Di halaman Facebook hari ini, kawan saya menautkan berita yang dilansir Kompas.Com dari Dailymail tentang  keberhasilan New Scotland Yard yang membongkar rencana untuk “menjual keperawanan” gadis-gadis muda London demi uang 50.000 poundsterling atau sekitar Rp 650 juta ke orang-orang Arab kaya.

Bagi saya ini bukan kisah baru, walau yang terjadi adalah di belahan negara lain yang bernama: Inggris. Di Indonesia, kasus serupa sudah sering dan bahkan masih berlangsung. Di beberapa tempat di tanah air, jual beli ‘perawan’ bahkan ada yang nyaris menjadi ‘budaya’.

Tentang itu, budaya bahkan seperti melazimkan, agama seperti tidak peduli dan negara apalagi, lepas tangan. Padahal, jika mau jujur tiga hal itu: budaya, agama dan negara, seharusnya menjadi punggawa kesejahteraan manusia baik lahir maupun bathin. Agar ‘keperawanan’ tidak tergadai, dan tubuh manusia tetap menjadi berkat yang tetap berada pada tempat yang bermartabat.

Namun, rupa-rupanya, ketiga hal itu: Agama, Budaya dan Negara kalah telak oleh sangarnya pasar (pusaran ekonomi global). Cengkramannya begitu kuat, sehingga keagungan budaya, kesakralan agama, dan kewibawaan negara tercerabut dari akar-akarnya. Sontoloyo…ketiganya terjerembab, terjebak dan akhirnya membeo.

Singkatnya, pasar jauh lebih superior. Untuk menunjukkan superioritasnya saya bisa menunjuk beberapa argumen bagaimana dalam kasus perdagangan manusia (jual-beli perawan) pasar jauh lebih ‘mengumat’ dari agama, jauh lebih ‘beradab’ dari budaya, dan jauh lebih ‘merakyat’ dari negara.

Bukti itu bisa ditelisik dari modusnya yang rupa-rupa. Di tanah air saya menemukan dua modus yang sangat sering digunakan, yakni atas nama pengiriman tenaga kerja, dan nikah siri. Namun jika ditelisik lebih jauh dua modus ini hanya sedikit yang diketahui.  Protokol Palermo misalnya, menyebutkan ada banyak varian lain untuk itu.

Saya mengutip itu pada ayat tiga Protokol Palermo yang menyebutkan definisi aktivitas transaksi meliputi: 1) perekrutan, 2) pengiriman, 3) pemindah-tanganan, 4) penampungan atau penerimaan orang.

Selanjutnya dilakukan secara paksa dan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainya, seperti: 1) penculikan, 2) muslihat atau tipu daya. 3) penyalahgunaan kekuasaan 4) penyalahgunaan posisi rawan, 5) menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.

‘Perawan’ itu mahal…tidak ada kata lain untuk melukiskannya selain kata-kata itu. Perawan menjadi begitu mahal (secara ekonomis) karena bisa dijual beli, bukan lantaran karena alasan kemiskinan secara ekonomis semata. Tetapi juga karena agama kehilangan kesakralannya, buadaya kehilangan keadabannya, juga negara kehilangan wibawanya.

Di hadapan pasar, sudah seperti yang saya katakan di awal, Sontoloyo…ketiganya terjerembab, terjebak dan akhirnya membeo. ‘Pasar’ sudah menjadi budaya, negara dan agama baru. Mungkinkah? Sudah ada tanda-tanda untuk itu…pasar jauh lebih ‘mengumat’ dari agama, pasar jauh lebih ‘beradab’ dari budaya, pun pula pasar jauh lebih ‘merakyat’ dari negara.