kau ucapkan kalimat cinta//namun, kutahu akulah yang kau cari dan damba// di balik sinar wajahmu yang keputihan//pancaran gelombang magnet menembus sanubariku//Hati, jiwa sampai ke perasaan terdalam// semoga kau tahu Cutbang…bahwa cintaku padamu//ada pancaran cinta ilahi” sambung Cut Januarita, salah seorang dari mereka.

Seperti berbalas sajak, aku menyambung “Bukan cintamu membawaku kemari// Pun bukan rindu yang mengantarku ke sini//tetapi nyala Lampion yang kau sulut//walau redup katamu//sungguh membuatku ingin tahu”

Mendengar itu, tidak hanya aku, kami semua tertawa. Kemudian kami larut dalam kata. Kata-kata tentang tempat-tempat dan situasinya. Tentang itu dari delapan belas perempuan Aceh itu punya kisah. Kisah yang menyentuh rasa, berkenang, menyisahkan rindu, pun tak luput meresahkan, menyakitkan dan trauma.

Adalah Siti Aisyah, perempuan kelahiran Meulaboh Aceh Barat yang mengawali kata-kata itu. Kepadaku, perempuan yang juga turut menjadi korban tsunami, 26 Desember 2004 ini memperkenalkan tentang kesan dan pesan dari tempat dan situasi di Aceh Barat dan Selatan.

Tentang Lhok Geudong, Siti Aisyah menuturkan tentang hasrat untuk kembali, tentang rindu. Tentang Pantai Ujung Karang Meulaboh, perempuan kelahiran 20 Desember 1972 itu melukiskan tentang keindahan senja. Tentang Lamainong, perempuan yang punya nama kecil Tessa ini mengishkan tentang cinta anak perawan, dan tentang Beutong Nagan Raya, perempuan yang suka bersyair ini menuturkan tentang air mata. Katanya tentang Beutong “Di antara gelutan angin gunung//kau masih bisa tersenyum//luka yang menganga//beutongku resah//betongku susah”

Siti Aisyah adalah satu dari delapan belas perempuan Aceh yang mengisahkan tentang tempat-tempat di Aceh sebelum tsunami melanda Nanggroe Aceh Darusallam. Sementara itu, pasca-tsunami dua perempuan lain, yakni Rosni Idham dan Hayati melukiskan itu dengan menarik. Rosni Idham, perempuan kelahiran Sawang Manee Nagan Raya, melukiskan Meulaboh yang luluh lantak akibat tsunami. Katanya “Kita pernah berbaring di bibirnya….kita pernah rebah di dadanya…kita pernah larut dalam dekapnya…kita pernah menangis di pucuk gelombangnya…kita pernah meraung dalam gelombang ganas menggulung….laut adalah kita//adalah guru yang memberi pelajaran berharga”

Selanjutnya Hayati, merindu keindahan dan keramaian Pantai Lhong kembali “jelang jelajah di hari selasa//menohok kabut temaram rasa//berliku jalan meliuk-liuk//kerap terlihat alammu tersenyum//Alhamdulillah…indahnya//jika tiada sentuhan duka//sempurna karunia//merambah alam pantai Lhong”

Hendak kudengar banyak kisah tentang tempat-tempat berkenang dari mulut delapan belas perumpuan itu. Tetapi, di sudut kamar itu, waktuku rupa-rupanya tidak cukup. Aku terlalu larut dalam kenangan dan kesedihan. Kata-kata mereka serupa nyala lampion, teduh dan merasa.

Menutup kisah tentang tempat-tempat, satu dari antara mereka, Wina Swi, mengantarkanku pergi dengan ‘Lampion’, tuturnya lembut “menyala ia sebelum sadar//menyentuhku//aku terbakar gelap//kertas-kertas jingga//batas nyala dan redup//mengasaplah aku//di antara pemuja kehilangan Tuhannya”. Sejenak aku berpaling, kemudian pergi. Kecantikan mereka, jilbab-jilbab jingganya, kata-katanya, membekas dalam kenangku.

Catatan:

  • Catatan kecil ini adalah dialog imajiner penulis dengan para puisi penyair perempuan Aceh.
  • Delapan belas perempuan yang dimaksud dalam catatan kecil di atas adalah penyair-penyair perempuan Aceh yang terekam dalam buku kumpulan puisi mereka, yang di-kumpul-edit oleh Sulaiman Tripa. Oleh sang editor kumpulan puisi itu diberi judul ‘Lampion’ (Lapena, 2007). Kutiban-kutiban Sajak di atas dikutib dari buku yang sama.
  • Kedelapan belas penyair perempuan Aceh tersebut adalah adalah Armiati Langsa, Cut Januarita, Debra H. Yatim, Diana Roswota, Dhe’na, D. Kemalawati, Ernita Kahar, Faridha, Faridah Roni, Hayati, Rosni Idham, Rianda, Rita Dahlia, Siti Aisyah, Sitti Zainom Ismail, Ulis Zuska, Wina Swl, Yanimar W. Yusuf, Yenni Agustina

Sayu Sang Perawan

Sayu adalah putri pasangan suami istri Haji Sahak dan Nyai Hajjah Andun. Dia adalah gadis yang cantik, sebagaimana gadis-gadis Pagar Alam yang lainnya. Kulitnya pun bening sebagimana kulit gadis-gadis minang pada umumnya. Namun, di tangan Medasing senyumnya luluh, bathinnya terluka. Medasing tidak hanya terkenal sebagai perampok-penyamun yang bengal, tetapi juga seorang pembunuh yang kejam. Di tangan Medasing, kedua orang tua Sayu, Haji Sahak dan Nyai Hajjah Andun tewas. Di tangan Medasing pula-lah Sayu sang perawan hidup dalam awas yang panjang.

Hingga tiba suatu saat, Medasing terantuk petaka, tubuhnya terluka setelah gagal menjagal rombongan saudagar. Tidak ada seorang pun yang sanggup merawat tubuh sang bengal. Puluhan pengikutnya sendiri pun ciut. Menyentuh tubuh Medasing berarti memberi kepala secara gratis untuk disembelih. Namun tidak bagi Sayu sang perawan terculik. Walau masih dalam situasi awas dan kecut yang mencekam dia memberanikan diri menjatuhkan pilihan. Dia memilih untuk menolong Medasing walau disakiti, ketimbang harus membencinya karena dilukai. Sungguh sebuah pilihan moral yang terpuji.

Sudah sejak itu, jarak antara keduanya didekatkan oleh perjumpaan yang berulang karena rasa. Perjumpaan antara sang penyamun dan sang perawan yang lazimnya menerkam dan mengelak, justru berubah menjadi memberi dan menerima. Sebuah perjumpaan yang bagi saya sungguh berada di luar batas akal, tetapi ternyata menjadi mungkin dan bahkan membersitkan makna yang mendalam. Bahwa sesungguhnya tidak semua penjahat seperti Medasing itu pada dasarnya jahat, dan tidak semua orang orang takut-kecut-ciut-lemah seperti Sayu itu berparsah.

Karena perjumpaan itulah cara pandang dan penilaian antara keduanya menjadi berubah. Medasing sesungguhnya adalah sosok yang baik di mata Sayu, yang terlalu sayang untuk ditinggal mati. Demikian juga sebaliknya di mata Medasing, Sayu adalah rahmat, yang terlalu sayang untuk dinodai. Sampai tiba suatu ketika, Medasing akhirnya menjadi Haji Karim yang baik hati, yang mempersunting seorang Sayu ‘sang perawan tertawan’ sebagai istri. Keduanya hidup bahagia dan damai dalam lingkungan yang juga bahagia dan damai.

Ketika pertama kali saya membaca novel ini di Sekolah Menengah Pertama (SMP), jujur saja, saya tertawa geli. Sayu yang yang cantik dan perawan mengapa dibiarkan utuh-sempurna oleh seorang Medasing yang Bengal dan kejam?

Demikianlah ringkasan novel ‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’ karya salah satu sastrawan terbaik Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana (lahir di Natal Sumetera Utara 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta 17 Juli 1994, pada umur 86 tahun) yang bagi saya sangat menggugah jiwa. Mengapa tidak? Jawaban tentang ini sesungguhnya elok-beragam, tetapi saya cukup diri menyebutkan satu hal yang membuat siapa pun termasuk saya nyaris tidak percaya dengan apa yang sudah dikemas-sampaikan Alisyahbana.

Satu hal yang mengejutkan itu adalah tentang tokoh Sayu. Pertama adalah tentang Sayu yang tetap perawan di sarang Medasing sang penyamun, dan kedua adalah juga tentang Sayu yang mau merawat Medasing. Pertama, Ketika pertama kali saya membaca novel ini di Sekolah Menengah Pertama (SMP), jujur saja, saya tertawa geli. Sayu yang yang cantik dan perawan mengapa dibiarkan utuh-sempurna oleh seorang Medasing yang Bengal dan kejam? Lantaran pertanyaan nakal ini, sampai-sampai dengan polos saya mencoba menduga dua hal, pertama, Medasing adalah penjahat yang banci-impoten dan kedua, dia adalah seorang yang sangat profesional yang fokus pada tujuannya yakni merampok harta material dan membunuh, bukan yang lain seperti halnya memperkosa.

Namun dugaan itu dipatahkan dalam sekejap setelah saya mencoba untuk mendalami pada masa dan juga latar belakang mana novel ini diterbitkan. ‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’-nya Alihsyahbana muncul pada Era Pujangga Baru dimana semua karya sastranya sangat mengedepankan sastra yang intelektual, nasionalistik dan elitis. Sastrawan-sastrawan terkenal pada masa itu, selain Alisyahbana sendiri ada pula Amir Hamzah, Armijn Pane, Sanusi Pane dan Rustam Efendi. Pada masa itu terdapat dua kelompok aliran yakni aliran “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dan aliran “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’ sesungguhnya mengusung visi seni untuk pembangunan masyarakat, dimana moralitas, identitas budaya serta tindakan baik dikedepankan. Tokoh Sayu dan juga Medasing yang ditampilkan Alisyahbana sebenarnya mau mengemukakan alasan tersebut. Bahwa moralitas, lebih tepat disebut kebaikan akan keluar sebagai pemenang di tengah kecamuk kejahatan dan situasi kekejaman. Sayu sang perawan yang tetap perawan sekalipun di sarang penyamun dan Sayu yang mau memilih membantu-menolong orang yang menyakitinya, serta selanjutnya pertobatan Medasing yang menjadi seorang Haji Karim yang derwmawan adalah bentuk kekuatan moralitas itu.

Man Jadda Wa Jada

Tahukah Anda, jika kita memandang diri kita kecil, dunia kita akan tampak sempit, dan tindakan kita pun jadi kerdil. Mari kita mengubah pola pikir kita, memperbanyak melakukan action (tindakan) ketimbang hanya diam. Tak peduli Anda gagal atau sukses yang Anda peroleh sewaktu melakukan tindakan. Yang terpenting adalah Anda memberikan yang terbaik yang Anda miliki untuk mencapai tujuan Anda. Gagal bukan berarti Anda hancur, ada banyak kisah orang-orang gagal yang berakhir dengan sukses lantaran ketekunan dan keyakinan pada kehidupan dan Allah.

Negeri Lima Menara, sebuah novel yang terinspirasi dari kisah nyata, buah karya A. Fuadri mengisahkan perihal perjuangan, komitmen, keyakinan dan ketekutan sebagaimana yang dilukiskan di atas. Sebuah kisah yang tidak hanya unik dan khas tetapi juga memberi makna pada proses dan perjuangan dalam kehidupan. ‘Man jadda wajada’ (siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses) adalah pesan sentral dari karya Fuadri ini.

Negeri Lima Menara diawali dengan tokoh Alif seorang remaja Minangkabau yang lugu. Masa kecilnya sebagaimana layaknya anak desa, selalu bergumul dengan alam: berburu durian, bermain bola di pematang dan juga berenang di sungai. Namun pada suatu ketika, atas permintaan ibunya, Alif harus meninggalkan landai Bukit Barisan dan sahabat masa karibnya Randai untuk merantau ke tanah Jawa dan menjadi seorang santri pada Pondok Pasantren Madani.

Podok Pasantren Madani adalah sekolah setingkat SMP dan SMA dengan masa sekolah enam (6) tahun. Sekolah di Pasantren Madani adalah menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Sistem belajarnya 24 jam. Para santri dibekali dengan didikan para ustad berkualitas. Lulusan Pasantren Madani sudah barang tentu menjadi yang terbaik dan bisa melanjutkan studi hingga ke Mesir, Arab Saudi, Pakistan dan beberapa Negara lainnya.

Di Pondok Pasantren Madani inilah, Alif berjumpa dengan beragam latar orang, kepribadian dan suku. Namun mereka dipersatukan oleh sebuah peristiwa unik yakni ketika mereka dijewer. Sudah sejak itu Alif yang lugu berkenalan dan mulai akrab dengan  Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Goa.

Perkenalan selanjutnya kedetakan mereka membuat mereka bisa saling berbagi kisah, cerita dan juga cita-cita. Perbedaan di antara mereka menjadi pelengkap yang dibutuhkan untuk masing-masing pribadi. Potensi dan kelebihan saling berbagi untuk memberi kekuatan dan motivasi. Memulai mimpi-mimpi adalah sebuah proses yang panjang penuh perjuangan. Berkisah tentang upaya keras enam orang santri ini dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka adalah sebuah kisah yang bermakna. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat di Pondok Ma­dani (PM), ke-enam santri ini bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses).

Kisah perjumpaan di bawah menara Masjid yang mereka lakukan secara rutin menunjukkan komitmen dan keyakinan mereka. Mereka mengawali semua prose itu dengan tanpa cita-cita apa pun selain yakin bawah mereka bisa. Alif misalnya, sebelumnya tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri PM yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ”Habibie”. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat genius, tapi sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie.

Namun, ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulma­jid, Said, dan Atang.

Kisah yang disudahi pengarang dengan re­uni bersejarah di Trafalgar Square, Lon­don, -setelah 15 tahun masa-ma­sa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferen­si di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara ba­kal menggenggam impian masing-ma­sing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses.***