Membaca Novel Ken Arok Ken Dedes karya saya, tentu sangat penting untuk melihat 'keberadaan' kita sebagai bangsa di masa lalu. Persoalannya, bagaimana kita melihat mengenai sejarah kita di masa lalu yang penuh intrik dan pertumpahan darah karena tergoda "tiga ta" (harta, tahta, wanita) seperti yang dilakoni Ken Arok beserta keturunannya dan keturunan Tunggul Ametung?! Di sinilah perlunya kita bercermin di depan 'kaca banggala' sejarah yang penuh dengan romantisme sekaligus suasana intrik dan aksi balas dendam.

Ketika aku masih sekolah dasar, ada dua orang tokoh yang paling aku kagumi. Pertama adalah  Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku, raja keenam Kerajaan Medang (yang lazim disebut sebagai kerajaan Mataranm Kuno) yang memerintah sekitar tahun 840-an-850-an. Kekagumanku pada Sang Jatiningrat  atau Rakai Pikatan ini selain karena tampan, memiliki kekuatan sakti, juga karena beristri cantik yang bernama Pramodawardhani.

Tokoh kedua adalah Rama putra mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan ibukotanya Ayodya. Dalam cerita Ramayana, dikisahkan bahwa Sejak remaja, Rama berguru kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda tangguh. Rama kemudian mengikuti sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahi putri sulungnya bernama Sinta.

Tampan, memiliki kekuatan sakti sehingga mampu mengalahkan musuh pada setiap pertempuran, serta ditemani istri yang cantik rupawan adalah idola masa kecilku. Pada Rakai Pikatan dan Rama, aku menemukan sosok itu.

Bukan tanpa latar aku mengenal tokoh-tokoh idolaku ini. Adalah ayahku yang memperkenalkannya kepadaku. Ayahku adalah guruku. Kepadaku, ayahku tidak hanya memperkenalkan tentang kekuatan bahasa dalam bercerita, bertutur dan menulis. Tetapi juga tentang bagaimana bertutur, bercerita dan menulis, sehinga pendengar atau pembaca menjadi terpikat oleh sosok dan atau topic yang dikisahkan.

Tentang Rakai Pikatan dan Rama, ayahku bercerita dengan wajah bergetar. Intonasi bahasa tampak kokoh ketika mengisahkan tentang kekuatan Rakai Pikatan dan Rama. Kelembutan Pramodawardhani dan Sinta dilukiskan dengan elok. Tentang musuh-musuh, ayahku bercerita dengan nada murka. Suaranya gegap gempita, lembut menyapa kadang tinggi menyengat, menghantam-hantam dinding ruang kelas. Aku, dan aku membayangkan juga teman-teman kelasku ketika terkesima.

Tentang alur dan garis kisah, ayahku mengisahkannya dengan apik. Satu diantaranya yang membuatku senantiasa membuka telinga untuk mendengarkan kisah dari mulut ayahku adalah kisah tentang kerajaan Singasari, sebuah kerajaan di Jawa Timuryang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222.

Satu yang menarik dari kisah Singasari adalah tentang keris Mpu Gandring. Keris pembunuh yang bergenerasi sejak Mpu Gandring, Sang Pembuat Keris. Kebo Ijo, rekan Ken Arok. Tunggul Ametung, Penguasa Tumapel pada saat itu. Ken Arok, Pendiri Kerajaan Singasari. Ki Pengalasan, pengawal Anusapati yang membunuh Ken Arok. Anusapati, Anak Ken Dedes yang memerintah Ki Pengalasan membunuh Ken Arok. Sampai pada Tohjaya, Anak Ken Arok dengan Ken Umang.

Keris pembunuh penuh muatan politis juga bernuansa romantic. Ayahku menceritakannya dengan apik. “Keris maut” itu dijadikannya sebagai media bercerita tentang sejarah kerajaan Singasari.

Namun yang paling menarik. Tentang semua kisah, baik tentang tokoh-tokoh maupun kisah-kisah social dan politik masa lalu. Ayahku pasti akan menyimpulkannya untuk dua hal ini: Pertama, kata ayahku, setiap tokoh dilahirkan dan dibesar oleh peristiwa. Jadi mancobalah untuk memaknai setip peristiwa perjumpaan dengan apa dan siapa pun. Banyak tokoh-tokoh besar lahir lantaran kekuatan memankanai peristwa dengan jernih dan mampu menariknya menjadi ajaran untuk dirinya.

Kedua, kata ayahku, tentang kisah ‘Keris Pembunuh’ itu, tentang peperangan dan pertikaian  adalah bahwa konflik manusia tidak akan pernah berakhir. Konflik itu adalah sesuatu yang abadi. Manusia hanya diminta untuk selalu mentransformasi diri. Selalu dan senantiasa memperbaharui diri. Ayahku menyebutnya dengan istilah ‘pertobatan’. Setiap konflik harus dialami sebagai moment untuk berbenah diri. Manusia yang lari dari konflik, bukan hanya pengecut, tetapi juga manusia yang tidak akan menemukan siapa dirinya. Demikian kata ayahku.

Catatan: sumber gambar dan teks pada gambar adalah http://wawansusetya.blogspot.com/2009/01/ken-arok-ken-dedes.html