Sastra adalah karya yang berbeda. Sastra menjadi berbeda, bukan hanya karena dapat berubah dari zaman ke zaman secara mengejutkan lantaran kreatifitas sastrawan yang ‘selalu tidak nyaman’ dengan segala konvensi yang ada. Tetapi juga karena kehadirannya yang bersifat ganda. Sastra tidak hanya hadir menyajikan keelokan dan keindahan kata, ia juga menyajikan pesan  yang bermakna.

Tentang itu Quintus Horatius Flaccus sudah memaklumkan. Dalam tulisannya yang berjudul  Ars Poetica penyair kelahiran Venosa Italia ini mengemukakan istilah ‘dulce et utile’.  Bahwa sastra berfungsi ganda, ia tidak hanya menghibur (dulce) karena menampilkan keindahan, tetapi juga memberikan makna (utile) terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiaraan) atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi.[*]

Pertama, kehadiran sastra dikatakan menghibur karena sastra menjawab kebutuhan emosional manusia (pembaca) entah tentang kegembiaraan, kesenangan, kebahagiaan maupun tentang air mata dan kesakitan. Berhadapan (membaca) dengan karya sastra kita tidak hanya diantar masuk untuk  turut berperan dalam menghidupkan kata, tetapi juga memberi jarak sejenak kepada kita untuk mengagumi keindahan dan keelokan pelukisannya.

Karena sifatnya yang menghibur , karya sastra hadir begitu intim dan dekat dengan pembaca. Bahkan pada dan dalam situasi tertentu, pembaca mengalami kedekatan dan intimitas itu sebagai dirinya sendiri. Tidak ada jarak antara dirinya dengan sastrawan, ia bahkan melebur dalam kata dan menjadi kata itu sendiri (ekstase-estetis).

Kedua, intimitas inilah yang memaklumkan bahwa karya sastra itu bermakna. Bermakna bukan hanya kerena sastra menarik pembaca untuk menjadi lebih dekat dengan pengalaman pembaca itu sendiri. Tetapi juga, memungkinkan pembaca untuk memberi garis dan batasan tafsirnya sendiri. Pembaca menemukan pesan dan makna yang tersingkap dari kata-kata yang tersampaikan. Entah karena  sastra mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan (edukatif-didaktis), entah karena memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang sifat-sifat moral, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburan, pun pula tentang meningkapkan tentang relasi perjumpaan personal antara manusia dengan Sang Pencipta (religious).

Inilah dua hal yang menjadi cirri dasar sebuah karya sastra. Bahwa dia tidak hanya dapat hadir menghibur (fungsi estetik), tetapi juga mampu hadir sebagai penyampai pesan yang amat personal kepada pembaca.


[*] Bdk. Melani Budianta dkk. ‘Membaca Sastra, Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi’  Indonesia Tera: 2008, hal. 19.