teater tari do daidiSeni baik sebagai kreativitas estetis maupun respons kehidupan sosial  sebetulnya mau mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan baik untuk seniman itu sendiri dan maupun kehidupan manusia pada umumnya.

      Sebagai sebuah cerminan realita, karya seni berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi serentak mengangkatnya kembali ke dalam realita dengan pembenaran-pembenaran moral, nilai-nilai dan ajaran-ajaran.

      Semua karya seni selalu merupakan protipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari betapa pun absurdnya genre karya tersebut. Sumber karya jelas individual, tetapi sumber terakhir karya adalah tradisi dan konvensi yakni sumber yang digali melalui representasi fakta-fakta sosialnya. Dengan demikian, karya seni memiliki tujuan akhir yang sama yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna dan sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki alam semesta.

      Teater tari ‘Do daidi’ yang digarap Komunitas Seni Damee Meulaboh yang dipentaskan pada 25 April 2009 di Pantai Kasih Meulaboh Aceh Barat adalah salah satu contoh bentuk  karya seni yang mencoba mengangkat kembali realita kehiduan perempuan (ibu) sebagai ‘guru’ yang mengajarkan dan mewariskan  nilai-nilai tertentu, kepada anak-anaknya. Namun sang Sutradara Syech ‘Astaga’ Kakek mengemasnya dalam alur yang elok.

      Diawali dengan lantunan do daidi dan gambaran seorang ibu yang sedang mengayun anak dalam bentuk siluet senja, sekelompok remaja memasuki pentas menarikan fakta. Seorang menampi beras, seorang yang lain menumbuk padi, yang lain menyapu rumah dan yang seorang lagi berdoa. Inilah rutinitas keseharian perempuan dalam gambaran publik.

      Kemasan menjadi mistis karena tabuhan rapai menjadi serupa suara beduk magrib. Pentas mengantar penonton ke ruang sunyi. Tiba-tiba seorang perempuan tua naik pentas. Dengan gerakan yang lamban menggambarkan perjalanan kehidupan manusia perempuan, diringi lantunan shalawat badar perempuan tua meminta anak gadisnya memapahnya setelah sembahyang. Di dipapah keluar, sebelum sekelompok anak usia lima tahunan menarikan Meu Sekat.

      Teater tari do daidi yang dikemas Komunitas Seni Damee Meulaboh (KSDM) menggambarkan dua hal penting. Pertama, menghidupkan kembali bentuk pewarisan sejarah asali Aceh. Perempuan adalah guru pertama bagi seorang anak. Ketika sang anak masih bayi, menjelang lelap ibu mengajarkan nilai-nlai keagamaan, ketakwaan, kebijakasanaan dan perdamaian “tak jaga nanggroe dame” Mempertahankan perdamaian bangsa.

      Kedua, membongkar kebiasaan bahwa dalam mengajarkan dan mewariskan sejarah generasi penerus bukan tong kosong yang sekedar diisi nilai-nilai baru. Generasi muda dengan  kesadarannya memiliki peran dan kekhasaannya dalam kehidupan social. Mewariskan sejarah dengan demikian bearti saling belajar antara generasi. Ibu harus belajar kepada anak, demikian juga anak harus belajar kepada ibu. Inilah yang hilang dari konteks pewarisan sejarah. Generasi penerus diabaikan dan dianaktirikan. Sementara jika jernih melihat generasi penerus memiliki nilai-nilai tersendiri yang menjunjung tinggi martabat dan moralitas, dan itu pantas untuk ditumbuhkembangkan.

      Demikianlah do dai di, selain mengangkat fakta tentang sejarah, juga serentak mengevaluasinya. Sejarah tidak berulang, dia berkembang. Demikian juga dengan bentuk penanaman nilai-nilai kepada generasi penerus, jika sebelumnya adalah ‘biarlah anak cepat besar agar pergi berperang kelak” sekarang saatnya berbeda “cepatlah besar anakku sayang, agar kelak menjadi juru damai”