Pada 2008, Rapai Cebrek dibawa-serta dalam Teater Tari Kontemporer She Lagee yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki. Tampak dalam gambar, Rapai Cebrek dibungkus dalam kain putih dijujung oleh seorang anak (Fadli) sebagai simbol pewarisan dan tanggung jawab generasi penerus untuk menjaga dan merawat pusaka budaya.

Jumad, 17 Desember 2010, saya kembali bertemu Teuku Usman setelah hampir kurang lebih dua tahun tidak bertemu. Matanya sudah senja bersama usianya yang juga kian bertambah tua. Teuku Usman adalah satu-satunya pewaris tunggal alat musik tradisional Aceh (Barat) Nanggroe Aceh Darusallam ‘Rapai Cebrek’ yang berusia hampir dua abad.

Dengan suara yang berat, Teuku Usman kembali mengisahkan tentang Rapai Cebrek. Tentang sekelumit sejarah, kisah mula-mulanya sampai pada ketika hadir dan tampil Taman Ismail Marzuki pada 2008 dalam pentas teater kontemporer She Lagee. Sementara ini, Rapai Cebrek masih tersimpan dan terawat dengan baik di desa Palimbungan, kecamatan Kawai XVI kabupaten Aceh Barat, tempat dimana Teuku Usman menetap.

Dalam catatan kecil ini saya tidak menyinggung perihal sejarah, kisah mula-mula munculnya Rapai Cebrek dan mengapa diberi nama Cebrek. Saya yakin, pada kesempatan berikut, dalam catatan yang lain, saya akan mengisahkannya, tentu saja, setelah mendapat kisah yang lebih utuh dan atas persetujuan Teuku Usman.

Dalam kesempatan ini yang menarik untuk dicatat adalah tentang kecemasan Teuku Usman perihal masa depan Rapai Cebrek. Lelaki kelahiran 1 Juli 1960 ini dalam nada berat mengharapkan agar tidak hanya pemerintah, tetapi juga public/masyarakat Aceh menjaga dan merawat Rapai Cebrek secara bersama-sama, karena rapai tersebut adalah bagian dari warisan budaya yang langka. “Jika tidak ada yang menjaganya, lalu siapa lagi, saya kan semakin tua”.