Kesebelasan Agentina adalah adalah sebuah tim yang bagus, Messi nomor adalah bintang, tetapi Maradona adalah megabintang. Setiap selalu bercerita tentang Argentina yang terbayang dalam ingatanku adalah tentang Maradona.

Lupa atau tidak peduli, atau sengaja dilupakan atau memang untuk sementara waktu tidak perlu dipikirkan. Ini adalah kecemasan sementara  yang belakangan ini muncul ketika publik mengelak menjawab perihal situasi social politik dan ekonomi tanah air. Tidak ada lagi berita Gayus dan Anggodo di warung-warung kopi. Pun pula cerita tentang video mesum yang pelakunya mirip Areil Peterpan dan Luna maya seolah-olah lenyap.

“Wah, mendingan nonton bola, daripada nonton sinetron apalagi berita tentang korupsi” kata tetanggaku, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya berjualan segala kebutuhan rumah tangga di depan rumahnya. Padahal sebelumnya, Ibu satu anak ini paling ngotot jika mendengar berita soal ketidakstabilan harga sembako (Sembilan bahan pokok).

“Untung  ada bola, jadi kita gak mikirin lagi tuh yang namanya Gayus atau Anggodo” kata seorang yang lain, seorang sahabat aktivis. “Mau korupsi, mau bikin film mesum, mau apa saja silahkan yang penting gue nonton bola” kata seorang pemuda dengan nada sinis. Padahal sebelumnya dia selalu menginformasikan kepada kawan-kawannya dan juga aku tentang film ‘seru’ terbaru.

Benar adanya, bahwa kiblat perhatian publik, termasuk aku sementara ini tertuju pada pentas sepak bola terakbar di Afrika Selatan. Semua mata menyaksikan kesebelasan kesayangannya berlaga di event empat tahunan itu. Public sudah sedang disandera oleh Messi, Christiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Torres, Ronney, dan sederetan bintang lapangan hijau lainnya.

Hanya karena sepak bola, public bersedia untuk melepaskan ingatannya pada sakit bangsanya sendiri. Bukan hanya persoalan social politik ekonomi bangsanya sendiri yang dianaktirikan. Karena, bahkan terhadap sakit fisik yang dideritanya sendiri untuk sementara dikesampingkan. “Kawan, Argentina menang atau kalah, semoga Agertina kalah” sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku pada malam ketika pertandingan Argentina vs Nigeria sedang berlangsung. Padahal, kawanku yang satu ini, sudah sedang berada di rumah sakit karena komplikasi demam berdarah tipes.

Ini fakta yang tak terbantahkan. Demam bola benar-benar merasuk segala usia manusia, segala lapisan social, jenis kelamin, suku bangsa dan bahasa. Sepak bola tidak hanya menyendera  mereka yang sehat tetapi juga merenggut mereka yang sakit. Sampai-sampai kawanku yang sakit bilang “Saya heran, kenapa sakit kali ini terasa tidak terlalu berat, seperti sakit-sakit saya terdahulu”.

Aneh…mengapa harus heran dengan membaiknya kondisi fisik dari hari-hari ke hari. Atau jangan-jangan, segala yang sakit baik yang diderita oleh kawanku itu, pun pula yang diderita bangsa ini untuk sementara waktu ‘berpura-pura’ sembuh. Karena setelah pesta bola usia, segala yang sakit akan kambuh lagi, dengan cerita yang berbeda: mungkin jika bukan tambah sakit maka kesakitan itu tak akan sembuh-sembuh lagi.

Ups…mungkin aku juga sudah sedang sakit, tetapi aku tidak tahu apa sakitnya. Jika bukan karena Agentina, mungkin aku akan memikirkan tentang sakitku. Ya…ya…silau Maradona dan sihir Mesi, juga keelokan skill Argentina membuatku untuk sementara lupa segala.