Dua remaja putri dan enam remaja putra lari terbirit-terbirit ketika mengetahui kedatangan kami. Seorang dari antara mereka nyaris ketinggalan handphone genggam. Namun, dengan malu-malu dia kembali mengambilnya, kemudian pergi menghilang di balik semak belukar menyusul yang lainnya.

Peristiwa itu terjadi siang tadi, Kamis, 12 Juli 2012, di gedung yang belum tuntas di bangun. Gedung dua lantai itu sedianya akan difungsikan sebagai rumah sakit. Rumah Sakit Umum Daerah bertaraf internasional yang diberi nama RSUD Komodo lantaran terletak di desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo Manggarai Barat Flores.

Ceritanya demikian. Beredar kabar sebelumnya, bahwa RSUD yang proses pembangunannya menelan dana sekitar Rp 6 miliar itu telah dijadikan kadang sapi dan tempat mesum. Perihal dijadikan sebagai kandang sapi sudah menjadi konsumsi public. Namun sebagai tempat mesum, masih terdengar senyap. Hanya segelintir orang yang tahu.

Dan kebetulan, kami adalah bagian dari yang segelintir orang itu. Maka kami mencoba untuk melihat lebih dekat, mencoba menemukan alat-alat bukti untuk menunjukkan kurang lebih benar ‘kabar burung’ yang sudah sedang beredar itu.

Ke-enam remaja putra dan dua remaja putri yang lari ketakutan tentu belum bisa dijadikan alat bukti. Walau pun kami bisa menafsir bahwa bangunan yang dibangun syarat korupsi itu cukup nyaman bagi mereka untuk melakukan hal-hal di luar batas norma, andai kami terlambat dan apalagi tidak jadi datang. Namun, ah…itu tafsiran yang ‘sungguh terlalu’ alias terlalu meng-ada-ada.

Seperti satuan gagana yang sudah sedang mengendus kardus bom atau seperti tim forensic kepolisian yang sedang olah tempat kejadian perkara (TKP), kami memulai penyelidikan. Sebuah penyelidikan yang kami beri nama “Operasi Hajar”

Proses penyelidikan dimulai dari luar bangunan. Di sekitar bangunan yang sudah memakan dua korban lantaran dijadikan sebagai tersangka (sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses pembangunan gedung RSUD Komodo, yakni mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat, dr. I Gusti Ngurah Harijaya dan Anton Jomi selaku kontraktor pelaksana) kami menemukan alat bukti yang kurang lebih cukup, yakni beberapa plastic kemasan kondom bermerk fiesta dan durex.

Selanjutnya kami memasuki gedung, membedah ruang per ruang. Namun, kami memang harus berhati-hati. Seluruh lantai ruangan penuh dengan pecahan kaca jendela, beling botol kaca dan pecahan campuran semen. Tidak hanya itu, kami pun harus melawan bau pesing-pengap kencing dan tinja, sesekali pula harus menyalakan lampu handphone (yang terangnya tidak seberapa) pada beberapa ruangan yang gelap.

Di beberapa ruangan kecil dan agak gelap, kami menemukan alat bukti selanjutnya, yakni tidak hanya kemasan plastic kondom dengan merek yang sama, tetapi juga beberapa kondom yang belepotan lendir yang tergeletak di sekitar potongan kardus dan karung plastic. Dugaan sementara, kardus dan karung plastic mungkin telah dijadikan sebagai tikar/alas ketika proses ‘baku lipat’ terjadi agar kulit tubuh tidak sampai dimakan beling.

Hai…ketika proses penyelidikan sudah sedang berlangsung, tiba-tiba salah seorang warga yang katanya tinggal tidak jauh dari bangunan itu datang menemui kami. Entah untuk apa, namun banyak kisah disampaikan laki-laki paruh baya yang tidak hendak disebutkan namanya itu tentang bangunan yang tanah bangunannya dihibahkan secara cuma-cuma oleh warga desa Golo Bilas itu. Salah satu, katanya, “Gedung ini mendingan di bongkar lagi saja, daripada dibiarkan begini dan dijadikan tempat orang baku main”.

Persis. Inilah dampaknya. Korupsi pembangunan gedung RSUD Komodo tidak hanya memakan korban dengan terjeratnya para pelaku, tetapi juga menimbulkan apatis warga/masyarakat itu sendiri terhadap pemerintahnya. Sebagian masyarakat merasa jenuh kemudian menjauh dari banguan yang nyaris di kepung semak itu. Sebagian yang lain memandangnya dengan sinis dan meminta untuk ‘lebih baik diruntuhkan saja’.

Namun, rupa-rupanya sbagian yang lain lagi, sebagian yang mungkin lebih kecil, merasa nyaman, ‘jangan dilanjutkan pembangunannya, apalagi dirombohkan, biarkan saja, karena kami mau menjadikan tempat tersebut sebagai tempat mesum. Kan asyik tuh, ber-mesum di atas beling’.

Well…Penyelidikan selesai. Hasil penyelidikan dan alat bukti kami serahkan ke pembaca. Silahkan mengadili. Keputusannya terserah. Tapi, kalau mau jujur, saya sebagai pencatat yang mencatat kisah ini bisa menebak apa keputusan pembaca. Pembaca mungkin akan bilang “kasus begini banyak terjadi di tempat lain dan sudah bisa. Bahkan di kuburan pun orang ber-mesum”. Well…well…