Tetangga-tetangga saya di Labuan Bajo: laki-laki, perempuan, ibu dan anak (anak kecil dan anak gadis), biasanya setiap tiga hari sekali ngumpul di samping dapur di bawah pohon beringin. Selalu, sudah sejak pagi mereka mengantre dengan jerigen besar kecil berbaris-baris. Sambil menunggu air muntah di mulut slang, sebagian ibu-ibu itu mencuci menggunakan air sisa yang ditampung di gentong sejak tiga hari sebelumnya sambil bercerita-cerita, tertawa-tawa, dan kadang bisik-bisik.

Suatu hari, seorang anak kecil, bocah perempuan menangis. Entah ibu, entah kakak, entah bapak, entah oma-nya mungkin sudah menjewer kuping si kecil itu, lantaran (terdengar dari balik tembok kamar) si bocah merengek minta pulang ke rumah, karena masih ngantuk. Padahal jerigen kosong sudah sedang mengantre “Ei, kau ini, kau tidak lihatkah air tidak ada. Kalau saya antar kau pulang, siapa yang tadah air”.

Si bocah terus menangis, si ibu tetap tak peduli. Air mata si bocah baru bisa berhenti mengalir, pada ketika air melesat keluar dari ujung slang seperti mata air pecah dari dari bibir cadas. Muka si bocah dicuci, raut sedihnya pun pergi. Itulah sepenggal kisah tentang air: Mata air dan air mata. Mata air Mata.

***

Kisah tentang Mata Air Mata di kota Labuan Bajo, kota di ujung barat pulau Flores Nusa Tenggara Timur ini bisa ditulis berbab-bab jika mungkin dan mau. Kita (saya dan anda) bisa menulis tentang banyak hal dan dikemas dalam bentuk apa pun (novel, puisi, lagu maupun catatan sembarang seperti yg sudah sedang saya buat ini): Tentang pipa-pipa karatan, pipa besar kecil, tentang bisnis air minum, tentang mata air dan krisis air, tentang ‘pencurian’ air dan masih banyak lagi. Singkatnya menulis tentang air di Labuan Bajo, kita akan selalu berjumpa dengan teriakan situasi-fakta yang mengiang-ngiang “Air masih jauh”.

Perihal itu, perihal air di kota Labuan Bajo adalah sebuah catatan ‘hitam’ pembangunan Manggarai Barat, secara khusus pembangunan kota Labuan Bajo. Saya berani mengatakan itu, karena kabupaten ber-leading sector pariwisata itu ternyata alpa ‘memikirkan’ tentang air leding yang sesungguhnya adalah elan vital kehidupan warganya sendiri. Sesuatu yang seharusnya dipenuhi lantaran merupakan kebutuhan pokok, justru, bukan hanya tidak serius di-urus, tetapi juga terkesan so what gitu loh.

Bayangkan, mengapa tidak, seperti dilansir wartasemesta.com bahwa pada tahun sebelumnya, tahun 2011, pemerintah pusat memberikan bantuan melalui dana Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp. 900 juta lebih untuk air bersih kota Labuan Bajo. Sayangnya, dana ini mengalir lucas bias arah dengan hasil akhir yang memprihatinkan. Bahkan sejumlah item kegiatan tidak dikerjakan hingga tuntas sehingga proyek instalasi menjadi terlantar. Jangankan selesai, masyarakat yang mengharapkan air ‘ciprat dari pipa bocor’ hasil proyek baru ini pun tidak terwujud, kecuali jika dicungkil-curi.

Masih dari wartasemesta.com, pada tahun ini, tahun 2012, melalui APBD II, lagi-lagi dana Rp. 3,1 miliar digelontorkan untuk air minum bersih kota Labuan Bajo. Jumlah dana yang dikeluarkan jauh lebih besar dari dana anggaran tahun sebelumnya. Tekanan alirannya tentu saja jauh lebih kuat, sehingga bukan tidak mungkin semakin banyak yang kena cipratannya jika proyek pengerjaannya tidak benar dan apalagi luncas hingga ke saku baju dan celana.

Sebagai sebuah kemungkinan, mungkin-mungkin saja. Lantaran, Rp. 3,1 miliar adalah sebuah angka yang besar, dan perihal itu cukup kenyang untuk di-embat. Namun, bukan hanya karena demi menyongsong Sail Komodo 2013, tetapi lebih-lebih demi kesejahteraan warga kota Labuan Bajo, semoga kemungkinan itu tidak terbukti-jadi.

***

Warga Labuan Bajo sudah cukup menyita banyak waktu dan tenaga hanya untuk menimba air dari sumber-sumber mata air. Sudah cukup lelah mengantre dan kemudian menggotong jerigen setiap tiga hari sekali. Warga Labuan Bajo sudah bosan mendengar kisah ketidakbecusan pengelolaan air bersih. Warga Labuan Bajo pun sudah malu mendengar kisah bahwa ada sebagian warga yang lain yang mencuri air dengan cara memotong pipa dan kemudian air tersebut dijual.

Karena semuanya itulah, warga kota Labuan Bajo meminta keseriusan dan konsistensi elemen manapun yang diberi tanggung jawab mengurusi proses pengelolaan air bersih, (entah pemerintah, entah swasta) untuk benar-benar menjalankannya. Tujuannya pertama-tama (tentu saja) bukan lantaran ‘terperanjat’ karena pada 2013 akan digelar Sail Komodo, tetapi lebih-lebih demi menjawab kebutuhan kehidupan warga yang telah lama dahaga. Dahaga pada ‘mata air’ yang tak harus dicari di ujung-ujung slang sampai harus mengeluarkan ‘air mata’.