Seorang perempuan berbaring telanjang. Kakinya dibiarkan terlentang setengah mengangkang dengan tapak kirinya hampir menyentuh betis kanannya. Jari-jari  tangan kirinya menyelinap di balik rambut kepala. Sedang tangan kanannya menyentuh pinggul  bagian kanan. Wajahnya, dengan bibir setangah terbuka menghadap ke arah seorang perempuan yang lain yang duduk di samping kanannya. Perempuan itu juga telanjang. Rambutnya dibiarkan lepas mengikuti arah tangan kanannya yang jatuh menopang lantai. Sedang tangan kirinya diletakkan di atas lutut kiri.

Keduanya, serupa larut dalam cerita tentang entah. Hanya mereka berdua yang tahu. Tidak ada seorang pun yang mengusik. Keduanya serupa menumpahkan semua, melepaskan segala dalam suasana yang sangat nyaman. Tidak ada guratan beban di wajah mereka. Ekspresi yang tampak adalah tentang keseriusan keseharian sebagaimana perempuan lain yang sedang berkisah tentang sesuatu.

Itulah narasi singkat atas ‘Dialogue’, salah satu judul lukisan Kartika Affandi, putri sang maestro perupa Indonesia Affandi. Lukisan berukuran 150 x 120 cm di atas kanvas itu dilukis Kartika pada 1991, namun untuk pertama kali dipublikasikan pada November 2004 di Galery Nasional Indonesia Jakarta dalam pameran tunggalnya yang bertema  ‘Looking back through life’ (Kembali melihat perjalanan hidup).

Ketika itu, pada usianya yang genap 70 tahun, di samping ‘Dialogue’ yang ditampilkan, Kartika menampilkan pula berbagai lukisan yang lain yang dibuatnya sejak 1957 hingga 2003. Beberapa di antara adalah lukisan tentang kelahiran kembali ‘Rebirth’ (132×132 cm, acrylic on canvas, 1981) tentang ayahnya ‘My father is painting’ (120×120,oil painting on canvas, 1989) dan lukisan tentang dirinya sendiri seperti ‘Me as an Aborigin’ (120×100 cm, acrylic on canvas, 1991).

“Lukisan-lukisan saya selalu dipengaruhi oleh apa yang terjadi di sekitar saya” demikian kata Kartika ketika itu. Mengapa keseharian yang ditampilkan Kartika, dan mengapa pula keseharian yang telah dilewatinya mesti harus direfleksikan kembali: ‘Looking back through life’. Dua pertanyaan di atas menarik untuk direfleksikan lantaran karena dua hal. Pertama adalah hidup yang sahaja, apa adanya. Kedua adalah karena dalam kesahajaan dan ke-apa-ada-an kehidupan itu terbersit makna yang mendalam tentang kehidupan itu sendiri.

Pertama, memandang lukisan-lukisan Kartika, secara khusus ‘Dialogue’ dan ‘My father is panting’ saya jadi teringat akan jawaban Kahlil Gibran, ketika ia dihadapkan dengan pertanyaan yang diajukan Marry Haskell, tentang mengapa harus melukis tentang tubuh-tubuh telanjang. Berhadapan dengan pertanyaan itu Gibran menjawab  “Karena hidup itu telanjang. Badan telanjang itu adalah lambang kehidupan yang paling sejati dan paling mulia. Kalau aku menggambar gunung berbentuk setumpuk badan manusia atau menulis air terjun berupa badan-badan manusia yang berjatuhan, maka itu tidak lain karena aku melihat gunung sebagai himpunan benda hidup, dan air terjun sebagai pemicu arus kehiduban”

Hidup adalah telanjang. Keyakinan itulah yang saya kira diyakini sungguh oleh kartika. Telanjang menunjuk pada kesahajaan, kepolosoan yang tertabur dalam keseharian hidup manusia. Tentang relasi, perjumpaan, tegus sapa, makan, minum, warna kulit, makan, minum, panas, dingin, siang, malam dan seterusnya. Semuanya terbentang sebagai keseharian sebagai fakta, sebagai peristiwa dan pun pula yang menjadi ‘buah bibir’. Tentang keseharian yang menjadi buah bibir dalam keseharian itulah itulah yang hendak ditunjuk-tampilkan oleh Kartika.

Selanjutnya, kedua, kesahajaan dan kepolosan itu sejatinya adalah hakikat kehidupan itu sendiri. Terhadap berbagai realitas yang terjadi dalam keseharian, manusia diajak untuk merefleksikannya. Semua dan segala tentang realitas, sesuatu yang telanjang dan menjadi buah bibir direfleksikan agar dengan demikian manusia dapat menyadari eksistensinya sebagai pribadi yang hadir dan ada dalam kehidupan. Manusia harus memberi isi pada kehidupan, menaburkan kebaikan-kebaikan dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran.

Saya meyakini sungguh, bahwa ‘buah bibir’ dua perempuan telanjang yang ditunjuk-tampilkan kartika dalam lukisan yang berjudul ‘dialogue’ sebenarnya sudah sedang mendiskusikan tentang keseharian yang menjadi makna eksistensial kemanusiaan manusia. Keduanya, sebagaimana halnya manusia yang lain, baik laki-laki maupun perempuan harus kembali melihat proses perjalanan kehidupannya masing-masing. Perjalanan kehidupan, baik suka maupun duka, yang direfleksikan dengan baik adalah roh utama yang menggerakan perjalanan kehidupan manusia sekarang (kini) dan ke depan.