Sebilah sabit dan sebatang linggis murka tak kepalang tanggung. Dengan masih belepotan darah, keduanya dibuang begitu saja ke tepi jurang, tergeletak di antara semak-semak, dekat sebidang tanah yang baru saja digarap seseorang. Rumput, batu dan bongkahan tanah di sekitarnya terperanjat. “Bajingan, heh kenapa ke sini?”.

“Maaf, bukan kami, tapi seseorang yang membuang kami di sini. Kami masih ingat, tangannya bergetar hebat ketika membuang kami ke sini” jelas sebilah pisau.

“Bajingan, siapa yang bajingan! Kemarin saya masih di seberang  ladang itu, dengan tangan seseorang aku menggali tanah. Memang sudah seperti itu aku difungsikan. Sementara, kalau tidak salah, sebilah sabit  ini pun di sana, dengannya, tangan seseorang menebas rumput” timpal linggis.

“Ya, kami di seberang ladang itu” aku sabit.

“Seseorang itu memang bajingan” umpat batu, “Beberapa hari yang lalu, saya pun di buang ke sini, setelah seseorang menimpuk kepala seseorang yang lain” lanjutnya

Hening. Beberapa saat ketiganya larut dalam pikiran masing-masing. Sebilah sabit tampak menjijikkan, ujungnnya belepotan darah segar.  Demikian juga linggis, darah bercampur cairan otak menempel-lumas memenuhi badannya. Batu, yang kecipratan darah segar itu, tapak memerah.

“Mengapa kita bisa dipertemukan di sini?” Sebilah pisau mulai merenung.

“Apakah kita korban” sambung linggis.

“Atau jangan-jangan kita adalah pelaku” tambah batu.

“Bertanyalah kepada rumput yang bergoyang itu sahabat” pinta lumpur.

Seperti tersadar, semuanya menengok ke arah rumput. Tampak, lambaiannya berat. Hujan semalaman membuatnya tertunduk. Di tambah tindihan gulingan linggis, rumput bagai tak berdaya. Namun, secara pelahan, ia mulai bangkit.

“Beruntung, hari sudah sore, dan sebentar lagi akan turun hujan” rumput memulai membuka suara, setelah sekian lama memperhatikan dan mendengarkan ketiga ‘tamu tak diundang’ itu berbicara.

“Beruntung pula, kalian dilepamparkan di sini, persis di tepi ladang yang baru saja digarap” lanjutnya.

“Kalian semua akan selamat dan tidak saling menuduh sebagai bajingan. Karena hujan akan membasuh bersih kita semua, lalu bersama lumpur, segala dosa dan salah yang dibuat oleh seseorang itu, akan membawa pergi menuju lembah. Di sini, di tempat ini, setelah semuanya bersih, kalian akan kembali seperti sedia kala, menjadi bagian dari tangan-tangan mereka yang memberi kehidupan kepada dunia. Sementara aku, mungkin besok atau lusa akan pergi menuju kematian”

“Mengapa demikian saudara?” tanya sabit ingin tahu.

“Esok atau lusa, kau sabit akan memenggal kepalaku. Dan  kau linggis, akan mencerabut akar-akarku, dan kau batu, akan menjadi pembatas petak-petak ladang ini. Esok atau lusa, bukan aku lagi yang akan tumbuh di sini, tetapi tetumbuhan yang lain”

Mendengar kisah tulus itu, sabit, linggis dan batu menitihkan air mata. Sementara rumput terus bergoyang sambil melapas senyum  menguatkan. Walau sesungguhnya hidupnya tidak lama lagi.

“Jangan pernah kita menangisi kehidupan dan kematian kita, tetapi yang perlu kita tangisi adalah mengapa seseorang itu membunuh seseorang yang lain. Sekalipun seseorang itu tidak mempedulikan kita, tetapi adalah kewajiban kita mempedulikan mereka” lanjut rumput.

“Bajingan benar seseorang itu” ketiganya mengumpat bersahut-sahutan.

Catatan: Kata-kalimat ‘Bajingan’ dalam tulisan di atas terisnpirasi dari sajak Joko Pinurbo yang berjudul ‘Doa Seorang Bajingan’ (1995).

Doa Seorang Bajingan

Bajingan itu sudah tak tahan menggenggam pisau

Yang belepotan darah. Ia termenung di tepi kolam.

Hatinya berdesir oleh semilir angin dan gersik dedaunan.

Pisau mencoba menghiburnya. “Kita teman seperjuangan.

Tenangkan hatimu. Jangan terharu oleh darah dan kematian.

Kekejaman harus kupertahankan.”

Ia termenung. Ia kuat-kuatkan hati agar tidak goyah

oleh perasaan bersalah. Ia duduk di atas mayat korbannya,

bersenandung riang menikmati cahaya bulan, langit biru

dan awan yang menyisih pergi sambil ditimang-timangnya

pisau yang sudah diam-diam mengincar jantungnya sendiri.

Bajingan mulai kesepian. Ia takut melihat bayangan

Yang bergoyang-goyang di dasar kolam. Sementara mayat

Yang didudukinya belum juga mengatupkan giginya.

Esok paginya beberapa orang menemukan tubuhnya sudah

Mengambang di atas kolam yang jernih dan tenang.

Pisau menancap di dadanya. Mayat yang mendudukinya semalam

Sudah pergi entah ke mana. Di jidatnya yang manis tertulis

doa: semoga ajalmu membebaskan rakyatku dari kematian.

“Pemimpin kita telah wafat dengan sangat indah”

Mereka kemudian membawa pisau itu ke museum perjuangan.