100_7663Hanya untuk mereka. Orang-orang yang benar-benar merasakan jatuh cinta. Yang menjatuhkan pilihan yang tepat pada dia sebagai yang tak tergantikan. Yang menariknya ke dalam hati menjadi sumber denyut, tumpuan kekuatan dan pusat pikiran. Hanya yang orang-orang yang seperti itulah yang dapat memahami dengan sungguh apa arti kata-kataku ini.

Sekarang dan di sini. Aku sedang sendiri. Seorang diri. Apa yang aku rasakan adalah benar-benar hampa, entah seperti apa, aku tak dapat melukiskannya. Namun aku dapat menggambarkannya. Bahwa hidup hanya setumpuk malas. Hendak menatap jauh, tapi yang dituju hanya jenuh. Hendak melangkah jauh tapi buntu. Setiap kerja dan karya, berbuah setengah-setengah. Setiap kata dan kalimat, diucap patah-patah.

Hari-hariku serupa segumpal awan, tanpa masa dan muatan. Aku tidak merasa lapar, juga tidak kenyang, mengemil pun enggan. Khayal dan lamun selalu saja menemaniku, datang silih ganti. Kadang menanyakan dengan lantang apa yang sedang dipikirkan.

Tetapi, selalu saja aku diam. Tidak punya kata, tidak punya kelimat, juga tidak punya gerak. Diam. Bisu. Kadang air mata berbicara, untuk sekedar tenangkan jiwa, juga membangkitkan semangat. Tetapi aku kembali lagi kepada sepi, jika aku menarik diri ke sunyi. Seorang diri yang terpekur, seperti sedang merenung nasib yang tiada menentu. Sungguh-sungguh sendiri, seperti di pekat malam.

Kadang hasrat mangajakku pergi ke tempat yang jauh, sangat jauh. Ke tempat di mana aku tak bisa menjumpaimu, entah di mana, mungkin di alam yang tua, ketika kita harus menutup usia. Mati. Sendiri itu siksa, sepi itu sengsara, sunyi jadi kiamat, bergelut dengan hampa. Air mata jadi saksi yang tidak dapat mengatakan apa-apa hanya menyiratkan arti kesendirian bahwa sepi itu sakit. Aku tidak bertanya ini dosa siapa, sebab ini adalah dosaku sendiri. Sepiku. Sunyiku. Malamku. Sendiriku yang membuat aku sakit sendiri.

Aku belum siap, mungkin juga sama sekali tidak siap untuk sendiri walau untuk sejengkal itu. Semenit itu. Sebab sudah terlalu sering kita bersama. Terlalu lama kita berdua. Walau tidak mengapa dan tidak apa-apa. Tapi rasa ini selalu hangat disapa. Selalu mesra. Senyummu, cumbumu, kecupanmu, hangat tubuhmu, marahmu, tamparmu, umpatmu dan juga makimu membekas dalam ingatanku sebagai cinta. Cinta.

Sekarang bolehlah aku bertanya, sedang apa kau disana? Sedang sibukkah engkau berkerja? Sedang beriang bersama sahabat-sahabat? Atau sedang meniti masa depan? Untuk hari tuamu, untuk masa depanmu, untuk gembiramu, untuk cintamu, pada tanahmu, pada orang tuamu, pada Kakak dan adikmu, pada keluargamu?

Tapi dari sendiriku di sini. Aku memintamu dengan sujud untuk tidak melupakanku. Ingatlah aku dicelah sibukkmu, disudut gembiramu. Sebab aku selalu bersamamu, walau kau tidak menyebut namaku. Dan tidak memanjatkan sepotong doa pun di waktu sedihmu apalagi di kala gembira datang menjumpaimu