Pendidikan perdamaian adalah pendidikan budaya, pengembangan karakter, dan metanoia diri pribadi dan masyarakat sehingga nilai-nilai seperti integrasi, tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, menghormati dan melihat konflik sebagai yang positip dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, demikian pendidikan perdamaian tampaknya tidak mendesak untuk didiskusikan, apalagi diimplementasikan secara serius  untuk semua sekolah di seluruh Indonesia mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas dan sederajat. Jika pun serius untuk difisilitasi dan dimpelementasi maka akan ‘dikesampingkan’ sebagai sebuah kegiatan siswa/pelajar.

Pendidikan perdamaian , barulah menjadi suatu yang penting dan mendesak setelah terjadi konflik social  dan politik atau bahkan agama. Fakta ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia antara lain Ambon dan Aceh. Namun demikian, respon akan kemendesakan itu tidak datang dari wilayah pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah.

Justru sebaliknya, respon tersebut ditanggapi oleh lembaga dan atau para pekerja kemanusiaan. Mereka tidak hanya giat melakukan kampanye dan promosi tentang pendidikan perdamaian, tetapi juga melakukan pelatihan-pelatihan dan workshop tentang hal tersebut. Namun tetap tidak maksimal untuk dikembangkan, lantaran pemerintah tampaknya tidak melihat itu sebagai yang penting dan mendesak. Jika mau jujur, berdasarkan amatan dan catatan saya, selama hampir tiga tahun bekerja sebagai pekerja perdamaian di bekas daerah konflik seperti Aceh, pendidikan perdamaian seharusnya menjadi sesuatu yang mendesak. Menjadi suatu yang mendesak lantaran:

Pertama, pendidikan perdamaian dapat dijadikan medium pemulihan trauma yang paling efektif. Dalam pendidikan perdamaian, konflik diangkat ke permukaan untuk didiskusikan dan dipahami sebagai sesuatu yang harus dilewati dan dialami manusia. Konflik dengan sengaja di angkat tidak dimaksudkan supaya menambah beban luka dan trauma, tetapi dimampukan untuk menjadi medan pembelajaran, perjumpaan untuk diakrabi dan dimaknai.

Kedua, pendidikan perdamaian menjadi penting lantaran para peserta didik dimampukan untuk memahami strategi menghadapi dan bahkan cara menyelesaikan konflik dan masalah. Baik konflik dengan diri sendiri, diri sendiri dengan orang lain maupun antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Sistem negosiasi, membangun kepercayaan, kerjasama/integrasi, dan menang sama menang ditumbuh-kembangkan dan ditular-ajarkan agar dengan demikian dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, pendidikan perdamaian menjadi penting untuk ditular-ajarkan kepada generasi muda karena generasi muda merupakan tulang punggung pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.  Generasi muda harus diberi bekal yang memadai tentang semua tema perdamaian agar karakter dan jati dirinya sebagai ‘pembawa damai’ membekas dalam jejak perjalanan kehidupan mereka.

Keempat, dan terakhir adalah bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk karena terdiri dari berbagai suku, bahasa dan budaya, juga majemuk karena terdiri atas berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Sebagai sebuah bangsa yang terbangun dan dibangun oleh keberagaman, kita pantas berbangga, lantaran keberagaman memperkaya satu dengan yang lainnya. Namun ada pula resiko yang yang sering terjadi dalam keberagaman, yakni terjadi gesekan, pertentangan dan konflik. Tentang hal itu kita sebagai bangsa penah dan bahkan sedang dan akan selalu mengalaminya. Dimana terjadi berbagai pertentangan antar suku, budaya dan agama yang tidak sedikit memakan korban. Lantaran itu pendidikan perdamaian, menurut hemat saya penting dan mendesak untuk ditular-ajarkan di sekolah-sekolah. Jika perlu pemerintah harus menjadikan pendidikan perdamaian sebagai sebuah kurikulum yang selanjutnya dimasukan dalam kurikulum pendidikan formal.