Di emperan toko kota Ruteng, yang berhadapan langsung dengan Kantor Bupati Manggarai berbaris-baris belasan penjual kain tenun khas Flores Nusa Tenggara Timur. Seorang dari barisan para penjual yang kebagian tempat paling ujung, seorang bapak (agak) tua, mengeluarkan puluhan kain tenun yang didominasi warna merah.

“Beli ini pak, ini bagus, ini dari Todo asli”

“Dari Todo asli ya, berapa pak?”

“Dua ratus lima puluh ribu”

“Bisa kurang”

“Bisa tawar”

“Seratus”

“Tambah sedikit pak”

“Berapa?”

“Dua ratus”

Tawar menawar pun berlangsung sampai akhirnya jatuh ke harga seratus tiga puluh ribu per lembar. Penulis membeli tiga lembar kain, satu untuk penulis, satu untuk calon istri dan satu lagi untuk calon anak. Hehe…

Masih dari emperan

Well…Kain Tenun Todo. Beragam warna merah mendominasi dan bahkan menjadi cirri corak kain tenun (songke) Todo. Karena beragam merah itu, kain songke Todo menjadi berbeda, unik dan khas di wilayah Manggarai Raya bahkan Flores secara lebih luas. Jika pun ada hijau, atau kuning, atau hitam atau orange, warna-warna itu tidak lebih menjadi pelengkap agar elok untuk dipandang (walaupun di balik sekedar warna penunjang sebenarnya tersimpan pesan-pesan yang memang harus ditelisik secara lebih mendalam).

Mengapa kain tenun (songke) Todo menjadi berbeda dengan kain tenun lain di wilayah Manggarai (Cibal, Lambaleda, dll) yang didominasi oleh warna dasar hitam? Beberapa sumber menyebutkan kain tenun Todo adalah buah dari persentuhan yang berulang antara kain tenun bajo, bugis Makasar, dan bima. Benar atau tidak perihal ini, memang harus ditelisik lebih jauh.

Namun sebagai bukti awal, masih dari emperan, belum masuk untuk dikaji secara mendalam, penulis mmengangkat sedikit contoh sebagai buah dari pesinggungan budaya itu, secara khusus dalam kain tenun (songke). Pertama, dalam perjumpaan dengan orang-orang bajo, bugis dan Makasar. Terdapat salah satu corak Sarung Tenun (songke) makasar yang disebut Balo renni (corak kecil). Motifnya berbentuk garis-garis vertikal dan horizontal yang tipis yang saling bersilangan sehingga tampak seperti kotak-kotak kecil atau dalam bahasa bugis “renni”. Kombinasi warna dan kombinasi garis tersebut akan ditemui pada keseluruhan kain tenun. Kecuali pada bagian kapalanna (kepala sarung). Jika diperhatikan corak tenun Todo, tampaknya corak Balo Renni tidak hanya menjejak di Todo tetapi bahkan menjadi cirri corak kain tenun Todo.

Kedua, dalam perjumpaan dengan orang-orang Bima. Salah satu corak kain tenun Bima adalah Tembe Bali Mpida. Corak ini bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak segi empat ukuran kecil. Karena itu Tembe Kafa Na’e diberi nama “Tembe Bali Mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (Dana), ada yang hitam, coklat dan putih. Khusus “Tembe Sambea Kai” (sarung untuk sholat), harus berwarna dasar putih (Dana Lanta). Motif dan corak yang sama ada pada kain tenun (songke) Todo, hanya warna dasar kain tenun Todo berwarna merah.

(Masih) di Emperan Sejarah

Bahwa Kesultanan Goa pernah berjaya di daratan Flores pada sekitar tahun 1613 – 1640. Dan sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya mendiami Flores bagian Barat, tetapi juga seluruh Manggarai Raya. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan. Selain orang-orang Makasar, pun berdasarkan kisah sejarah, pada tahun 1722, Sultan Goa menyerahkan wilayah Manggarai kepada Sultan Bima sebagai mas kawin.

Perjumpaan dengan beragam kepentingan-kultur-kebiasaan baik dengan orang-orang Bajo, Bugis maupun Bima, serupa disinggung diatas tentu saja melahirkan sesuatu yang baru pula untuk Todo. Buah perjumpaan itu yang tidak hanya perihal kepentingan-kepentingan social dan politik, tetapi juga budaya dan kebiasaan termasuk di dalamnya adalah bagaimana berbusana: pilihan motif dan corak serta tata busanya itu sendiri.

Sumber Catatan