Meratapi kegagalan dan bahkan kehancuran dan kematian adalah perbuatan yang manusiawi. Manusia menumpahkan air matanya sebagai wujud dari kecemasan, ketakutan dan bahkan cinta. Kecemasan dan ketakutan pada kesendirian dan cinta yang tidak dapat lagi diperjumpakan. Ratapan dan meratapi dengan demikian selanjutnya disebut sebagai elegi. Elegi adalah syair air mata, senandung ratapan dan puisi duka.

Namun,  jauh dari sekedar ‘nyanyian duka lara’ atas kecemasan, kehancuran, kematian dan cinta yang ditinggalkan, elegi sejatinya adalah pergulatan kehidupan manusiawi manusia untuk melawan keterasingan, ketakutan dan bahkan dosa. Elegi, dengan demikian selanjutnya, selain sebagai bentuk bersyair dengan air mata, sebagai wujud senandung duka, juga pada saat yang sama merupakan proses pembebasan, sebuah upaya untuk melepaskan diri dari salah dan dosa.

Dua kesalahan dan dosa yang biasa dilakukan adalah salah dan dosa yang dibuat karena kita sengaja berbuat salah atau dosa, selanjutnya adalah dosa dan salah yang diperbuat orang lain terhadap kita. Lima syair dalam kitab Ratapan adalah elegy Yerusalem, karena dosa dan salah yang dibuat warga Yerusalem sendiri.

Elegy selain merupakan dosa dan salah yang dibuat oleh manusia terhadap dirinya sendiri, juga adalah perbuatan orang lain atas pribadi manusia yang lain. Dosa dan salah yang demikian membuat manusia yang lain menjadi korban atas salah dan dosa yang kita perbuat.

Pada sempat yang tenang kucoba suluk sungguh pada kata-kata yang tersayat-sayat, membuncah dalam doa penuh air mata, karena penindasan yang dilakukan secara sengaja oleh kekuasaan Negara yang bernama Indonesia terhadap warga negaranya sendiri yang bernama warga Papua. Sebaris kata penuh air mata itu menyembul dalam doa berjudul ‘Doa Anak Telanjang’. Selengkapnya doa itu demikian:

 

Tuhan Allah Bapa dan Ibu Kami

Kau sudah tahu toh

Saya duduk, berdiri, berjalan di atas lumuran

Darah dan serakan tulang belulang tete-nenek leluhur bangsa ini.

Bapa telah meninggal, mama juga telah pergi

untuk selama-lamanya setelah diperkosa oleh pasukan penyisir

Kakaku ditembak ketika anak-anak negeri

Mencari kebenaran dan keadilan

 

Tuhan, Sumber dan Tujuan Hidup Kami

Kami anak telanjang duduk seorang diri

Kayu perahu sudah ditebang

Dusun sagu telah dibabat jadi lokasi

Transmigrasi dan kelapa sawit

Burung kuning sudah mulai punah

Laut sungai kini telah tercemar

Rahim bumi kami dikuras demi segelintir orang rakus

Tanah adat kami dicaplok oleh pemerintah, militer, pedagang, pengusaha

Dan barisan panjang amber-amber dorang.

 

Tuhan, apakah mereka juga anak-anak-Mu?

Mengapa mereka begitu biadab?

Ataukah urat hati mereka sudah putus?

Tuhan di manakah anak negeri ini?

Hanya satu pintaku sebagai anak bangsa bumi Cenderawasih:

 

Tuhan Embunkan Kami

Semangat juang lelulur tanah Papua

Biarlah darah mengalir menyinari ibu kami

Papua, biarlah tulang belulang yang berserakan

Di belantara tanah ini menjadi anak cucu masa depan

Biarlah para pejuang satu persatu kembali pada-Mu

agar tumbuh seribu.

 

Tuhan Allah Bapa dan Ibu Kami

Biarlah Yosepha senja semakin senja agar sejuta

Yosepha lahir dari rahim Papua Baru

Anak telanjang mati dibacok badik.

Tertembak peluru api

Ditabrak pembunuh professional

Karena anak telanjang dianggap mabuk.

Ia mati, mati, mati…

 

Roh  anak telanjang membakar semangat juang

Anak Papua untuk selama-lamanya.

Amien

Dua bentuk salah dan dosa di atas yang selanjutnya menyembul dalam syair air mata dan nyanyian ratapan mengisyaratkan satu hal yang sama adanya harapan-harapan dan kekuatan-kekuatan. Harapan dan kekuatan yang tidak hanya untuk memohon pengampunan, tetapi juga pelepasan diri dari beban derita manusiawi manusia, yakni pembebasan.

Pembebasan dengan demikian merupakan bentuk pengutuhan yang secara manusiawi dimengerti sebagai pengutuhan manusia dengan dirinya dalam lingkungan dan alamanya, dan secara teologis diimani sebagai perjumpaan, kembali dan menyatunya manusia dengan dan bersama Allah.

Catatan:

  • Doa Anak Telanjang karya Pastor John Jonga, diciptakan saat sahabatnya, Yosepha Alomang, mendapat Yap Thiam Hien award pada Desember 1999. Ia juga dibacakan pada lokakarya Yayasan HAMAK Timika, Januari 2002. Doa Anak Telanjang dibacakan lagi oleh Yuliana Langwuyo di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 10 Desember 2009 ketika Pastor John juga menerima Yap Thiam Hien Award.
  • http://www.andreasharsono.net/2009/12/doa-anak-telanjang.html