kris bhedaSelasa 4 Agustus 2009, langit tampak mendung. Geremis tipis jatuh ringan. Lorong Anggur, di Ujung Baroh Meulaboh, jalan masuk menuju kantor tampak lengang. Hanya sebuah sepeda motor yang ditumpangi Pak Ibrahim sang kepala lorong, yang melintas sebelum hilang di belokan ujung jauh, di balik rawa-rawa bersemak belukar.

 Pagi hari itu, aku memaksakan diri untuk ke kantor, sementara punggungku terasa berat.  Jika hendak memilih dan disuruh memilih aku akan memilih melanjutkan mimpi, ketimbang harus berkantor. Tetapi banyak pekerjaan menumpuk di atas meja kerja. Dan yang bertutumpuk-tumpuk itu bukan lembaran kertas laporan, tetapi kebutuhan-kebutuhan komunitas dampingan. Sehingga suatu ketika dalam evaluasi Jumatan, saya berujar kepada kawan-kawan kalau meja kerja kami adalah komunitas. Dan karena alasan ini maka saya harus memilih ke kantor untuk menyelesaikannya.

 Jarum jam arlojiku sudah menunjuk angka sepuluh. Namun, halaman kantor yang tidak seberapa luas belum tampak ramai. Biasanya sepeda motor King biru sudah ada di bawah pohon jambu. Selanjutnya, dua, tiga dan empat sepeda motor yang lain, menyusul sebuah kijang kapsul kuning tua dan pik up hitam. Kawan-kawan rupanya belum datang. Pertemuan panjang selama tiga hari sebelumnya dan padatnya kegiatan telah membuat kawan-kawan kelelahan. Kataku dalam hati.

 Belum juga aku memarkirkan sepeda motor, sebuah becak berhenti persis di ujung gerbang kayu pagar yang hampir roboh. “Pagi Kris, belum pada datang kawan-kawan yang lain” tanya Prima yang baru saja turun. “Belum” jawabku singkat. Prima, sudah enam belas hari di Meulaboh. Setiap hari rutin mengunjungi komunitas dampingan lantaran melakukan penelitian untuk tesis Management of Development, speseialisasi social inclusion, gender and raral livelihood-nya. Universitas Van Hall Larenstein Wegeningen Belanda, tempatnya melanjutkan studi strata dua memberinya waktu 25 hari untuk melakukan penelitian tersebut. Salah satu sample-nya adalah anggota Jaringan Perempuan SAKINAH yang tersebar di 10 desa se-kecamatan Bubon dan Woyla tempat di mana kami bekerja.

 ”Aduh Kris, aku lupa dokumen di rumah” lantas pergi setelah kupinjamkan kunci sepeda motor. Tujuh menit berlalu. Suasana masih saja sunyi. Suara kodok bersahut-sahutan menyambut gerimis pagi hari itu. Aku melempar pandang ke samping kanan kantor, empat baliho berukuran tiga kali dua meter masih belum ditata dengan rapi sejak seusai pemilu presiden. Di sandaran tembok sebelah kanan lima anakan stroberi tampak segar. Hijau daunnya memanggilku untuk mendekat, tapi dari kejauhan aku hanya melepas senyum.

 Membuka pintu kantor, mataku tertumbuk pada kalimat ”Ancang-Ancang Cicak Vs Buaya” yang tertera pada cover Majalah Tempo edisi terbaru yang tergelatak di bawah lantai. Karikatur Cicak yang berperisai KPK dengan pedang mengacung di tangan kanannya disaksikan tikus-tikus putih yang sedang berpesta, membuatku teringat pada  koalisi klasik yang tidak pernah usai di negeri ini yakni kemesraan kepentingan  dan kekuasaan. Walau sebenarnya keduanya sama-sama pongah, tetapi entah mengapa dan bagaimana kedua makluk asing itu selalu bersanding merasuk tusuk ke sendi-sendi demokrasi bangsa ini.  

 Tapi karena hari masih pagi dan aku sedang tidak enak hati, aku tidak hendak memikirkan itu lagi. Lagi-lagi, jika aku hendak memilih dan disuruh memilih, maka aku akan memilih menjadi manusia yang bertubuh tanpa negara, manusia yang berjiwa tanpa bangsa ketimbang harus menjadi bagian dari sebuah negara bertubuh garang dan berjiwa bangsat. Tetapi di balik dada yang marah merekah sabda kata Chairil Anwar ”Biar peluru menembus kuliku, aku tetap meradang dan menerjang….aku ingin hidup seribu tahun lagi” Biarkan carut marut itu jadi cambuk untuk berbenah dan terus berbenah diri.

 ”Bang….” suara panjang itu membuyarkan lamunanku. Aku berpaling, si Abdul tetangga yang ramah itu terus berlalu sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum. ’Keramahan’ Inilah kelebihan orang Indonesia dan ini pulalah yang membuat saya bangga menjadi orang Indonesia. Keramahan yang telah membuat orang Indonesia menjadi beradab dan keramahan pulalah yang membuat kita lebih berbudaya.

 Aku meletakkan majalah itu di atas meja kemudian lanjut bergegas ke ruang tengah. Kuperhatikan deretan buku-buku yang dipajang dalam lemari berukuran dua kali tiga meter persegi. Kuperhatikan satu persatu dari Johan Galtung sampai Gene Sharp, dari L.K. Akra sampai sebuah Pantoen Aneuk dan sederetan cerita rakyatnya, sampai akhirnya mataku berhenti pada sebuah komik dari Tony Wong berjudul ’Tapak Budha’. Kubuka lembar demi lembar sambil tersnyum. Di halaman paling belakang tertulis ”Tapak sakti berasal dari India, terdiri dari sembilan jurus es penangkal api sebagai basis tenaga dalam” senyumku lantas berubah jadi tawa. Aku terbahak-bahak memecah sunyi pagi itu. Bayangku pun melayang ke Laktutus Timor di Indonesia Timur nan jauh menjumpai kawanku Tommy yang empunya komik itu. ”Rupa-rupanya kawanku yang satu ini belajar dari jurus-jurus ini, sehingga ia bisa bekerja tanpa lelah. Kepalanya botak seperti budha, otaknya kreatif dan tenaganya seperti tidak pernah habis” kataku dalam hati.

 Perlahan mereda tawa, aku meletakkan Tapak Budhda pada di rak paling bawah. Sambil tersenyum sendiri aku melangkah ke ruang belakang sementara ransel masih dipunggung. Di papan penanggalan yang penuh coretan spidol aneka warna, berbaris-baris kegiatan yang belum diagendakan. Tiga puluh hari di bulan Agustus adalah waktu yang sangat singkat, tetapi padatnya kegiatan yang terbaca membuat aku mendiamkan senyum ke lubuk rasa. Kegembiaraan yang kurasakan tiba-tiba saja pudar jika membayangkan bagaimana aku dan kawan-kawan harus bekerja. Salah seorang kawan suatu ketika pernah mengatakan kami sebagai “orang-orang gila” lantaran harus melaksanakan berbagai macam program kegiatan pemberdayaan komunitas di empat belas desa dan satu pasantren sementara jumlah staff  yang murni untuk melaksanakan itu hanya satu orang.

 Belum lagi terhitung dengan program kegiatan lain semisal pendidikan perdamaian dan pembangunan perdamaian yang seluk beluknya tidak sedikit. Jadilah kami ‘main keroyok’ sampai-sampai aku lupa pangkat dan jabatan, baru kelabakan ketika dalam sebuah undangan rapat orang minta kartu nama. Hendak mau dikata apa jika ditanya jabatan, karena di satu tubuh dan di satu jiwa yang sama semua pangkat terdaftar. Namun satu yang pasti bahwa aku dan kawan-kawan memiliki jabatan yang istimewa ’Pekerja Kemanusiaan’ atau ’Pelayan’ atau terserah mau disebut apa hingga sampai suatu ketika koordinator pusat mengatakan ’Jabatan kalian isi sendiri’

 Ups….punggungku terasa berat. Tas ransel yang setia menjaga Accer tua aku sandarkan di tepi tembok di bawah papan penanggalan. Tiga puluh menit berlalu, tetapi belum satu pun dari kawan-kawanku datang. Aku menyalakan lampu ruang belakang, menghidupkan komputer dan menunggunya sambil merenung. Merenung tentang diriku sendiri, tentang kawan-kawanku dan sederetan kegiatan di papan penanggalan. Singkatnya merenungkan tentang aku sebagai seorang pekerja kemanuasian. Entah berapa lama aku merenung, tiba-tiba aku meneteskan air mata penuh haru, bersama hujan di luar yang semakin melebat ketika di layar monitor muncul foto screen saver seorang petani lanjut usia yang masing mau membanting tulang demi komunitasnya walau tanpa upah, Teungku Sarong Bintang.