mirota batikPenulis bangga menjadi kita Indonesia, karena menjadi kita Indonesia, penulis selalu tertawa, tentu saja karena lucu. Dan lucunya kita Indonesia ini salah satunya karena ada sikap dan tindakan kita Indonesia yang hampir sama seperti para polisi dalam film India, yakni selalu terlambat datang ketika semua masalah sudah tuntas. Ketika ditanya siapa yang menuntaskan, baru buru-buru mengklaim bahwa karena tugas mereka, masalah itu teratasi. Kita Indonesia hampir serupa itu. Entah di mana, bagaimana dan seperti apa kita Indonesia selama ini jika berbicara tentang khasanah budaya dan aset bangsa. Mungkin atau jangan-jangan, Kita Indonesia selalu tidur jika berbicara tentang budaya dan kebudayaan, juga aset dan pusaka bangsa. Baru setelah dipungut dan diambil orang atau negara lain, kita Indonesia baru sadar, baru terjaga. Tidak hanya itu, kita Indonesia pun panik, berteriak-teriak, ribut-ribut bahkan  sampai menuduh orang atau negara lain ‘pencuri’.

 Orang dan negara yang kita Indonesia tuduh itu adalah Malaysia. Gara-garanya adalah karena mengklaim tari pendet menjadi miliknya. Dan gara-gara itu pula negara yang pernah dan sedang memaling hak hidup tenaga kerja kita Indonesia itu lantas diplesetkan menjadi Malingsia. Hak hidup tenaga kerja dan Pendet kita Indonesia hanya satu dua yang dimaling, ‘Negeri maling’ ini, jauh hari sebelumnya sebenarnya sudah ‘memaling’ reog, angklung, batik, rendang, wayang dan lagu rasa sayange. Sempat-sempatnya juga mereka melirik Ambalat, mungkin di lain waktu Borneo dan Sumatera.

 Berbicara tentang hal ini, kita Indonesia tidak hanya sekedar berkutat dengan sepotong tari Pendet atau reog, angklung, batik, rendang, wayang dan lagu rasa sayange sampai Ambalat yang jauh sebelumnya sudah diklaim negara serumpun, Malaysia, menjadi miliknya. Tetapi ketika kita Indonesia sedang berbicara tentang Ambalat sampai Pendet berarti kita Indonesia sedang berbicara tentang rasa memiliki identitas kebangsaan kita. Kita Indonesia berbicara tentang kekitaan, ke-Indonesia-an. Menurut hemat penulis, mengapa kekhasan budaya, aset dan identitas bangsa ini, maaf… saya menyebutnya sebagai ‘alat vital’ karena memang sangat penting, diambil oleh negara lain rupa-rupanya karena kita Indonesia tidak mempunyai rasa memiliki, minim perhatian dan kasih sayang terhadap identitas budaya dan aset bangsa kita sendiri.

 Penulis mengambil cukup tiga contoh soal yang menunjukkan bahwa kita Indonesia menganaktirikan budayanya dan aset bangsa yang sebenarnya adalah ‘alat vital’nya. Pertama, dalam debat capres dan cawapres pada putaran pilpres 2009, persoalan kesenian dan budaya nyaris hilang dari tema yang diangkat. Persoalan ekonomi, tentang makan dan uang menjadi sangat luar biasa diomongkan, seolah-olah, meminjam kata-kata Yesus, kita Indonesia hidup hanya dari ‘roti’ saja, padahal kita juga harus hidup oleh karena ‘roh’. Bayangkan…persoalan seni dan budaya yang menjadi ‘roh’ bangsa ini diletakkan dinomor kesekian, seolah-olah tidak penting pada hal itu adalah ‘alat vital’ yang menunjukkan identitas bangsa ini.

 Kedua, sebagai putra Flores Nusa Tenggara Timur, saya sangat sakit hati membaca berita dan menoton televisi tentang rencana pemerintah memindahkan lima pasang komodo ke pulau Bali. Sepintas, alasannya memang cukup masuk akal, menjaga komodo dari kepunahan. Namun jika dicerna lebih dalam  alasan itu sungguh sangat bego. Bagaimana mungkin memindahkan komodo dari habitatnya yang sudah beranak pinak sejak ribuan tahun ke pulau yang ‘membingungkan’. Dan mengapa baru ketika komodo dinominasikan menjadi salah satu keajaiban dunia, baru pemerintah pusing tujuh keliling untuk pindah sana, pindah situ. Pemerintah kita Indonesia rupa-rupanya tidak terlalu serius memikirkan ini, sampai-sampai keputusannya asal netas-netes.

 Ketiga, ini soal Ambalat. Mengapa Ambalat dilirik malaysia? Tentunya karena Malaysia memberikan perhatian lebih ke Ambalat ketimbang Indonesia. Arus dan kebutuhan ekonomi masyarakat Ambalat lebih mudah didapat dari Malaysia ketimbang Indonesia. Kita Indonesia mengklaim Ambalat sebagai bagian dari aset bangsa hanya sebatas geografis, tetapi soal perhatian dan kasih sayang, kepedulian dan bela rasa kita Indonesia sangat-sangat minim. Jangankan Ambalat nun jauh di sana. Di Aceh pun masyarakatnya lebih nyaman berobat ke Malaysia ketimbang di rumah sakit di kotanya. Tentu saja karena minim dan buruknya pelayanan dan fasilitas rumah sakit kita Indonesia.

 Tiga contoh soal di atas hanya sedikit dari sekian banyak contoh soal yang menunjuk kepada ketidakpedulian, ketidak-rasamemiliki-an, ketidaseriusan kita Indonesia dalam dan untuk menjaga, merawat, melindungi, memperhatikan dan mengembangkan buah budi daya, warisan budaya, potensi kelokalan, juga aset bangsa ini sendiri. Kita Indonesia lupa dengan ‘alat vital’-nya sendiri, karena kita Indonesia lebih mau meributkan soal kepentingan dan nafsu ‘kursi’, nafsu kekuasaan. Baru ketika ‘alat vital’ itu raib, kita Indonesia baru ramai-ramai, dan ini yang membuat saya bangga menjadi kita Indonesia, yakni ketika kita menjadi seperti sekelompok orang yang mengejar dan berteriak  “maling…..maling…maling…” sambil menenteng golok puntung tumpul.

Keterangan gambar:

Gambar di atas direkam penulis pada awal Juli 2009, ketika dalam perjalanan menuju Yogyakarta, tepatnya di Morota Batik Malioboro. Papan peringatan yang bertuliskan ‘copet di larang masuk’ yang dipasang di depan pintu utama Mirota Batik menunjukkan sebuah sikap tegas atas siapapun, lebih-lebih pengunjung agar tidak melakukan pencurian terhadap berbagai asesoris unik yang ada di dalamnya. Sementara di dalam Mirota Batik sendiri berjejal-jejal beragam asesoris unik yang mewakili ke-Indonesia-an kita, kehidupan kita, keseharian hidup kita juga kematian kita dan perjumpaan kita dengan Tuhan lewat bau kemenyannya yang menyengat. Pengalaman ke Mirota Batik dan perjumpaan saya dengan papan peringatan di depan pintu utamanya dan juga sebuah berbagai jenis asesoris di dalamnya mengisnpirasi penulis untuk menulis kegundahan, kesan dan pesan di atas.