Hari sudah malam. Rumah Nailuh tampak sepi. Terang pelita di bawah jendela sesekali redup membentuk latar yang temaran. Semilir angin malam meraba ari, menggigilkan. Di luar hujan jatuh rintik-rintik. Bersama si buah hati, Nailuh masih menunggu suami pulang meladang. Detik berdetak seperti semakin cepat, sang bayi pun bertingkah. Dia meronta dan merengek, menangis memekik pecah sunyi malam itu.

Tapi Nailuh tersenyum. Ibu 25 tahun itu mendekap bayinya erat-erat penuh rasa, penuh sayang. Saat bayi sedikit diam bertingkah, Nailuh menidurkannya di ayunan yang tergantung di pinggiran pintu kamar. Dengan suara yang lambat, terdengar sayup-sayup Nailuh berdendang penggalan bait terakhir do do daidi Cut Aja Rizka…Allah hai jak lon timang preuk (Kemarilah Ibu timang-timang Nak)/Sayang riyeuk disipreuk pante’ (sayangnya ombak memecah pantai)/O’h rayek sinyak yang puteh meupreuk (kalau sinyak yang berkulit putih udah besar)/Teh sinaleuk gata boh hate’ (dimanakah engkau akan berada nanti buah hatiku)…Sambil menimang-nimang sang buah hati syair itu mengalir. Seperti mengerti, sang bayi menyimak setiap untaian syair yang lepas lalu, sampai akhirnya dia tertidur dalam pelukan malam.

Di luar alam berubah, rintik-rintik hujan semakin cepat jadi melebat. Pelita menghamburkan biasnya, bertimpa-timpa jingga, merah, pekat senja. Angin malam terus menampar dinding papan, menerobos masuk melewati pori-pori rumah. Dari balik pintu yang setengah terbuka, sang suami muncul dengan pakaian setengah basah. Belum juga melepas lelah, dia beranjak mendekat menatap ke balik lipatan ayunan. Tanpa kata, hanya tersenyum.

Kebiasaan menimang-nimang si buah hati seperti yang dilakukan Nailuh tidak sekedar menjadi dendangan pengantar tidur. “Ini yang orang bilang nyanyian ayun aneuk atau do do daidi” kata Nailuh singkat.”setiap syair yang dilantunkan mengandung pesan agar kelak anak kita menjadi anak yang soleh, baik dan beriman kepada Allah dan kami orang Aceh percaya itu” tambahnya lebih lanjut.

Kebiasaan seperti yang dilakukan Nailuh dan semua ibu di Aceh jika dikaji secara ilmiah ada benarnya. Seperti yang ditulis Asep Haerul Gani dalam tulisannya yang berjudul “dododaidi dododaidang, bangun pekerti dengan menimang” (lengkapnya di http://portalnlp.com ) bahwa pada masa pertumbuhan, bayi hampir seratus prosen digerakkan oleh subconscious-nya. Otak bayi sedang berkembang. Bayi seakaan-akan dalam state yang reseptif, apapun diserap. Bayi boleh dikatakan dalam state yang selalu takjub terhadap hal baru. Penasaran akan hal yang belum dikenal. Semuanya menarik, tak ada yang patut ditakuti apalagi dibenci.

Gani menambahkan, bayi memiliki siklus tidur dan siklus bangun. Ibu yang baik sangat hapal dan terbiasa dengan siklus sang anak. Kegiatan menimang-nimang anak dilakukan Ibu untuk mempercepat sang Bayi perlahan-lahan masuk ke siklus tidur. State ini adalah state yang baik untuk pemrograman subconscious. Semakin sering sebuah kata atau kalimat di-install pada state ini, maka semakin akan mudah menempel. Pada konteks yang tepat pemrograman ini akan jalan dengan sendirinya.

“ya betul, kata-kata dalam do do daidi yang dinyanyikan Cut Aja Rizka itu mengajak anak agar setelah besar nanti bisa ke medan perang, tetapi itu dulu…” kata Nailuh singkat “Sekarang situasi sudah berubah, kita sudah damai” lanjutnya.

“Oleh karena itu, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, di mana Aceh sudah damai, jika kita mau menidurkan anak, syair-syair pengantar tidur harus tentang perdamaian. Syair-syair itu harus disesuaikan dengan situasi. Kita bisa merubahnya. Kita harus ajak anak-anak kita untuk menjadi pembawa damai jika dia besar kelak” kata Nailuh menganjurkan. “Sekarang syair ayun aneuk, bukan lagi mengajak anak untuk membangun Aceh dengan perang, tetapi syair-sayairnya harus yang sejuk dan damai ” tambahnya.

Sebelumnya dimuat di Buletin SUNSPIRIT For Justice and Peace, Gampong Geutanyoe edisi September-Oktober 2008.