Mengatasi Keberulangan Abadi

Mengenai Kata adalah Katarsis, Kata adalah Hidup, dan Kata adalah Tuhan

Oleh Alexander Aur[1]

Awal mula

Nietzsche memandang dan menjalankan hidup dengan seluruh irama kehidupannya sebagai rangkaian dari pengulangan demi pengulangan yang dialami manusia. Setiap hari-hari manusia menghadapi dan mengalami berbagai hal. Kebosanan, kesepian, kematian, kesombongan, kelelahan, pertarungan, kemiskinan, berdoa, peperangan, ziarah ke kuburan atau tempat-tempat suci keagamaan, menyambangi tempat-tempat pelacuran, hasrat sex, tertawa dan sebagainya silih berganti menghuni hidup manusia. Kedatangan dan kepergian mereka seperti jelangkung, datang tak diundang pergi tak diantar.

Semua itu adalah bagaian inheren hidup manusia. Silih berganti kehadiran dan kepergiannya dalam hidup manusia merupakan penegasan tentang ciri keberulangan yang abadi. Mereka hadir, lalu pergi, kemudian hadir lagi, pergi lagi, begitu seterusnya dalam hidup manusia. Keberulangan mereka menunjukkann kekekalannya. Keberulangan secara abadi menjadi unsur konstitutif hidup sebagai kehidupan manusia. Nietzsche dalam aforismenya mengatakan keberulangan itu secara abadi:

”Bagaimanakah kalau suatu siang atau malam datang setan menyelinap dalam kesunyiannmu yang terdalam dan berbisik kepadamu, ”Hidup yang sedang dan yang telah kau jalani ini harus kau jalani lagi sampai waktu yang tak terbatas; dan tidak akan ada sesuatu pun yang baru dalam hidup ini, melainkan tiap lara dan gembira, setiap gagasan dan pandangan, apa pun yang paling sederhana dan hebat dalam hidupmu pasti akan kembali lagi padamu – semuanya dalam urut-urutan yang sama – bahkan laba-laba dan cahaya surya di antara pepohonan ini, dan bahkan saat sekarang ini dan diriku sendiri ini pun akan kembali lagi. … abadi dari hidup pasti kembali lagi dan lagi, dan kau bersamanya lagi, bersama setiap keping dari debu ini.” Tidakkah kau akan merebahkan dirimu, mengeratkan dirimu, dan melaknati setan yang berbisik seperti itu? Ataukah kau mengalami saat yang hebat andaikan kau dapat menjawab kepada setan itu, ”Kau benar-benar ’tuhan’ dan tak pernah aku mendengarkan sesuatu yang lebih ilahi daripada yang kau bisikan.” Seandainya pikiran ini menguasaimu, itu akan mengubahmu sebagaimana kamu sekarang, atau barangkali menghancurkanmu.”[2]

Pertanyaan lebih lanjut bisa kita ajukan, ”Apakah manusia menerima dan menjalani begitu saja keberulangan demi keberulangan itu?” Nietzsche akan menjawab pertanyaan ini secara tegas bahwa ia menerima rangkaian keberulangan itu dengan ”cucuran air mata karena bahagia.” ia bahagia karena keberulangan itu datang secara tiba-tiba dan amat jelas. Ketiba-tibaan dan keamat-jelasan keberulangan itu dapat diterima karena dan sekaligus menyadarkan Nietzsche sendiri bahwa di dalam dirinya ada badai kebebasan, kemutlakan, dan kekuatan.[3]

Pertanyaan berikutnya dengan mudah kita sodorkan, ”Apakah semua manusia sama seperti Nietzsche yang sanggup menerima keberulangan itu dengan ”cucuran air mata karena bahagia?” Bagaimana dengan Christina Sumarmiyati yang menjadi korban stigmatisasi PKI oleh aparatus negara Indonesia paska Peristiwa 30 September 1965, yang secara berulang mengalami penyiksaan demi penyikaan yang amat mengerikan dari satu penjara ke penjara yang lain?[4] Apakah dia menerima pengalaman itu dengan ”cucuran air mata karena bahagia” sebagaimana diucapkan Nietzsce?

Hidup dengan seluruh irama kehidupannya bisa jadi merupakan keberulangan secara abadi. Pepatah kuno mengatakan, ”Hidup ibarat roda, kadang di atas kadang di bawah.” Manusia dan seluruh irama kehidupannya kadang di atas kadang di bawah. Tetapi harus kita tegaskan juga bahwa roda itu bisa kempes dan tidak bisa berputar. Saat kempes, bagian atas tidak bisa ke bawah dan bagian bawah tidak bisa ke atas.

Manusia dan seluruh irama hidupnya jika berada pada situasi kempes, tentu sangat sulit melakukan sesuatu. Dalam kondisi kempes seperti itu, manusia mengalami dilema. Yang berada di bawah akan semakin kempes dan yang berada di atas jatuh atau melorot ke bawah karena yang berada di bawah tidak menjadi tumpuan yang kuat.

Dalam keadaan kempes seperti itu, manusia butuh katarsis, butuh pelepasan. Katarsis yang dibutuhkan bukan untuk menaikkan yang di bawah dan menurunkan yang di atas, melainkan baik yang di atas dan yang di bawah sama-sama saling menguatkan supaya bisa berputar. Yang atas meneguhkan yang di bawah, yang dibawah meneguhkan yang di atas. Ketika yang berada di bawah mengambil posisi di atas, ia menghargai yang di bawah sebagai tumpuan. Oleh karenanya di bawah pun bernilai.

Kata adalah katarsis cinta

Manusia membutuhkan katarsis untuk mengatasi situasi kempes kehidupannya sekaligus mengatasi keberulangan Nitzschean yang tampak sewenang-wenang atas manusia dan hidupnya. Katarsis bukan bermaksud lari dari keberulangan itu atau mengiyakan saja keberulangan Nitzschean, melainkan katarsis sebagai moment makna. Dalam bingkai itu, katarsis adalah peristiwa pemaknaan atas diri manusia, peristiwa pemaknaan atas kejadian-kejadian hidup manusia, peristiwa ansisipasi masa depan, dan peristiwa mentransendensi semuanya.

Kata adalah katarsis.  Berkata-kata dan sekaligus menuliskan pengalaman, pikiran, refleksi dalam kata-kata adalah katarsis. Berkata dan sekaligus menuliskan merupakan moment makna. Kata adalah katarsis ini mengental dalam karya Kris Bheda Somephers ini. Karya ini merupakan monolog sebagaimana diisyaratkan oleh penulisnya. Monolog tentang tentang cinta, kehidupan, kematian, dan Tuhan.

Dalam tulisan berjudul ”Elegi Pencari Cinta” kata adalah katarsis dari sebuah pengalaman sang pencari cinta. Entah siapa pencari cinta itu. Pada kalimat awal tulisan itu, kata adalah katarsis begitu menggetarkan.

”Dalam setiap siang aku mencari. Aku memanggilmu di bawah terik. Pernah kutanyakan kepada sahabatmu tentang bagaimana kabarmu. Mereka menjawab tidak tahu. Seorang dari antara sahabatmu berkisah, jika kau sudah kembali ke rumahmu.

Aku mendatangi rumahmu, hanya kutemukan gembok yang mengarat dan halaman yang penuh sampah daun kerontang. Aku yakin kau tidak kembali. Kalau pun kembali, kau mungkin sudah pergi. Pergi ke tempat di mana kau biasa menyepi, menyendiri. Aku mencarimu di tempat-tempat yang sering kau kunjungi.

Di perpusatakaan aku hanya menemukan bekas jarimu yang masih hangat pada lembaran buku yang baru saja dibaca. Kau, rupa-rupanya, tidak membaca dengan segenap jiwa. Kucium bau kata-kata duka. Kata-kata itu yang membuatmu tak betah. Membuatmu luka….

Hingga aku masuk menemuimu dalam catatan harian, yang seharusnya aku kembalikan hari ini. Pada halaman pertama kutemukan sepatah kata yang membuatku tersenyum ‘Buku ini kutulis tentangmu’ dan pada halaman terakhir aku membacamu dengan marah ‘Andai aku tidak pernah menulis tentangmu”

Perpustakaan adalah wujud dari pengurungan atau pemenjaraan kata. Perpustakaan adalah gudang yang melumutkan kata. Kata dalam perpustakaan adalah kata yang memunculkan ketidakbetahan. Karena itu kata harus melepaskan diri atau dilepaskan dari perpustakaan. Kata menemukan tempat yang lebih subur untuk menjalani moment katarsis yakni buku. Dalam alur gerak sang Pencari Cinta, buku yang dimaksud adalah buku harian. Kata dalam buku harian yang melahirkan senyum.

Kata dalam buku harian mengandung intimitas. Dalam intimitas senyum dan kemarahan bukan merupakan dua hal yang dipertentangkan, melainkan merupakan ciri konstitutif dari intimitas. Hanya dalam relasi yang intim orang bisa senyum sekaligus marah. Senyum dan marah adalah warna dasar dalam intimitas.

Ketika Sang Pencari Cinta merasakan intimitas dengan menemukan senyum dan marah dalam kata dalam buku harian, pada saat itu Sang Pencari Cinta sedang menafsir kata dan menafsir dirinya sendiri. Membaca kata dalam buku harian, sebagaimana membaca kata dalam buku-buku lain, merupakan momen menafsirkan teks sekaligus menafsirkan diri, menafsirkan faktisitasnya.[5]

Kata itu hidup

J.P. Sartre menulis biografi dirinya dengan judul Kata-kata atau The Words. Ada pepatah yang berbunyi, ”Kata itu lebih tajam dari pedang.” Sartre dan pepatah itu menegaskan satu hal: kata itu hidup.

Kris Bheda Somerpes dalam tulisan berjudul ”Inkarnasi Kata” bergumul dengan kata.

”Untuk apa aku menuliskan kata? Pertanyaan ini sudah sedang dan bahkan selalu terlontar dalam setiap sepiku. Ketika aku hendak menuliskan kata, ketika aku sedang menuliskannya, ketika aku hendak membacanya lagi dan seusai aku menghadirkan ke ruang baca pembaca, pertanyaan itu selalu datang. Berkelebat. Lalu hilang.

Selalu setiap pertanyaan itu datang, aku selalu dihadapkan pada dua titik yang antara satu dengan yang lainnya bertolak belakang. Di kutub yang satu aku dibuatnya bagai hamba sahaya. Di sisi yang lain aku dibuatnya bagai dewa. Pertanyaan itu datang menyelimuti bagai gulita, serentak pada saat yang sama memberikan titik cerah”

Kata itu hidup. Kata adalah tubuh dari pikiran. Kata adalah aspek empirik dari yang tak empirik. Kata yang demikian memungkinkan berkembangnya bahasa. Selanjutnya bahasa bagi Heidegger adalah rumah Ada.[6]

Manusia hidup dalam kata. Manusia memiliki rumah kata. Ketika manusia membaca kata berarti manusia sedang membaca hidupnya sendiri. Berkata-katalah karena berkata-kata berarti Ada yang mengeksternal.

Di tangan Kris Bheda Somerpes, kata itu hidup. Bahkan kata adalah hidup itu sendiri. Pada titik ini kata tidak menunggangi makna. Kata juga bukan tak punya apa-apa. Melainkan kata adalah sebuah fenomena, sebagaimana hidup itu sendiri adalah fenomena. Oleh karena itu kata harus didekati dengan pendekatan fenomenologis.

Tuhan adalah kata

Dalam Kitab Kejadian Bab 1 ayat 3-29 dikisahkan bahwa Allah menciptakan alam semesta termasuk di dalamnya manusia dengan ”Berfirmanlah….” Setelah Allah berfirman, semuanya tercipta. Sebelumnya, pada ayat 2 dikisahkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Dengan demikian ayat 2-29 merupakan saling mengandaikan. Kesalingmengandaikan itu merupakan perwujudan dari dua aspek epistemik dalam ayat 2-29. Dua aspek epistemik dan ontologik itu adalah logos dan kata.

Dalam alur pemikiran René Descartes, Allah adalah Ide Sempurna yang bertindak sebagai penjamin kepastian pengetahuan manusia mengenai realitas empiris atau alam dunia. Manusia menyadari dalam dirinya ada ide keempurnaan tetapi ide itu tidak datang dari manusia karena manusia tidak sempurna. Ide kesempurnaan itu datang dari Allah dan Allah adalah sebab dari ide kesempurnaan. Allah juga penjamin kepastian semua pengetahuan manusia tentang dunia. Dari sudut pandang objek material dunia, Allah adalah yang pertama, segala sesuatu berdasar pada Allah.[7]

Sedangkan dalam alur gagasan Hegel, ”yang satu” adalah Roh Subjektif yang mengalami tiga fase. Pertama, thesis yakni Roh-dalam-dirinya-sendiri. Kedua, anti-thesis yakni Roh yang mengeksternalisasikan dirinya ke dalam alam semesta atau ke dunia. Eksternalisasi sejarah in disebut sejarah. Selanjutnya seluruh kenyataan historis diangkat ke tingkat yang lebih tinggi ke dalam Roh Absolut. Fase Roh Absolut ini merupakan fase ketiga yakni sinthesis. Proses itu merupakan gerak dialektisRoh.[8]

Dalam bingkai pemikiran Descartes, Allahlah yang memungkinkan manusia bisa memiliki ide kesempurnaan. Ide kesempurnaan itu mewujud dalam kehidupan konkrit manusia kata-kata manusia. Ide kesempuraan diungkapkan manusia melalui kata. Dalam bingkai yang sama, sejarah dunia yang di dalamnya termasuk kata dan bahasa, merupakan bentuk eksternalisasi Roh Subjektif, yang bergerak menuju Roh Absolut.

Kata dalam aras pemikiran Descartes dan Hegel merupakan Allah atau/dan Roh yang mewujud. Manusia bisa mengetahui Allah atau/dan Roh melalui kata. Kata adalah eksternalisasi Allah dan/atau Roh. Manusia bisa mengenal dan merengkuh Allah atau/dan Roh karena kata. Tanpa kata Allah dan/atau tak diketahui manusia. Kata adalah wajah Allah dan/atau Roh. Tuhan adalah kata.

Kata adalah being atau Ada. Maka ketika Karl Marx, Nietzsche, Feuerbach, Sartre menggugat keberadaan Tuhan dengan menggunakan kata-kata, sebagaimana dalam tulisan Bheda berjudul ”Tuhan Sudah Mati?”, sesungguhnya barisan yang mengklaim diri sebagai pembunuh Tuhan itu, tidak membunuh apa-apa.  Mereka hanya menggugat kehampaan. Gugatan mereka hampa karena dua hal. Pertama, para pembunuh Tuhan itu masih menggunakan kata. Kedua, mereka sedang berpikir tentang membunuh Tuhan. Berpikir tentang membunuh Tuhan dan membunuh Tuhan dengan kata sama saja dengan melakukan apapun.

Akhir sebagai awal

Tulisan ini akan ditutup sekaligus sebagai awal untuk eksplorasi dan penafsiran lebih lanjut. Tulisan ini ditutup dengan kata-kata Wittgenstein, ”Di hadapan yang tak terkatakan, kita harus diam.”

Wittgenstein sedang berkata-kata tentang yang tak terkatakan. Ia mengatakan tentang yang tak terkatakan. Sesungguhnya ia sedang mengatakan sesuatu dengan kata-kata.

Desa Sukaragam, Kabupaten Bekasi, 3 Oktober 2010, saat hujan menikam bumi dan saat Angin Padang Savana Apelaby berkata-kata dengan bahasa bayi.


[1] Alexander Aur bekerja sebagai dosen di Universitas Multimedia Nusantara dan Akademi Bina Sarana Informatika. Ia juga sedang kuliah di Program Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkata, Jakarta. Selain itu ia juga menulis puisi dan artikel-artikel jurnalistik untuk beberapa media cetak.

[2] St. Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hal. 108-109

[3] Ibid., hal. 109.

[4] Kisah lengkap Christina Sumarmiyati dapat dibaca dalam Antonius Sumarwan SJ, Menyeberangi Sungai Air Mata – Kisah Tragis Tapol 65 dan Upaya Rekonsiliasi, Yogyakarta, Kanisius, 57-80. Dalam buku ini dapat dibaca pula kisah-kisah yang serupa dengan Christina Sumarmiyati.

[5] Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics, England, Acumen Publishing Limited, 1998, hal. 49-79.

[6] ibid

[7] Samuel Enoch Stumpf and James Fieser, A History of Philosophy, Socrates to Sartre and Beyond, New York, McGraw-Hill, hal. 230-232. Bdk., Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta, Kanisius, 2004, hal. 206-210.

[8] M. Sastrapratedja SJ, Mencari Pandangan Alternatif tentang Allah, Jakarta, Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2010, hal. 1-8. Bdk., William R. Schroeder, Continental Philosophy A Critical Approach, USA, Blackwell Publishing, 2005, hal. 30-56.