Dalam setiap siang aku mencari. Aku memanggilmu di bawah terik. Pernah100_7649 kutanyakan kepada sahabat tentang kabarmu. Mereka menjawab tidak tahu. Aku mendatangi rumahmu, hanya menemukan gembok yang mengarat dan halaman yang penuh sampah daun kerontang.

Aku mencarimu di tempat-tempat yang sering kau kunjungi. Di perpusatakaan aku hanya menemukan bekas jarimu yang masih hangat pada lembaran buku yang baru saja dibaca. Di bawah pohon rindang di puncak tebing Giri hanya kutemukan tissue yang masih basah karena air mata. Aku berlari ke pantai, tapi jejakmu hilang dijilat lidah ombak. Aku pergi ke sungai, ke padang, dan ke pematang, aku hanya menemukan jejak buntu. Aku adalah aku. Aku masih di sini. Siang menjadi singkat. Dalam waktu yang singkat itu aku hanya menemukan jejak tak bertuan.

Ke manakah kau pergi? Apakah engkau tak akan pernah kembali? Jika boleh aku meminta, coretkan pada secarik kertas nomor telepon atau alamat terakhirmu. Berikan aku tanda, biar aku menelusurinya. Haruskah kau membayang-bayangiku dalam setiap senyap malam, seperti malam ini?

Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Malam ini, di hadapan bayangmu, engkau membuatku harus bertanya lagi. Apakah engkau ada jauh di sana, duduk di satu sudut bintang, atau di permukaan bulan memancarkan ke hadapanku bayangmu yang yang tak pernah pudar.

Apakah engkau dalam senyap yang sama, seperti malam ini. Engkau menghadirkanku dalam bayangmu, bertanya tentang kesetiaanku, tapi enggan untuk menemani kesendirianku. Tapi dalam bayangku malam ini, engkau sudah tampak lelah sembunyi. Engkau ingin mengunjungiku sekarang juga. Engkau ingin mengejutkanku dengan kehadiranmu, senyum, dan pelukan mesramu. Engkau mau mengucapkan apa kabar kepadaku.

Jika engkau memang datang, duduklah di hadapan nyala lilin ini. Lalu kita akan buat janji, kita tidak akan pernah saling mencari, kita harus bertemu untuk memulai, kita tidak akan pernah pergi lagi. Tapi bayang tetaplah menjadi sebuah bayang. Malam selalu membuatku senyap dalam bayang yang sulit lupa.

Dalam setiap siang aku mencari. Tapi yang kutemukan hanya jejak-jejak buntu. Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Tapi yang kutemukan hanya bayang yang tetap menjadi bayang. Dalam siang aku menjadi semakin lelah, dan dalam malam aku menjadi semakin senyap. Aku mau kuburkan jejakmu, dan lupakan bayangmu. Tapi aku tidak sanggup. Sebab engkau anugerahku.