Sayu adalah putri pasangan suami istri Haji Sahak dan Nyai Hajjah Andun. Dia adalah gadis yang cantik, sebagaimana gadis-gadis Pagar Alam yang lainnya. Kulitnya pun bening sebagimana kulit gadis-gadis minang pada umumnya. Namun, di tangan Medasing senyumnya luluh, bathinnya terluka. Medasing tidak hanya terkenal sebagai perampok-penyamun yang bengal, tetapi juga seorang pembunuh yang kejam. Di tangan Medasing, kedua orang tua Sayu, Haji Sahak dan Nyai Hajjah Andun tewas. Di tangan Medasing pula-lah Sayu sang perawan hidup dalam awas yang panjang.

Hingga tiba suatu saat, Medasing terantuk petaka, tubuhnya terluka setelah gagal menjagal rombongan saudagar. Tidak ada seorang pun yang sanggup merawat tubuh sang bengal. Puluhan pengikutnya sendiri pun ciut. Menyentuh tubuh Medasing berarti memberi kepala secara gratis untuk disembelih. Namun tidak bagi Sayu sang perawan terculik. Walau masih dalam situasi awas dan kecut yang mencekam dia memberanikan diri menjatuhkan pilihan. Dia memilih untuk menolong Medasing walau disakiti, ketimbang harus membencinya karena dilukai. Sungguh sebuah pilihan moral yang terpuji.

Sudah sejak itu, jarak antara keduanya didekatkan oleh perjumpaan yang berulang karena rasa. Perjumpaan antara sang penyamun dan sang perawan yang lazimnya menerkam dan mengelak, justru berubah menjadi memberi dan menerima. Sebuah perjumpaan yang bagi saya sungguh berada di luar batas akal, tetapi ternyata menjadi mungkin dan bahkan membersitkan makna yang mendalam. Bahwa sesungguhnya tidak semua penjahat seperti Medasing itu pada dasarnya jahat, dan tidak semua orang orang takut-kecut-ciut-lemah seperti Sayu itu berparsah.

Karena perjumpaan itulah cara pandang dan penilaian antara keduanya menjadi berubah. Medasing sesungguhnya adalah sosok yang baik di mata Sayu, yang terlalu sayang untuk ditinggal mati. Demikian juga sebaliknya di mata Medasing, Sayu adalah rahmat, yang terlalu sayang untuk dinodai. Sampai tiba suatu ketika, Medasing akhirnya menjadi Haji Karim yang baik hati, yang mempersunting seorang Sayu ‘sang perawan tertawan’ sebagai istri. Keduanya hidup bahagia dan damai dalam lingkungan yang juga bahagia dan damai.

Ketika pertama kali saya membaca novel ini di Sekolah Menengah Pertama (SMP), jujur saja, saya tertawa geli. Sayu yang yang cantik dan perawan mengapa dibiarkan utuh-sempurna oleh seorang Medasing yang Bengal dan kejam?

Demikianlah ringkasan novel ‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’ karya salah satu sastrawan terbaik Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana (lahir di Natal Sumetera Utara 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta 17 Juli 1994, pada umur 86 tahun) yang bagi saya sangat menggugah jiwa. Mengapa tidak? Jawaban tentang ini sesungguhnya elok-beragam, tetapi saya cukup diri menyebutkan satu hal yang membuat siapa pun termasuk saya nyaris tidak percaya dengan apa yang sudah dikemas-sampaikan Alisyahbana.

Satu hal yang mengejutkan itu adalah tentang tokoh Sayu. Pertama adalah tentang Sayu yang tetap perawan di sarang Medasing sang penyamun, dan kedua adalah juga tentang Sayu yang mau merawat Medasing. Pertama, Ketika pertama kali saya membaca novel ini di Sekolah Menengah Pertama (SMP), jujur saja, saya tertawa geli. Sayu yang yang cantik dan perawan mengapa dibiarkan utuh-sempurna oleh seorang Medasing yang Bengal dan kejam? Lantaran pertanyaan nakal ini, sampai-sampai dengan polos saya mencoba menduga dua hal, pertama, Medasing adalah penjahat yang banci-impoten dan kedua, dia adalah seorang yang sangat profesional yang fokus pada tujuannya yakni merampok harta material dan membunuh, bukan yang lain seperti halnya memperkosa.

Namun dugaan itu dipatahkan dalam sekejap setelah saya mencoba untuk mendalami pada masa dan juga latar belakang mana novel ini diterbitkan. ‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’-nya Alihsyahbana muncul pada Era Pujangga Baru dimana semua karya sastranya sangat mengedepankan sastra yang intelektual, nasionalistik dan elitis. Sastrawan-sastrawan terkenal pada masa itu, selain Alisyahbana sendiri ada pula Amir Hamzah, Armijn Pane, Sanusi Pane dan Rustam Efendi. Pada masa itu terdapat dua kelompok aliran yakni aliran “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dan aliran “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’ sesungguhnya mengusung visi seni untuk pembangunan masyarakat, dimana moralitas, identitas budaya serta tindakan baik dikedepankan. Tokoh Sayu dan juga Medasing yang ditampilkan Alisyahbana sebenarnya mau mengemukakan alasan tersebut. Bahwa moralitas, lebih tepat disebut kebaikan akan keluar sebagai pemenang di tengah kecamuk kejahatan dan situasi kekejaman. Sayu sang perawan yang tetap perawan sekalipun di sarang penyamun dan Sayu yang mau memilih membantu-menolong orang yang menyakitinya, serta selanjutnya pertobatan Medasing yang menjadi seorang Haji Karim yang derwmawan adalah bentuk kekuatan moralitas itu.