Adalah orang-orang yang tidak pernah mengalami hidup jika dalam kesehariannya terkurung dalam rutin dan ritual. Sekalipun setiap hari membicarakan tentang Tuhan, Sang Pemberi Kehidupan. Sekalipun mengawali hari dengan ‘Dominus Vobiscum’ (Tuhan Sertamu) dan menarik tirai hari senja dengan sepatah harapan ‘Amin’. Sekalipun tinggal dalam rumah Tuhan sampai membiarkan dirinya dibakar sejuta nyala lilin dan tak lelah mendengar teriak-jeritan doa-doa ummat.

Dalam yang rutin dan ritual, bukan hanya raga yang dipenjara, tetapi juga jiwa disiksa. Sederetan kata-kalimat bijaksana semisal totalitas penyerahan, pengutuhan, solidaritas dan pelayanan rupa-rupanya sengaja untuk dikumandangkan agar diketahui sebagai yang jelas untuk disimak dan baik untuk diteladani. Kesantunan yang ditampakkan, kelembutan yang diumbar, kebijaksanaan yang dilontarkan adalah sesungguhnya ledakan-ledakan ketakberdayaan manusiawi manusianya.

Aku menyaksikan, kemunafikan sesungguhnya begitu dekat melekat pada mereka yang mengagungkan yang rutin dan ritual. Mereka seperti arus yang terus mengalir, seperti selalu hidup, tetapi secara perlahan mengemut-emut akar-akar terjuntai. Mereka seperti titik-titik air yang jatuh begitu selalu dan senantiasa, tetapi secara perlahan merapuhkan wadas di bawahnya. Dan masih banyak seperti yang selalu dan senantiasa. Walau dalam ke-selalu-an itu ada ‘korban’ yang tidak diraba mata.

Aku menyaksikan, kejenuhan dan kebosanan ditenggelamkan dengan sakit dalam kepasrahan. Kemanusiaan digadaikan dengan harapan-harapan yang entah. Hanya demi sesuatu yang sesungguhnya tidak dimengerti dan diterima kehidupan. Sebagai misal, hidup dan kehidupan sesamanya (yang lain) diletakkan begitu bermartabat, sampai mereka sendiri lupa bahwa jauh lebih bermartabat jika hidup dan kehidupannya dihargai.

“Salah satu sisi dalam kehidupan adalah merefleksikan diri dalam yang rutin dan pada yang ritual, bukan melarut pada yang rutin dan menjadi bagian pada yang ritual”

Tidak hanya menyaksikan, aku pun mendengar kisah-kisah mereka yang terlalu miris untuk dipaham-mengerti. Bahwa di hadapan yang rutin dan ritual, mereka menjadi orang lain bagi dirinya sendiri. Demi yang rutin, mereka harus tunduk pada waktu, pun pada hari, pun pada dogma, pun pada kebaku-bekuan. Demi yang ritual, mereka harus mengabaikan akal sehat, debat, diskusi, pencerahan-pencerahan, kreatifitas, inovasi dan terobosan-terobosan.

Aku mendengarkan sebagian kisah mereka, bahwa kehidupan itu adalah semu. Kehidupan yang seharusnya suluk dalam fakta, larut dalam realitas, terlibat dan melibatkan diri dalam kehidupan justru digadaikan dengan hidup dan kehidupan yang melulu harapan-harapan, cita-cita dan janji-janji. Hendak larut dalam fakta, dan atau suluk dalam harapan adalah kebimbangan terberat bagi mereka. Ke-semu-an itu menjadi tampak dalam kebohongan-kebohongan yang akhirnya diterima sebagai yang baik. Bahwa demi kebaikan, mereka harus rela menjadi bukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Akhirnya aku harus jujur bahwa dalam yang ritus dan pada yang ritual, manusia, siapa pun, tidak akan dapat menjadi dirinya sendiri. Namun, jika ada yang mengatakan bahwa dalam yang ritus dan pada yang ritual ia menemukan siapa dirinya, maka yang ditemukan adalah dirinya yang lain. Mimpi-mimpi, yang sesungguhnya dalam hidup dan kehidupan tidak terlalu mendapat tempat.