Cinta pertama tidak akan pernah mati. Dia akan tetap hidup. Katanya, selamanya. Berulang seseorang menyusun keping-keping cintanya yang luluh lebur, tetapi selalu saja runtuh. Mencoba seseorang membuka lembaran baru dan membangun kehidupan cinta yang baru, namun rapuh jua. Terlepas dari cinta pertamanya masih hidup atau sudah tiada, laki-laki atau perempuan, kehadiran kekasih dan belahan jiwanya yang sudah pergi ke entah, tampak masih nyata.

Gallian Shields melukiskan tentang kisah ketakbisalupaan cinta pertama itu dengan menarik. Dalam Immortal First Love Never Dies (Dastan Books;2010) Shields menghadirkan seorang Sebastian, pemuda misterius berwajah pucat dengan sepasang mata biru dan berambut hitam. Bagi Evie Johnson, Sebastian seperti berasal dari negeri dongeng yang kehadirannya membuat dadanya bergetar. Lantaran itu tidak heran, jika gadis berusia enam belas tahun ini akhirnya jatuh cinta kepada Sebastian. Namun sayang, Evie merasakan Sebastian menyembunyikan sesuatu tentang masa lalunya dan siapa dirinya yang sebenarnya. Dan inilah yang membuat Evie penasaran dan juga ciut. Semakin ia mencoba untuk mengungkap jati diri Sebastian yang kelam juga, pada saat yang sama perlahan menguak tabir masa lalunya yang juga akan menempatkan jiwanya dalam kecemasan yang mendalam.

Sesungguhnya, baik Sebastian maupun Evie menyimpan tentang sebuah masa lalu yang sulit lupa, yakni kisah tentang cinta yang tidak pernah mati. First love never dies. Di Wyldcliffe Abbey School yang dingin dan suram keduanya berkutat dengan masa lalu mereka masing-masing. Dapatkah mereka membunuh cinta pertama mereka, selanjutnya membuka lembaran baru dengan kehidupan cinta yang baru? Mampukah mereka menerima masa lalunya dengan ikhlas dengan mencoba perlahan melupkannya? Dalam Immortal First Love Never Dies, kita menemukan jawabannya.

Membaca Immortal First Love Never Dies selanjutnya mengalami pengalaman-pengalaman perjumpaan dengan kisah-kisah cinta pertama dengan orang-orang yang kukenal, sesungguhnya cinta pertama itu sangat menyiksa. Cinta pertama yang senantiasa dikenang, selalu diingat adalah jeruji bagi relasi cinta mereka. Bahkan untuk mereka, para pencinta yang selalu terjebak dalam ingatan akan cinta pertama aku menyebutnya sebagai para pembunuh cinta.

Sebab, mereka tidak hanya menyiksa diri mereka sendiri dengan cinta yang tidak pernah lupa. Mereka tidak hanya menutup diri sendiri untuk memahami dan mengenal cinta yang lain. Bahkan lebih dari itu, mereka secara perlahan membunuh hakikat cinta itu sendiri. Bahwa cinta itu tidak untuk dimiliki dan memiliki. Cinta sudah cukup untuk cinta. Menarik hakikat cinta itu ke dalam kenangan emosional dalam peristiwa yang disebut sebagai cinta pertama adalah adalah tindakan pemenjaraan, pengekangan dan bahkan pembunuhan atas cinta.

Lantas, bagaimana kita dapat membunuh cinta pertama agar dia dapat mati? Kematian, kata sebagian orang adalah pembunuh itu sendiri. Hanya dengan kematian cinta pertama itu meregang nyawa. Napas cinta dipenggal. Jiwanya lepas melayang ke dunia entah.

Sebagian yang lain mengajukan tanya pun jawaban. Haruskah kita menemukan pembunuhnya dalam diri para pencinta yang lain, yang hadir dalam kehidupan kita? Jika itu mungkin, maka itu adalah peristiwa unik yang hanya terjadi pada segelintir orang. Dan mereka yang dapat membunuh kenangan akan cinta pertama adalah orang-orang yang sabar, yang juga hadir sebagai pembunuh berjiwa besar, yang bersedia kalah walau disandera, yang bersedia disandera walau tewas dalam penyiksaan yang panjang.

Namun bagiku, bagaimana membunuh dan menemukan pembunuh yang sesungguhnya bagi kenangan atas pengalaman cinta pertama adalah diri sang pencinta itu sendiri. Ia harus membunuhnya dengan ikhlas dan perlahan melepaskannya terbaring tenang pada kotak sejarah masa lalu. Mengenang kisah cinta pertama dalam sosok kekasih pujaan bukan pekerjaan yang salah, sebab sejarah tidak dapat dipenggal. Namun, menghadirkan senantiasa sosok kekasih pujaannya dalam setiap perjumpaan dengan dan kepada setiap orang adalah dosa, sebab sejarah tidak pernah terulang.

Lantaran itu melepaskannya sebagai bagian dari kenangan, kemudian membangun lembaran baru dalam dan melalui perjumpaan yang tulus adalah perbuatan mulia dan terpuji. Dapatkah kita melakukan itu?