Tidak seperti biasa Nurillah terlambat memulai aktivitas rutinnya. Para santriwati sudah berkumpul. Dari ruangan terpisah Azam sesekali menyembulkan kepalanya, mencoba memastikan Nurillah sudah hadir atau belum. Namun, hingga  tiga puluh menit berlalu, Nurillah belum juga menunjukkan dirinya.

“Ya Allah, kemana Nurillah”

Azam mencoba menebak. Mungkin karena peristiwa kemarin sore. Mungkin Nurillah sudah mengetahui semuanya. Mungkin Nurillah kecewa. Sehingga memutuskan untung mengurung diri di dalam kamar, atau mungkin saja pergi ke Al Hikam.

“Asalamuallaikum adik-adik”

“Wallaiukum salam kakak”

Azam tersenyum. Nurillah akhirnya datang juga. Tetapi tidak seperti biasanya. Wajah Nurillah pagi itu tampak sembab, seperti baru saja menitihkan iar mata. Penampilannya pun biasa, tidak secantik hari-hari sebelumnya. Tampak seperti tidak berdandan.

Tetapi di hadapan santriwati, Nurillah tetap tampil seperti biasa. Ia meminta maaf atas keterlambatannya dan memberikan alasan yang cukup masuk akal, bahwa ia sedang mencari buku pelajaran yang entah di mana ia letakkan. Para santriwati memaklumi itu.

Sedang, di sebelah ruangan,  Azam menjadi tidak tenang.  Ia was-was. Hingga pelajaran pagi itu usai 30 puluh menit kemudian, Azam masih tampak cemas. Pun ketika Nurillah pergi meninggalkan para santriwati  tanpa mengucapkan salam kepadanya, hati Azam menjadi kian gundah.

Azam menyusulnya  hingga ke perpustakaan. Meminta Nurillah untuk mendengarkan duduk masalah yang sebenarnya. Azam semakin yakin jika karena peristiwa kemarin sore yang membuat Nurillah tampak tidak ramah pagi hari itu.

“Nurillah” sapanya.

Namun Nurillah tidak menjawab. Ia berdiri mematung. Matanya menatap lekat wajah Azam. Tampak jelas kemarahan di matanya.

“Nurillah”

Nurillah berlalu, menyisir rak-rak buku. Mencai-cari. Tidak peduli.

“Nurillah…Abang ingin mengatakan sesuatu tentang kemarin sore”

Nurillah berhenti.  Ia memalingkan wajah. Tetapi ia mencoba mengelak.

“Sudah jelas bang…Nurillah tahu apa yang terjadi antara bang Azam dan Zahra. Yang membuat Nurillah ingin tahu adalah mengapa abang tidak pernah jujur kepada Nurillah sebelumnya?”  wajahnya memerah. Kelembutannya seketika hilang.

“Nurillah, Zahra adalah kisah masa lalu abang. Sekarang  antara abang dan Zahra sudah tidak ada apa-apa lagi. Tetapi mengapa Nurillah menjadi marah seperti ini?” Azam mencoba menjelaskan.

“Jika benar Zahra adalah masa lalu abang, mengapa abang selalu cemas ketika berhadapan dengan Zahra. Mengapa tingkah dan tutur kata abang menjadi berbeda ketika berhadapan dengan Zahra. Mengapa Zahra meneteskan air matanya ketika Nurillah mengatakan akan menikah dengan Abang…Nurillah mohon suapaya abang jujur, sebelum semuanya terlanjur bang?”  pinta Nurillah memohon.

Azam  terdiam beberapa saat.  Mencoba  untuk tenang.

“Nurillah…dulu antara abang dan Zahra saling mencintai. Tetapi kemudian karena alasan keyakinan abang meninggalkannya. Nurillah tahu kan…kalau Zahra bukan seorang muslimah. Tidak mungkin abang memilihnya menjadi  kekasih. Namun, yang membuat abang selalu merasa cemas ketika berhadapan dengan Zahra adalah karena abang meninggalkan Zahra dalam ketidakpastian” Azam mencoba menjelaskan semuanya.

“Jangan pernah membohongi hati seorang wanita bang…Nurillah adalah juga seorang wanita. Nurillah tahu kalau abang masih mencintai Zahra. Apalagi sekarang Zahra sudah menjadi seorang muslimah. Bukankah itu semua karena abang? Abang telah memberi harapan yang besar kepadanya?”

Azam terdiam. Nurillah menghujamnya dengan bertubi pertanyaan.

“Nur….”

“Cukup bang…penjelasan abang sudah cukup buat Nurillah” Nurillah memotongnya

“Sekarang Nurillah minta kepada abang, supaya jujur kepada  Nurillah…apakah abang masih mencintai Zahra atau tidak?” lanjutnya dengan tanya.

“Nur…”

“Jawab bang….ya atau tidak” kejar Nurillah.

Nurillah tampak tidak sabar. Ia begitu gusar. Kelembutannya benar-benar hilang. Kecantikannya tiba-tiba raib.  Sifat asalinya sebagai wanita yang keras tampak begitu nyata.

Azam menatapnya lekat.  Bibirnya bergetar.  Ada kekesalan yang muncul dalam dadanya setelah melihat ketidaksabaran Nurillah. Ia tidak menyangka, kalau Nurillah begitu gusar. Karenanya, Azam mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan Nurillah.

Azam membalikkan badannya kemudian pergi. Nurillah ditinggalkannya sendiri. Azam tidak peduli.