Merefleksikan seluruh makna kehidupan manusia dan kosmos tidak berangkat dari sebuah mimpi atau hasil imajinasi semata, tetapi dari problem-problem nyata; pengalaman yang secara nyata dihadapi sendiri dan oleh seluruh umat manusia. Merefleksikan tentang kehidupan tidak sekedar melihat, tetapi juga mengalami dan menguraikan kenyataan-kenyataan hidup dengan jernih, dipertanyakan dengan lembut, walau kadang dibongkarnya dengan marah. Kenyataan-kenyataan itu dicerna dan ditemukan jawabannya. Visi dasar yang dibangun sesungguhnya dari pencarian ini adalah menemukan makna terdalam dari kehidupan manusia itu sendiri.

Saya menyadari sungguh bahwa sebenarnya kenyataan-kenyatan itu tidak saling terpisah dan berdiri sendiri. Kenyataan-kenyataan itu, kendatipun memiliki keunikannya masing-masing, sebenarnya memiliki satu kesatuan tema yang utuh dan tak terpisahkan. Kenyataan-kenyataan itu menjulur bagai akar serabut dari satu pohon yang sama. Upaya menemukan mana sumber akar-akar itu berasal, atau kenyataan-kenyataan itu menyembul ke permukaan pengalaman, manusia termasuk saya secara pribadi dituntut untuk terlibat dan melibatkan diri agar menyatu di dalam kenyataan-kenyataan itu. Menyatu dengan kenyataan hidup berarti sadar bahwa kenyataan-kenyataan itu menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.

Dengan demikian manusia sejatinya bukanlah pribadi yang harus melarikan diri dari kenyataan, melainkan justru terlibat di dalamnya secara sungguh. Dalam keterlibatan yang mendalam dengan kenyataan-kenyataan itulah manusia dituntut untuk tidak hanya merasa, tetapi juga berpikir, membongkar, merancang dan mencipta serta menemukan apa yang sesungguhnya menjadi makna dasar kehidupan manusia.

Mengutip sepenggal kalimat dari Kahlil Gibran bahwa “Kehidupan itu bersifat dalam, tinggi dan jauh, hanya wawasan luas dan bebas yang dapat menyentuh kakinya, meski sebenarnya dia dekat. Walaupun nafasmu hanya mampu menghembus hatinya, namun bayangan dari bayanganmu akan melintasi wajahnya. Dan dari rintihan yang paling halus, akan menjelma musim semi dan musim gugur. Kehidupan berkerudung bercadar terselubung, seperti diri kalian yang sejati tersembunyi di balik tabir-tabir. Namun bila berbicara maka sergapan angin akan menjadi kata-kata, dan bila berbicara lagi maka senyuman bibir dan tetesan air matamu juga akan menjelma menjadi kata-kata yang penuh dengan makna. Jika dia bendendang, si tuli akan mendengar dan terpana. Dan bila ia menghampiri, si buta pun akan melihat dan terpesona.”

Gambran di atas menunjukkan bahwa kehidupan manusia sebagai sebuah pencarian tanpa henti. Pencarian yang diupayakan secara terus-menerus, melibatkan seluruh kemampuannya sebagai manusia, dengan segenap jiwa dan raga, akal dan perasaannya. Pencarian mengandaikan adanya perjuangan, karena makna atau arti kehidupan itu tidak dijumpai tanpa diusahakan dan diperjuangkan, walaupun apa yang dicari sesungguhnya ada dalam pengalaman hidup kita setiap hari.

Pencarian seperti yang dilukiskan di atas serentak sebetulnya merupakan sebuah paradoks. Bahwa kehidupan itu bersifat tinggi, jauh dan luas, dengan demikian ia mesti dikejar dan dijumpai, tapi serentak itu pula ia dekat, intim dan menyatu dengan manusia, sehingga kehadirannya tidak disadari. Lantaran itu manusia dituntut untuk membuka kerudung bercadar yang menyelubunginya. Artinya setiap kenyataan yang dialami manusia dihadapi dengan sungguh, dibedah dan dimaknai.

Singkat kata, menyingkapi selubung kehidupan itu berarti menyingkapi diri kita sendiri, yakni menemukan eksistensi kita sebagai manusia. Eksistensi yang diyakini dan dipahami bukanlah suatu struktur definitif dan a priori seperti yang dipahami oleh orang-orang yang pasrah pada nasib, dan menganggap kehidupan ini sebagai takdir. Tetapi sebaliknya sebuah upaya yang terus-menerus ditemukan manusia dalam kehidupannya. Lantaran untuk sampai kepada tujuan tersebut manusia bebas merefleksikan situasi yang ada sekarang dari sudut padang sejarah dan menyadari sebagai pelaku sejarah yang mempunyai dimensi sosial dan spiritual. Menyadari diri sebagai pelaku sejarah berarti manusia sepenuhnya terlibat dalam sejarah itu sendiri.