kris bhedaJarum jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Hujan sudah berhenti, setelah sepanjang malam menyirami bumi. Tapi dingin masih menusuk-nusuk tanpa henti hingga aku menggigil. ”Aku harus mandi, biar dingin ini pergi” kataku dalam hati. Namun, ketika aku beranjak ke bibir sungai, langkahku terhenti. Sungai Beutung itu sudah berubah rupa jadi kelabu. Hujan semalaman telah mengotorinya.

Wajah sungai pagi itu tidak seramah hari-hari kemarin. Gelagatnya pun memburu. Menampar-nampar batu, mencabut-cabut akar-akar berjumbai layu, menggerus serta tanah yang bisu. Seekor cacing mengeluh ‘mengapa aku terbawa arus hulu, sedang aku bukan sepotong kayu, aku tidak pernah berubah jadi sesuatu, selain serupa aku melata lugu, yang hanya mampu menggembur tanah debu.

Pun ada yang mengadu, tidak sudi membasuh wajah yang layu, walau nanti sepanjang hari berpeluh lesu. Berenang di dunia keruh, ‘aku sendu’ Umpat mujair di balik terumbu. Sebab, sudah jadi seteru. Hujan di gunung telah menimpa tanah tanpa penghalau. Ulu Masen telah kehilangan rimba hijau. Daun-daun jatuh pada debu. Ditindih batang tubuh kayu.

Sedang, dari atas utas kulit kayu, yang terentang antara jalan-jalan buntu. Tiga bocah Beutung Ateuh berlalu dengan tawa yang lugu. Dari balik wajah yang kemayu. Seperti tidak mengerti apa artinya lucu. Mereka tidak tahu, di bawahnya arus berseteru. Menampar-nampar waktu. Mencabut-cabut akar-akar sejarah masa lalu. Membawa serta tanah leluhur yang tergerus bisu.

Dengan masih mengenakan sarung, tanpa sepasang kasut, aku kembali ke dayah (pasantren), terus menelusuri sisi mushola menuju perapian yang hampir saja padam. ”Hendak aku hangatkan badan” kataku lagi dalam hati. Namun, hatiku berdebar ketika melempar pandang ke langit lepas. Di sana, di atas, di ujung bambu berkibar bendera putih yang masih setengah basah. Sementara di kaki tiang bendera, di sana, di bawah atap rumah yang dibiarkan terbuka berbaris-baris nisan berbalut sorban putih. 

 Pandanganku melempar ke ujung terjauh. Sebuah peci hitam yang sudah tampak usang tampak tersangkut di kayu pagar. Sajadah dari anyaman gebang tergeletak di satu ujungnya. Dari kain putih yang setengah terbuka tampak sebuah kotak kayu yang entah berisi apa. Di balik nisan yang dibungkus kain putih satu kali empat meter itu beristirahat dengan tenang dan damai salah seorang ulama besar, yang disegani dan dihormati di Beutung Ateuh, bahkan di Aceh yakni Teungku Bantaqiah.

 Di samping nisan Teungku Bantaqiah berbaris-baris belasan nisan santrinya. Pada setiap batu nisan terbalut kainsorgan putih yang sudah usang, mataku tidak sempat menghitung berapa jumlahnya, karena dadaku terus bergetar. Entah mengapa aku begitu ketakutan. Tubuhku dingin, jari-jariku seperti mati. Kedua tungkaiku pun seperti lumpuh. Mungkin karena di balik dadaku berteriak-teriak panggilan hati.

 ”Mengapa Teungku Bantaqiah dibunuh? mengapa para santri ditembak mati? Kapan tragedi berdarah ini sampai menemukan titik temu? Dosa siapakah ini? Apakah putra Teungku Bantaqiah dan para santri yang tertinggal hidup menyimpan dendam? Mengapa pemerintah seperti bisu? Mengapa harus ada darah dan air mata di lembah keindahan ini? dan mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa semua mulut terkunci diam seperti tidak ada darah yang tercurah” pertanyaan itu datang menyesakkan dada. Belum juga sebuah jawaban dirajut, pertanyaan lain tiba-tiba saja muncul. Tumpang tindih. Marah, haru, getir, tragis, sunyi dan diam bersangkut paut serupa serabut sampai membuat dadaku mau pecah berhambur.

 Api padam. Tertinggal arang-arang kayu yang kelam. Sesekali melepaskan asap putih sampai akhirnya benar-benar senyap. Hilang bara. Aku pun beranjak pergi. Kembali menyusuri dinding mushola lantas berhenti persis di depan  tugu kayu di mana Teungku Bantaqiah gugur sebagai syuhada.

 Di lingkup pagar tugu dua kali dua meter inilah peluru senapan menerjang dada Teungku Bantaqiah dan menggugurkan 56 orang santrinya. Peristiwa tersebut kemudian disebut sebagai “Tragedi Beutung Ateuh”. Pertanyaanku sambil menatap jauh ke langit Beutung ”Akankah tragedi itu melupa lalu. Mengapa harus Teungku Bantaqiah gugur karena dihujan tuduhan palsu, yang sampai kini belum tuntas diusut”