Kematian Sokrates – lukisan Jacques Louis David, 1787

Sokrates  tewas karena telah melakukan sebuah kesalahan fatal yakni ‘salah ucap’. Putra pasangan Sophroniskos (seorang pemahat batu) dan Phainarete (seorang bidan) ini tewas pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan Athena dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati  dan 220 menolaknya.

Lelaki buruk muka, ‘pembenci’ dunia tulis-menulis, tetapi merupakan salah satu filsuf besar pertama dalam sejarah filsafat barat selain Aristoteles dan Plato ini tewas karena kalimatnya yang kurang lebih berbunyi “Dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana”

Ucapannya itulah yang membuatnya mati. Bayangkan, terlepas dalam sejarah filsafat selanjutnya mengagungkan Socrates sebagai yang benar, Socrates mengklaim dirinya sebagai orang bijak dan mengatatakan elite politik dan sesepuh Athena sebagai yang bukan bijak. Dalam kultur patriarchi yang kental dan system social yang mendewakan prestise, segala ‘ucap’ atau ‘cuap-cuap’ harus dikontrol. Perlu adanya komunikasi yang efektif.

Yesus, anak Maria juga tewas karena ‘salah ucap’. Pria berdarah biru dari keturunan Daud ini dituduh karena dengan berani-beraninya menyebut dirinya Tuhan. Padahal, bagi Agama Yahudi  hanya ada Tuhan yang Maha Esa, pencipta dunia yang menyelamatkan bangsa Israel  dari penindasan di Mesir, dan yang menurunkan undang-undang Tuhan (taurat) kepada mereka selanjutnya memilih mereka sebagai cahaya kepada manusia sedunia.

Massa yang marah lantas menekan Pontius Pilatus, gubernur kerajaan Romawi agar Yesus harus dihabisi. Demi nyawa Yesus, Barabas, bandit dan penjahat kelas kakap direlakan warga untuk dibebaskan Pontius Pilatus. Dari tangan Pilatus kemudian Yesus diserahkan kepada warga untuk disalibkan. Karena ‘salah ucap’-nya itulah Yesus pun mati secara keji pada usia tiga puluh tiga tahun.

Terlepas dari apa yang dikatakan Socrates dan Yesus akhirnya menjadi kebenaran di kemudian hari. Sejarah filsafat barat mencatat Socrates sebagai filsuf cerdas dan buah pikirannya menjadi rujukan siapapun yang masuk dalam langgam filsafat. Demikian juga dengan sejarah orang beriman mencatat bahwa Yesus juga adalah Tuhan yang satu dan sama seperti Tuhan yang diyakini bangsa Yahudi.

Namun dalam konteks dan situasi ketika itu, ketika Socrates dan Yesus hidup dan ada di dunianya masing-masing, rupa-rupanya apa yang telah mereka ucapkan adalah boomerang bagi diri mereka sendiri. Pertanyaan yang akhirnya menjadi refleksi pribadi adalah tentang bagaimana membangun komunikasi dan relasi yang efektif dalam situasi dan konteks yang tepat. Satu dari seratus orang yang ‘salah ucap’ akhirnya dikagumi di kemudian hari. Socrates dan Yesus adalah satu dari seratus di ranah-nya masing-masing.

Namun, selebihnya, sembilan puluh sembilan orang lainnya akhirnya hanya menjadi jasad yang tidak berarti. Mungkin ini sebuah perbandingan yang tidak benar. Namun yang pasti bahwa, secara pribadi, saya belajar dari dua ‘salah ucap’ di atas untuk membangun komunikasi, relasi dan memberikan kesaksian yang efektif dalam situasi dan kondisi yang tepat, agar tidak mati sia-sia, karena saya bukan Socrates apalagi Yesus.