rumahMagrib. Sesudah aku membasuh tubuh, hendak aku menyujud syukur. Melewati serambi rumah, aku menunduk, memungut anak kunci yang jatuh. Belum juga aku membuka pintu, terdengar gaduh di kamar ibu.

 

Mengapa gaduh? Ibu berseteru? Tidak biasa ibu lakukan itu. Namun, sepanjang hari ibu murung. Wajahnya layu. Hari ini ia bagai orang dungu. Hanya sekali ia mengeluh, sejenak sebelum aku menengok ayah yang sudah 40 hari mendekam di perut debu.

 

“Jufri, setiap hari mimpi ibu terangkat ke udara, dihantar debu dapur yang pekat dan bau hawa tubuh tua ini. Ibu seperti merangkak, menyengat, menusuk ke panci dan periuk, ke piring dan teko. Setiap hari di dapur nan beku, ibu menumpuk numpuk mimpi, jadi santapanmu, santapan kita”

 

Mungkin karena keluh itu. Dan sepi ditinggal ayah yang bagai lelaki benalu. Menampar ibu seperti mengetuk beduk, jika kopi tidak kunjung mampir di meja serambi. Ia mungkin mengamuk. Mengamuk dengan dirinya sendiri.

 

Dari balik lubang kunci, sedang ibu menarik laci mengambil kitab suci, mengangkat tinggi-tinggi, lalu membanting ke lantai. Tangan ibu lagi, mendarat lagi di laci, mengambil belati, menusuk diri, tepat di ulu hati, dan menjerit.

 

Ah…apatah itu salah tuhan di surga suci? Apatah ibu di balik lubang kunci? Ayah di peret debu? atau belati yang dilaci?

 

Ibu hampir mati. Ia menjerit. Tapi pintu terkunci. Tanganku bergetar ingin keluarkan ibu dari kemelutnya. Tapi aku tiada peduli. Aku biarkan ibu mati, kematiannya adalah suci. Mati kata, padam kisah. Kematian sendiri di kamar sepi adalah tragedi.