Ladang seperti tidak lelah mengepul debu. Cangkul pun tidak gontai menggebu. Di sawah-sawah batu. Lengan penuh peluh, ngilu, terus berpacu menerjang waktu. Hidup itu sebentar. Tentang itu kehidupan maklum. Semua, segala berseteru melawan lapar yang terus menikam tubuh.

Di sudut-sudut negara ini, yang tidak terjangkau dengan mata hati pembangunan, dengan perut layu, anak anak berebut mengemut batang umbi kayu sambil menunggu maut di ujung senja yang selalu kelabu.

Di puncak-puncak kota. Selepas pandang menyaksikan, sekawanan serigala, berkhotbah demi nama demokrasi yang sakral. Sementara pembangunan diobral dengan segala pelik persoalan. Tamatlah riwayat hukum. Karena penjara adalah rumah ibadah sesungguhnya. Di sanalah segala soal tuntas.

Negeri para kaum lapar, selalu melahirkan orang-orang besar berjiwa serigala. Keduanya  seperti selalu saling mengandaikan. Di mana ada kelaparan, di sana ada pemerasan. Di mana ada neraka yang sesungguhnya, di sana ada surga yang sungguhnya. Di mana ada umbi kayu, di sana ada pesta pora. Di mana ada ketidakpastian hukum, di sana ada penipuan dan dusta.

Jika aku membayangkan semuanya itu aku menjadi haru. Karena, walau mata air-mata air tidak mengeluarkan airnya dan lembah lembah bumi pun kering. Air-mata air mata kahausan dan kelaparan tetap akan membanjiri lembah-lembah pipi orang kaum lapar, termasuk aku dan kedua orang tuaku.