“Lihatlah diriku, sebuah kata yang maknanya samar-samar dan membingungkan; kadangkala tak bermakna; kadangkala bermakna banyak hal” Demikianlah Gibran mendefinisikan dirinya (dlm. Hari Kelahiranku, Martin L. Wolf (ed) Treasury of Kahlil Gibran (Risalah Karya Terbaik) Tarawang Press, Yogyakarta 2002, hal. 90). Ia menyebut dirinya sebagai kata. Mengapa Gibran harus mengidentikan dirinya sebagai kata? Tentunya tidak sebatas kata sebagaimana terbaca dalam kamus bahasa sebagai sebuah unsur bahasa terkecil yang merupakan perwujudan kesatuan pikiran dan perasaan. Tampaknya ada makna tersembunyi yang mau disampaikan Gibran melalui arti kata tersebut.

Aku ’Gibran’ adalah Kata

Dapat digambarkan bahwa kata yang dimaksudkan Gibran merupakan buah gagasan dan pikiran yang terbaca dalam tulisan-tulisannya, yang melaluinya meninggalkan ambiguitas penafsiran di kalangan pembaca dan komentator. Dalam dan melalui kata, Gibran mengungkapkan banyak hal, dengan banyak cara. Gibran dapat melantunkan kedukaan dengan riang, kegembiraan dengan air mata dan amarah dinyanyikannya. Di ujung penanya kata mencair, melebur berpadu-utuh dengan rasa dan nalar jadi sebuah bahasa ungkap yang hidup, segar, teduh, menyengat dan membakar jiwa.

’Lihatlah diriku, sebuah kata…’ seakan-akan menjadi ajakan untuk sebuah pemaknaan yang dibiarkan lepas-bebas untuk ditafsirkan. Lantaran itu tidak heran jika Gibran dalam artian tertentu dimaknai sebagai kata yang bermakna dalam banyak hal. Ada yang menyebut Gibran sebagai mistikus, penyair, sastrawan, filsuf, agamawan, pencinta damai, nabi tidak sedikit pula ada yang menyebutnya sebagai manusia abadi.

Penamaan dan sebutan itu merupakan kesimpulan yang masuk akal dari kata yang dituangkannya dalam tulisan-tulisannya. Tidak jarang pula melalui kata yang sama Gibran dipandang sebagai pemberontak, kafir, revolusioner dan pendurhaka. Gibran diidentikan dengan kata yang tidak bermakna, tidak memiliki arti bagi kehidupan, selain hadir tidak lebih sebagai orang gila yang diabaikan.

Namun semua penamaan, sebutan dan pemaknaan atas kata tentang Gibran masih menyisahkan tanya mungkinkah seluruh sifat-sifat itu ada pada seorang manusia Gibran? Inilah Gibran yang hadir sebagai sebuah kata yang maknanya samar-samar dan membingungkan. Gibran dalam dan melalui dirinya yang sama merupkan kata yang takterkatakan, samar-samar dan bahkan membingungkan.

Lalu, Aku ‘Kita’?

Mari kita mendefinisikan siapa kita. Mari kita mendefinisikan siapa ‘aku’-nya kita di hadapan kehidupan yang ringkas namun padat ini. Dalam hidup yang hanya sekejap mata Tuhan, yang hanya selama sehela napas-Nya. Kita bukanlah ‘bukan siapa-siapa’. Kita adalah bagian dari rencana-Nya, kita adalah makhluk yang bermakna di hadapan-Nya.

Jika kita menjadi pecundang dalam kehidupan yang ringkas itu, maka serupa itulah kita. Lantaran kita tak diberi kesempurnaan oleh-Nya. Kesempurnaan kehidupan kita adalah proses yang panjang dan tak berkesudahan. Namun, kita lantas tidak mangkir dari kesempatan untuk terus berbenah diri. Dari momen-momen sunyi dan saat-saat meditatif. Tuhan memberikan kepada kita untuk senantiasa menjadi diri kita sendiri.

Selanjutnya, jika kita menjadi baik dalam kehidupan yang ringkas itu, maka kepongahan bukanlah definisi diri yang tepat. Tetaplah kita menjadi bagian dari rencana-Nya. Segala kemudahan, kebaikan dan rezeki atau anugerah yang diberikan-Nya kepada kita, tidak lebih adalah titipan-Nya. Berbaik hati, murah hati dan ‘baku peduli’ adalah definisi diri yang tepat bagi.

Siapakah kita dalam dua medan itu, yang bagaikan hitam dan putih itu, adalah sebuah upaya untuk terus menjadi diri sendiri. Kita sudah diberikan-Nya kesempatan. Kita sudah diberikan-Nya kemudahan. Kita sudah diberikan-Nya solusi-solusi kehidupan dalam dan melalui bakat dan talenta, orang-orang, alam dan semuanya, segalanya. Dalam dan melalaui semua pengalaman perjumpaan itulah kita bertemu dengan diri kita sendiri.

Pertanyaanmu, dan juga aku ‘Siapakah aku?’. Jawabannya tidak ringkas. Jawabannya panjang dan mendalam sepanjang dan semendalam pencarian untuk menemukan identitas kita dalam kehidupan. Apakah dalam proses perjalanan kehidupan kita, kita sampai pada ‘kata’ sebagaimana yang didefinisikan Gibran tentang dirinya. Mungkin saja.

Namun, yang pasti bahwa, jawaban atas siapakah aku dalam kehidupan kita masing-masing adalah sebuah definisi yang belum jadi. Sebab sesungguhnya yang kita tahu tentang siapa kita adalah sebagian kecil dari misteri kehidupan kita itu sendiri.

Catatan: Sebagian tulisan ini sebelumnya sudah diposting disini