Untuk apa saya menulis? “Itulah sebuah pertanyaan yang saya tujukan untuk diri saya sendiri. Sebab bila saya tak tahu jawabannya, maka tulisan saya akan terasa hampa dan tak bernyawa. Sebab menulis itu harus dari hati dan bukan karena demi gengsi atau mencari popularitas semu. Ingin ngetop atau ingin dipuji sana-sini, dan dipuja banyak orang. Bagi saya, menulis adalah bagian dari ibadah. Saya ingin berbagi apa yang saya ketahui dan sekaligus juga bersilahturahmi”

Demikian Wijaya Kusumah menulis pengalaman mengapa dia menjadi begitu jatuh cinta dengan dunia tulis menulis. (http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/27/untuk-apa-saya-menulis/). Sepakat dengan Wijaya Kusumah, bahwa menulis pertama-tama bukan untuk tujuan mencari  popularitas atau ingin ngetop, tetapi merupakan sebuah amanah dan ibadah dalam praksisnya merupakan sebuah bentuk silaturahmi.

Inilah sesungguhnya hakikat dan juga roh dari kegiatan tulis menulis. Roh yang senantiasa membuat seseoarang menjadi sadar bahwa dalam relasi dengan orang lain (dalam komunitas sosial) perannya melalui kegiatan menulis menjadi penting. Penting lantaran dia selain menjadi bermakna untuk orang lain karena gagasan-gagasannya, pengalaman-pengalamannya, juga menjadi (tentu saja) bermakna untuk dirinya sendiri karena kesan dan refleksinya yang selalu baru.

Hemat penulis, ‘roh’ di atas menjadi perlu dan penting untuk ditanamkan dan dikembangkan di kalangan kaum muda dan remaja, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Lantaran, menulis selain merupakan tanggung jawab mereka sebagai pelajar atau mahasiswa karena tugas belajar dan studinya, juga merupakan ekspresi dan pengukapan diri.

Kegiatan menulis dengan ‘roh’ ini, hendaknya ditanam ke dalam pengelaman keseharian hidup mereka sebagai bagian dari bentuk komunikasi yang efektif dan pengungkapan diri yang konstruktif. Penulis memiliki catatan pengalaman menarik tentang hal ini.

Di Meulaboh Aceh Barat, komunitas pelajar Sekolah Menengah Umum (atau sederajat) yang tergabung dalam Peace and Green Community (PGC), sebuah komunitas remaja yang melaksanakan berbagai aktivitas perdamaian melalui berbagai kegiatan (pendidikan berseri, seni budaya dan analisis social), mencoba menangkap roh tersebut dalam kegiatan menulis mereka.

Melalui blog induk mereka http://peaceandjusticeeducation.wordpress.com dan blog pribadi (seperti http://adinovanta.wodpress.com, http://adinda.wordpress.com, http://nurhalimah05.wordpress.com) serta bulletin dwibulanan KomKit (Komunitas Kita) mereka dengan serius dan rutin menuangkan berbagai gagasan dan pandangan seputar kehidupan mereka sehari-hari, baik di sekolah, di rumah, maupun dalam dan tentang berbagai kegiatan yang mereka lakukan sebagai sebuah komunitas. Gagasan-gagasan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan, baik opini, reportase, puisi maupun cerpen (cerita pendek).

Berdasarkan amatan penulis selama pendampingan dan pergulatan langsung bersama mereka, komunitas pelajar ini sadar betul bahwa, dalam konteks Aceh, di mana komunitas masyarakat sedang ‘berjuang’ mempertahankan perdamaian yang sudah sedang berlangsung, mereka memiliki peran dan tanggung jawab moril untuk itu.

Dalam mendukung perdamaian Aceh yang berkelanjutan mereka tidak cukup dengan belajar yang tekun lantas menjadi cerdas di ruang kelas. Walaupun sejatinya itu adalah prioritas utama mereka sebagai pelajar. Namun melalui kegiatan menulis, mereka pun berperan secara maksimal. Tujuannya bukan untuk menunjukkan kemampuan dan kehebatan mereka, apalagi sekedar sensasi.

Melalui motto ‘Saatnya anak muda bicara damai dengan menulis’ mereka  seakan menegaskan bahwa merupakan sebuah upaya kongkret yang dilakukan secara terus menerus untuk mendukung perdamaian Aceh yang sudah sedang berlangsung. Harapan mereka, sebagaimana halnya harapan seluruh masyarakat Aceh, bahwa Aceh harus tetap damai.